Mohon tunggu...
Anis Syifa
Anis Syifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan

Munsyidah~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Kajian Orientalis atas Al Quran dan Urgensinya

16 Oktober 2022   23:26 Diperbarui: 16 Oktober 2022   23:53 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kajian Al-Qur’an di Barat tidak luput dari munculnya terjemah al-qur’an di Barat sebagai buntut dari peristiwa perang salib yang terjadi sekitar abad ke 9-11 Masehi. Setelah kekalahannya dalam perang salib, Barat mulai menelusuri islam dengan mencari titik kelemahannya melalui al-qur’an. Seorang Kristen Bernama George Sale dari Inggris melakukan ekspansi ke Arab untuk mempelajari al-qur’an. Ia mempelajari Bahasa Arab di Makkah, menulis buku tentang subjektifitas Nabi Muhammad Saw bahkan menerjemahkan al-qur’an dan menyebarkannya.

Pada abad ini juga muncul kritik-kritik orientalis terhadap al-qur’an, seperti kritik atas Surah Al-Kahfi yang menurut Barat tidak logis dan urutan ceritanya tidak sistematis. Menurut Richard Nekon Surah Al-Kahfi membahas tipologi manusia diantaranya Nabi Musa (hero, active man), Yakjuj dan Makjuj (non hero) dan sebagainya. Rancangan visi dan misi yang terorganisir merupakan langkah awal Barat dalam melakukan kajian islam termasuk kajian al-qur’an. Salah satu produknya yaitu terjemah al-qur’an ke dalam Bahasa latin Liber Legis Saracenorum quem Alcoran Vocant karya Robert dan Ketton. Karya ini adalah terjemahan al-qur’an pertama ke dalam Bahasa latin dan menjadi kiblat Barat dalam mempelajari islam.[1]

 

Petrus Venerebelis yang merupakan penggagas misi Barat mengatakan bahwa Kristen harus melawan umat islam dengan menggunakan kata-kata bukan senjata. Barat memandang bahwa al-qur’an adalah dokumen rekaan dan tiruan yang dibuat oleh Nabi Muhammad dengan berdasarkan kepada apa yang Nabi ketahui.[2] Beberapa sarjana Barat menilai al-qur’an penuh kepalsuan karena merupakan karya Nabi Muhammad sendiri. Guru besar protestan, Antonius Waleus juga mengatakan bahwa al-qur’an adalah kitab palsu yang penuh kontradiksi dan penuh dongeng yang diceritakan Muhammad.

 

Dalam perkembangannya kajian al-qur’an di Barat terlepas dari kajian tentang sejarah Nabi, uraian dan isinya sangat beragam. Terdapat tiga kategori terkait dengan potret kajian al-qur’an di Barat.[3] Pertama karya-karya yang berusaha melakukan pencarian terhadap pengaruh Yahudi-Kristen dalam al-qur’an. Kedua karya-karya yang berupaya membuat rangkaian kronologis ayat-ayat al-qur’an. Ketiga, karya-karya yang tujuannya untuk menjelaskan seluruh aspek tertentu dalam ajaran al-qur’an.

 

Kajian terkait asal-usul al-qur’an yang dinilai bersumber dari tradisi Yahudi-Kristen dalam al-qur’an adalah kajian klasik yang dilakukan oleh para pengkaji islam di Barat. Abraham Geiger melalui tulisannya Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen dan Hartwig Hirschfelf melalui karyanya Judische Elemente im Koran sebagai perintis pertama yang mengajukan teori pengaruh Yahudi dalam al-Qur’an. Kedua karya ini kemudian disusul karya-karya yang masih senada oleh generasi berikutnya.[4] Tidak ingin tertinggal, penulis-penulis Kristen juga mencoba mengajukan tulisan-tulisan yang senada dengan tulisan Yahudi terkait dengan pengaruh al-qur’an dari tradisi Kristiani. Misalnya Richard Bell dengan tulisannya yang berjudul The Origin of Islam in its Christian Environment.

 

Selanjutnya kajian al-qur’an yang dikembangkan di Barat adalah tentang kronologi al-qur’an dengan berbekal sritik sastra dan sejarah modern. Gustav Weil merupakan tokoh penggagas kajian tentang kronologi al-qur’an melalui karyanya Historisch-Kristische Einlenitung in der Koran. Ia mengajukan tiga kriteria untuk aransemen kronologi al-qur’an yaitu[5] pertama, rujukan-rujukan kepada peristiwa-peristiwa historis yang diketahui dari sumber lain. Kedua, karakter wahyu sebagai refleksi perubahan situasi dan peran Muhammad. Ketiga, bentuk wahyu secara lahiriyah.

Selain kedua pola kajian diatas, terdapat satu kajian tentang aspek-aspek kajian al-qur’an yang mendapat tempat dalam kesarjanaan tentang al-qur’an. Salah satu tokohnya yaitu Ignaz Goldziher melalui karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab yaitu Madzahib al-Tafsir al-Islamiy. Ia membagi sejarah dan perkembangan tafsir dalam dua kategori yaitu tafsir bil ma’tsur dan tafsir madzhab ahl al-ra’yi.[6] Tafsir madzhab ahl al-ra’yi merupakan tafsir yang dibayang-bayangi dengan akidah, tasawuf, keagamaan dan peradaban islam. Pembagian kategori tafsir inilah yang kemudian menunjukkan perkembangan masa dan perubahan respon masyarakat terhadap tafsir al-qur’an. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun