Tiap perjalanan hidup tak selalu semulus pantat bayi. Nggak ada kehidupan sempurna. Nggak ada keluarga sempurna. Nggak ada manusia sempurna. Pasti semua ada kurangnya. Jika ada sesuatu yang terlihat sempurna, itu hanya "kelihatannya" saja.
Banyak peristiwa di hidup ini yang selalu kita respons dengan emosi marah, nangis, dan tertawa. Sudah lumrah jika kita dapat hadiah sesuatu pasti bahagia dan tertawa. Jika dapat musibah pasti sedih dan menangis. Jika mengalami suatu penghinaan pasti ingin marah. Namanya juga respons manusiawi.
Bagiku, respons emosi marah, nangis, dan tertawa itu sangat sangatlah wajar. Tak ada larangannya. Tapi coba deh, kalau respons emosinya terlalu kebangetan/terlalu lama, apakah baik? Misalkan, saat kita dapat hadiah, lalu bahagia dan tertawa terbahak bahak, kalau berlebihan kan bisa jadi tersedak. Ya kan? hehe... Sama juga jika kita dapat suatu musibah, lalu sedih berlebihan. Kita akan merasa seperti manusia paling menyedihkan di dunia, manusia paling disia-siakan. Hingga ada di satu titik menganggap Tuhan itu nggak adil.
Ada beberapa ilustrasi sederhana yang sering terjadi di kehidupan kita dan dapat kita ambil hikmahnya bahwa ilmu itu penting untuk menangkas masalah.
Pertama, seorang anak sulung melihat adiknya yang masih berumur 2 tahun sedang mengoceh tak karuan, tanpa makna, tanpa berhenti. Sukanya nyerocos terus, tak jelas. Anak sulung itu merasa sangat terganggu dan menganggap adiknya seperti orang gila. Hm... siapa anak sulung yang suka gitu? Haha...
Pandangan anak sulung terhadap adiknya tentu akan berbeda jika ia mengerti fase-fase pertumbuhan manusia. Anak kecil berumur 2 tahun yang suka sekali mengoceh adalah hal wajar. Ia sedang berlatih berbicara dan menirukan apa yang diucapkan orang dewasa di sekitarnya. Jadi, apakah adil jika si anak sulung terus menerus menganggap adik kecilnya seperti orang gila?
Kedua, seorang anak yang menganggap orang tuanya sendiri aneh. Anak itu sering melihat orang tuanya bertingkah seolah-olah seperti remaja kembali. Si anak merasa heran, bukankah biasanya orang tua tidak seperti itu? Akhirnya, ia merasa ilfeel dan menganggap orang tuanya seperti orang aneh.
Pandangan si anak tentu akan berubah jika ia lebih memahami perkembangan manusia yang sudah memasuki usia senja. Ia lupa jika orang tuanya sudah memasuki usia di atas 40 tahun, yang akan rentan mengalami puber kedua. Apa itu puber kedua? Puber kedua adalah kondisi di mana orang tua yang memasuki usia senja bertingkah seperti remaja.Â
Walaupun dalam dunia medis adanya puber kedua masih diperdebatkan, tetapi tak ada salahnya si anak berusaha belajar tentang apa itu puber kedua. Sehingga, ia tak akan lagi menganggap orang tuanya aneh. Dengan belajar mengenai gejala dan bahayanya puber kedua, si anak dapat menangkas segala dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan.
Nah, dari kedua ilustrasi sederhana di atas, kita bisa memaknai sendiri betapa pentingnya suatu ilmu untuk menangkas sebuah masalah agar tidak bertambah besar. Seorang saintis sangat boleh belajar ilmu bahasa. Seorang teknisi sangat boleh belajar ilmu sosial. Seorang ahli bahasa sangat boleh belajar ilmu psikologi. Tak ada larangan apapun karena sejatinya ilmu itu luas. Akan tetapi, di samping ilmu dunia, yang paling utama dan tentu harus kita dalami yaitu ilmu agama.
Albert Einstein, seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan "ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh" Ada dua entry point di sini, pertama tentang pentingnya agama untuk melambari ilmu pengetahuan dan yang kedua perlunya ilmu dalam pengamalan agama. Jadi, siapa pun kita, jangan pernah berhenti untuk belajar.