Mohon tunggu...
A. Anindita
A. Anindita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Perempuan dua puluhan, menulis secara amatiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Surat untuk Anindita Sayang

20 April 2015   17:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aninditaku, aku memutar lagu yang sama kembali. Kita sama-sama tahu itulah lagu patah hati. Aku minta maaf karena kamu tidak bisa dengannya dan terjebak selamanya denganku. Ia punya masa depan dan aku rasa itu bukan denganmu karena ia tak akan kuat hidup bertiga dengan kita. Bagaimana dalamnya cinta itu dengannya rasa-rasanya mustahil memilikinya tanpa terus menyakitinya.

Awalnya kamu takut kehilangannya, tapi cara terbaik untuk mengalahkan rasa takut itu adalah menghadapinya bukan? Kamu selalu berusaha meninggalkannya. Entah percobaan keberapa setelah hampir tahun kelima kalian.
Kamu membencinya sekaligus mencintainya. Kamu ingin ia pergi, sekaligus ingin ia memelukmu. Kita hidup bagai kutub magnet yang sama namun saling bertolak belakang. Kita panas namun juga dingin. Aku sayang kamu dan juga membencimu.

Di sinilah kita terjebak selamanya. Dan hanya kita yang tahu apa rasa darah kita. Dan semua luka dari cakar tangan kita ke kulit kita. Bagaimana kita menyukai sakit sebagai penyembuhan untuk hal yang tak pernah kita inginkan. Aku memukul rahangmu yang juga rahangku begitu keras. Kita tahu rahang itu kini geser bukan, aku minta maaf. Aku juga menampar wajah kita, karena hampir-hampir setiap bercermin aku tak tahu mengapa wajah itu tak pernah sama.

Aku sama histerisnya denganmu. Aku membenci hidup ini sekuat kamu membencinya. Tentang teman yang tak pernah kamu punya, dan juga tentang kepergian teman terbaik itu. Aku tahu laki-laki itu teman terbaikmu dan kamu tak bisa tanpanya. Tapi dia juga punya hidup sendiri yang harus dihidupi dan kamu bukan lagi menjadi bagian hidupnya. Kamu mendoakannya. Kamu begitu keras mencintainya, ya aku tahu. Dan kamu tak tahu harus apa sekarang.

Dear Anindita yang sedang patah hati, satu-satunya cara untuk melepas kesedihan patah hati adalah dengan jatuh cinta lagi. Kamu tahu ungkapan itu rasanya tak pernah cocok untuk kita. Rasanya seperti menumpuk batu dengan batu dan bukan kebahagiaan yang didapat malah bencana kuadrat.

Sayang, setidaknya pulanglah kembali denganku. Aku tahu aku tak bisa membasuhmu, malah terus menyakitimu. Tapi bukankah aku satu-satunya tempatmu pulang? Rumah yang selalu menyalakan lampunya untukmu. Rumah yang tak ada apa-apa hanya sebuah kursi dan jendela yang menghadap ke danau buatan kita. Kamu tahu aku selalu di sana.

Dari : Aku yang tak pernah kamu namai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun