Mohon tunggu...
Anis Nazihah
Anis Nazihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Sekolah Bisa Disebut sebagai Tempat Belajar atau Hanya Lahan untuk Mencari Pekerjaan?

5 Juli 2023   22:33 Diperbarui: 5 Juli 2023   23:51 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah fakta yang menyakitkan bahwa pendidikan di indonesia misalkan katakanlah sesorang yang mengenyam bangku SMA/K, ijazah nya hanya bisa digunakan untuk melamar pekerjaan. Misalkan untuk melamar pekerjaan di suatu pabrik. Bekerja sebagai buruh pabrik itu tidak jadi masalah, yang jadi masalah adalah kalau jadi buruh pabrik karena tidak punya pilihan yang disebabkan jenjang pendidikan seperti itu. Berarti di sini ada masalah utama di sistem pendidikan kita. Apakah sekolah SMA/K hanya layak untuk menghasilkan sebuah ijazah yang bisa dipakai untuk melamar pekerjaan?

Sekolah Mendisorientasikan Visi Peserta Didik

Coba sekarang kita lihat realitas di lapangan. Tanyakanlah pada anak-anak SMA/K saat ini. Apa cita cita mu? dia bingung dia jawab nggak tahu pak, nggak tahu bu. Berikan pertanyaan lain, misal "berapa usia kamu yang layak secara finansial dan secara emosional sampai kamu memutuskan untuk menikah, kapan? Dia bingung. Oke tanyakan lagi kepada yang lain, sebutkan pekerjaan apa yang akan kamu raih dalam 10 tahun kedepan?, tidak ada yang bisa menjawab ini. Hal tersebut adalah masalah besar, masalah utama dalam sistem pendidikan kita. 

Bahwa untuk mencapai kesuksesan seseorang itu harus punya visi harus punya jangkauan pandang ke depan apa yang akan dilakukan ke depan. Tetapi kebanyakan anak-anak SMA/K di indonesia itu mengalami disorientasi. Mereka kehilangan arah. Mereka disorientasi, kenapa seperti itu? Ya bahkan ketika bersekolah pun hanya menjalankan rutinitas saja. 

Ketika mereka datang ke sekolah, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kenapa mereka harus belajar ini. Kenapa mereka harus belajar itu, mereka pun tidak tahu kenapa mereka harus bertemu dengan guru ini, dengan guru itu, juga tidak tahu. Yang penting bangun tidur, kemudian siap-siap datang ke sekolah. Dan mereka sama sekali tidak tahu apa yang harus dipertanyakan di sekolah. Apa yang harus didiskusikan di sekolah.

Luar biasanya adalah ketika mereka belum sekolah mereka benar-benar berwarna dan penuh imajinasi. Waktu kecil atau waktu belum sekolah, anak-anak itu tahu nanti saya pengen jadi ultraman. Nanti gede saya pengen jadi apa. Nanti saya gede pengen jadi pak guru. Saya pengen jadi astronot. Saya pengen jadi dokter. 

Jadi sebenarnya anak-anak di indonesia itu kaya akan warna tetapi setelah 10 tahun atau 5 tahun di sekolah, mereka benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hobinya apa? Coba tanyakan anak anak SMA/K sekarang hobinya apa. Jarang diantara mereka yang tahu hobinya apa. 

Apakah hobi mereka main game? Kalau ada yang bilang hobinya main game maka sejatinya main game bukan hobi. Main game adalah pelarian, pelampiasan dia dari kesepian yang sesungguhnya. Jadi mereka kehilangan hobi mereka. Apa bakat mereka, nggak tahu. Minat mereka, nggak tahu. Gagasan mereka, nggak tahu. Potensi mereka, nggak tahu. Bahkan mereka harus bayar psikotes rp250.000 sekian untuk tahu tentang karakter karakteristik dan bakat minat nya sendiri ini benar-benar ironi enggak masuk akal.

Sekolah Ya Hanya Untuk Kerja ?

Diri kita hidup di dalam diri kita, nyawa kita di dalam diri kita, itu belasan tahun atau puluhan tahun. Tapi kita tidak tahu dan kemudian kita bertanya kepada orang seorang psikolog yang bikin tesnya hanya hanya dalam waktu 1 hari dan kemudian kita percaya hasil psikotes itu. Oh ternyata saya introvert atau begini-begitu. 

Harusnya, siapa yang lebih tahu, apakah psikolog yang melakukan penelitian itu dalam waktu 1 hari atau kita yang menjalani diri kita sendiri selama bertahun-tahun?. Tetapi sangking hilang nya orientasi, siswa-siswa tidak pernah tahu tentang dirinya sendiri sampai mereka rela bayar. Kenapa seperti? Itu ya gara-gara sekolah dan di dalam sekolah mereka sebenarnya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dan tidak tahu apa yang harus mereka capai. Maka mereka pada masa berikutnya itu berpikir bahwa sekolah itu hanya untuk nyari kerja.

Ketika mereka masuk ke jenjang kuliah, jurusan yang mereka cari, yang mereka kejar itu bukan jurusan yang sesuai dengan minat bakat ataupun sesuai dengan keinginan akan tetapi yang paling mendekatkan mereka pada lahan pekerjaan. Jadi saya mau ngelamar kerja ini karena kerja nya gampang segala rupa, karena apa? Karena disorientasi. 

Mereka enggak kenal tentang diri sendiri dan mereka tidak tahu sumber kebahagiaan mereka tidak tahu tentang sumber kebahagiaan mereka itu apa jadi mereka berpikir oh pokoknya harus nyari yang dapat uang segini, terus makan, terus berkeluarga, punya anak, dan kemudian si anak itu dipaksa untuk melakukan rutinitas yang sama seperti yang dia lakukan ketika dia masih muda. Seperti itu kan gara-gara sekolah.

Sekolah Itu Belajar Atau Ajang "Indoktrinasi"

Lalu apa masalahnya dari sekolah itu? Coba kita mulai dari yang sederhana sekolah itu kan pandangan umumnya adalah tempat belajar. Pertanyaannya apakah benar-benar sekolah itu tempat belajar? Apa yang dimaksud dengan belajar. Belajar itu adalah proses menyerap informasi dan keahlian atau menyerap pengetahuan dan keahlian agar kita yang tidak bisa menjadi bisa, kita yang tidak ahli menjadi ahli yang tidak mampu menjadi mampu itulah yang namanya belajar. Sekali lagi, belajar adalah proses menyerap pengetahuan dan keahlian.

Nah kalau begitu, ketika anak-anak sedang belajar, maka anak-anak sedang menyerap informasi dan keahlian maka anak-anak seharusnya lebih banyak bertanya atau lebih banyak menjawab?.logika paling dasar ya tentu saja bertanya bukan menjawab kalau menjawab artinya berarti sudah tahu. Kalau bertanya berarti anak-anak tidak sedang tahu.

Lalu di sekolah apakah porsi siswa untuk bertanya sudah cukup? Jawabannya adalah selama ini siswa dipaksa untuk terus-terusan menjawab pada LKS suruh dijawab ada PR suruh dijawab ulangan harian nanti juga suruh dijawab apa sembarang itu juga turut dijawab bahkan ujian nasional pun juga suruh dijawab semuanya. Suruh dijawab, suruh menjawab atas segala rupa gitu dan kapan siswa itu harus bertanya bu kenapa kita harus belajar kayak gini?. Tidak ada. 

Siswa siswa itu sejak kecil dikasih buku paket disuruh belajar yang itu-itu saja kemudian mendapatkan materinya yang itu-itu saja kemudian mendapatkan pengetahuan yang itu-itu saja. Apa yang di berikan di sekolah terkadang bukan hal yang di sukai oleh siswa itu sendiri. Apa yang ada dalam benaknya yang sesuai dengan bakat minat dan hobinya tidak diizinkan. Yang diizinkan itu adalah siswa dicekoki dengan buku ini dengan materi ini dan sebagainya. Kemudian nanti dipaksa untuk menjawab sesuai dengan apa yang ada di buku itu. Artinya apakah sekolah itu tempat belajar atau tempat mendoktrin?.

Mereka yang kehilangan orientasi mereka, disebabkan karena bakat asli mereka dibunuh ketika mereka tidak boleh lagi bertanya atau segmentasi pertanyaan mereka itu dibatasi atau durasi pertanyaan mereka itu dibatasi demi sebuah kurikulum. Begitu logika sederhananya. 

Tetapi kenapa kebanyakan diantara kita tidak menemukan logika itu. Ya karena kita sendiri terdoktrin. Orang-orang yang terdoktrin itu adalah orang-orang yang tidak bisa melihat di luar kotak .orang yang tidak bisa melihat apa yang ada di dalam realitas. Kecuali, apa yang pernah diajarkan pada nya. Jadi apa yang diajarkan kepadanya itu menjadi krangkeng dan dia tidak tahu apa-apa. Jadi menurut saya, kebanyakan -walaupun tidak semua- sekolah itu banyak doktrinnya daripada belajarnya.

Kementerian pendidikan di indonesia saat ini sebenarnya hampir selaras dengan pikiran saya bahwa sekolah itu harusnya menjadi tempat belajar bukan tempat doktrin. Tetapi realitasnya sekolah sekarang itu banyak yang memberikan doktrin dan menimbulkan banyak masalah-masalah di sekolah. Jadi intinya di kementerian pendidikan dengan saya itu banyak nyambungnya, tetapi kenapa pas sampai di bawah kok beda. Distorsi besar yang menyebabkan adanya perubahan radikal dari kurikulum merdeka yang sesungguhnya merdeka. 

Menjadi kurikulum merdeka yang sesuai dengan administrasi mengajar, yang ini yang itu, apalah itu. Jadi siapa yang melencengkan itu?. Siapa yang akhirnya membuat siswa-siswa itu terpuruk. Siapa yang di antara mereka yang melencegkan itu dan mengubah sistem atau struktur pendidikan di indonesia. Pertanyaan ini menjadi refleksi kita bersama, dan menjadi akhir dari tutur panjang ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun