Mohon tunggu...
A. Anindita
A. Anindita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Perempuan dua puluhan, menulis secara amatiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pendarahan

11 September 2014   00:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:04 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Samar kudengar ketukan di pintu depan. Mungkinkah ayah?

Seperti letupan kembang api, hatiku berdegup kehilangan ritme teraturnya. Aku langsung teringat dengan janji ayah berbulan yang lalu. Tapi bukankah malam seperti ini semua toko mainan sudah tutup? Bukankah ini terlalu larut?

Ketukan pintu itu makin menjadi, setengah berlari aku menghampirinya. Tapi, bukankah hari ini bukan ulang tahunku juga?

***

Tentu kamu tahu, aku mencintaimu. Bahkan sudah kutinggalkan mentah-mentah semua kebiasaan burukku. Kau tahu aku sangat serius denganmu.

Namun kamu perlu kuhidupi. Mana mungkin aku terus bisa di sampingmu? Bukankah telah kau miliki juga aku dalam Joan? Walau tak pernah dapat ia ungkap kata, tapi kau tahu, ia menyayangimu. Ia setengah dirimu juga.

Kau tahu, kini api membakar dadaku.

***

Ya, aku tahu ia kembali malam ini.

Ketukan pintu itu.

Tidak. Aku tidak akan membukakannya.

Tak akan ada yang membuka. Joan juga sudah tidur.

Aku muak, mengingat bagaimana lelaki itu sama sekali tak sudi dengan perasaanku. Dan kini kesalahan itu telah tumbuh.

Aku terus memukul perutku. Beberapa hari lagi, aku tahu Rona akan pulang. Lantas apa yang harus kukatakan padanya.

Di lantai yang basah, aku melihat ke bawah. Memamah penyesalan, kenapa hanya karena kesepian membuatku menjadi jalang.

***

Aku mengerang. Sungguh membentur sudut meja itu membuat kepalaku sakit.

Aku menangis tak bisa menahan. Aku tak lagi menginginkan boneka kelinci. Aku memohon lewat mataku. Aku mohon berhenti.

Bukankah aku tak pernah nakal? Aku tahu, aku masih sulit belajar menggunakan jariku untuk bicara, tapi kenapa harus menghukumku begini?

Aku ketakutan, aku terus menghindar dari pukulan tongkat itu.

Sesaat aku mencium sesuatu yang membuatku mual. Sesuatu yang pernah kucium juga saat teman ibu itu datang dan menyeret ibu masuk ke dalam kamar.

Aku terisak, aku gadis yang baik. Aku terus mengulang kata itu dalam hati. Berkali-kali.

***

Sekelebat gambaran pergumulan menjijikkan itu memicu darahku naik ke kepala dengan cepat. Joan bermain di kebun, sedang jendela yang kau buka lebar itu memberiku jawaban.

Kau tahu, kau berhasil membunuhku seketika. Adalah apa yang air mata tak dapat padamkan, kecemburuan.

Dan kini aku memburumu. Sebelah mana lelaki bangsat itu mencengkramkan jari-jarinya pada tubuhmu. Haruslah dibayar dengan sakit. Bukan begitu Nay?

Sesaat Nay berpaling menutup mata dengan tangan, kuhantam keras bagian belakang kepalanya.

***

Erangan Joan? Bukankah...

Tidak. Har. Tidak, jangan sampai ia berani kasar padanya.

Joan.

Joan.

***

Aku tak tahu kalau ternyata ada banyak darah dalam kepalaku. Ibu bilang jangan bermain pisau di dapur, nanti berdarah. Lalu kenapa ayah sengaja memukulku sampai berdarah?

Bu, kenapa tak kau larang ayah juga...

***

Aku terengah. Berhenti.

Aku tak lagi mengayunkan tongkat padanya, yang terakhir adalah yang terkeras yang kuhantam padanya.

Aku duduk, didekatnya. Di sampingnya. Darahnya mengalir perlahan dan semakin banyak.

“Joan!”

Aku tersentak. Itu suara Nay, dia menjerit. Bagaimana bisa?

Aku mendapatinya berlari kearahku.

Tidak. Bukan. Tidak mungkin.

Penglihatanku mulai jelas. Darah itu masih mengalir, lagi.

Aku merasa dingin seketika.

***

Tidak. Joan. Di sudut kamar ia tak bergerak.

Sesak di dadaku memacu langkahku tak beraturan.

Rona.

Tidak mungkin.

Sebelum semua masih bisa kureka dalam pikiranku sendiri, mata kakiku kehilangan awas untuk seimbang.

Sesaat tergelincir dan jatuh tengkurap. Tidak, aku tak peduli.

Susah payah aku berpindah dengan tangan. Aku mengangkat kepala dan mendekatkan wajahnya padaku.

Ia semakin jadi gadis pendiam dalam tak sadarnya.

Aku bergidik. Aku tahu, seharusnya aku yang mengalaminya.

Sementara Rona tampak lebih mati. Di tangannya masih tergenggam tongkat.

Dari betis kurasa ada basah yang mengalir.

Kuturunkan jariku ke bawah. Terasa pekat. Dan kulihat telunjukku menjadi merah.

-

A. Anindita

10/09/14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun