Mohon tunggu...
Ani Soetjipto
Ani Soetjipto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis adalah pengajar senior pada perguruan tinggi negeri di Jakarta, penulis artikel jurnal, buku dan penikmat sastra.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Membaca Kembali NH Dini (1/2)

5 Desember 2021   12:47 Diperbarui: 6 Desember 2021   13:29 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dunia serasa berhenti akibat covid 19.  Mendadak kita semua mencari cara agar bertahan , mengusir kebosanan , kejenuhan dan kerinduan kepada kawan, kerabat, teman teman di  kantor tempat  kita berkerja untuk dilampiaskan dengan cara yang positif.

Saya termasuk kalangan yang ' mati gaya' begitu pandemi covid 19 menyerang.  Berpuluh tahun berkerja diluar rumah yang hobi senang  piknik dan kumpul kumpul di luar rumah  mendadak semua harus terhenti mengikuti instruksi pemerintah  yang melarang kita beraktivitas di luar, harus mentaati protkol 3 M- 5M dan membekali diri dengan amunisi untuk melindungi diri dari Covid seperti masker, hand sanitizer, sering cuci tangan pakai sabun, membawa tisu basah dan tisu kering  dst. Semua keadaan tersebut segera saja menjadi siksaan yang amat tidak menyenangkan untuk saya.

Bekerja secara virtual , mengajar secara virtual, rapat secara virtual, reuni secara virtual, seminar secara virtual, menguji mahasiswa secara virtual, mengoreksi ujian dan tes yang semuanya mengandalkan pada internet yang sinyalnya lebih sering tidak stabil, makin menambah stress dan sungguh melelahkan fisik dan mental jika dilakukan terus menerus setiap hari , setiap minggu, setiap bulan dan bahkan tanpa terasa  saat ini kita sudah melewati lebih dari satu tahun hidup berdampingan dengan covid 19.

Bekerja di rumah di masa pandemi kita rasakan jauh lebih berat dan melelahkan daripada berkerja dalam situasi normal, karena hampir tidak mengenal jam kerja. Ditambah lagi pekerjaan   domestik yang lain harus tetap dilakukan.

 Sekitar 5 -- 6 bulan setelah pandemic,  saya mulai merasa lelah jiwa raga. Kekacauan jadwal webinar mulai menimpa dan tugas- tugas tidak bisa saya selesaikan.  Ketika itu, saya bisa saja salah jadwal rapat , mengajar atau terbolak balik tanggal dan jam hadir ke webinar dengan acara yang salah dan tidak sesuai jadwal .

Upaya mencari kegembiraan , kewarasan dan kesehatan di rumah untuk bertahan adalah tantangan yang harus disikapi.  Di tengah segala kesulitan tersebut , saya beruntung bisa  menemukan kembali  "cinta " saya yang sudah lama hilang. Di tengah keputus- asaan, saya teringat untuk kembali  menengok hobi lama saya ketika remaja dulu  dengan membuka novel novel  dari penulis favorit kesayangan saya remaja dulu  yang sudah lama saya lupakan.

NH Dini ( Nurhayati Sri HanDini)  adalah salah satu pengarang perempuan Indonesia yang sangat produktif. Tidak kurang dari 20 buku yang sudah ditulis dan banyak dibaca kalangan cendekiawan sebagai karya sastra.

Pekerjaan berburu buku NH Dini segera saja saya lakukan dengan penuh semangat. Saya mencari  dengan susah payah  hampir semua judul buku yang pernah ditulis NH Dini  seperti   Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang( 2012) ;  Dari Parang Akik ke Kampuchea ( 2003)   La grande Borne( 2007) ; Dari Fontenay ke Magallianes  ( 2005);  Argenteuil :  Hidup memisahkan diri (2008) . Tak ketinggalan  buku edisi  terakhir nya yang ditulis setelah NH Dini kembali ke Indonesia dan menetap di Semarang   yaitu Dari Ngalian ke Sendowo ( 2015) dan   Gunung Ungaran yang di selesaikan  pada tahun 2018,  sebelum NH Dini wafat  pada bulan Desember di tahun yang sama, pada usianya ke 82 tahun.

Seri cerita kenangan  yang dipublikasikan di akhir tahun 80-an    dan awal tahun 90- an menceritakan pengalaman masa kecil NH Dini . Seri cerita kenangan tersebut  adalah   Sebuah Lorong di Kotaku  (1986),  Padang Ilalang di belakang rumah  ( 1987), Langit dan Bumi Sahabat Kami ( 1988),   Sekayu ( 1988),  Kuncup berseri ( 1996 ),   Tirai menurun  ( 1993 ) dan   Jalan Bandungan ( 2009) . [i]Semua buku seri cerita kenangan  tersebut sudah tuntas dan tamat saya baca dimasa saya remaja puluhan tahun silam.  Buku terakhir dari seri cerita kenangan  Kemayoran' ( 2005)  baru bisa saya selesaikan di saat pandemic. 

 Karya Fiksi NH Dini yang  paling banyak di baca publik  dan selalu  dikenang oleh para pembacanya sebagai signature book nya   adalah  Pada sebuah kapal" ( 1985),  Pertemuan dua hati ( 1986) Namaku Hiroko ( 1986),  Keberangkatan( 1987)  dan La Barka ( 1988) .  

 Seri cerita kehidupan saat guncangan perkawinan melanda dan kemudian berakhir dengan perceraian hingga kembalinya NH Dini ke Indonesia hingga periode sebelum wafat adalah bagian yang saya tuntaskan sebagai hiburan yang amat menyenangkan selama tinggal di rumah dimasa covid di tahun 2020 yang lalu.

Keasikan membaca novel NH Dini menjadikan saya sempat menutup semua buku buku bacaan saya tentang HAM, tentang  Hubungan Internasional, tentang Papua,  tentang Politik, tentang Gender ataupun soal soal advokasi masyarakat sipil.  .

 Membaca buku dan kegemaran membaca novel segera saja menjadi kegembiraan dan bisa menepis kesepian dan terbukti bisa mengasah kembali kepekaan saya . Saya kembali bisa merasakan  dan meresapi paragraf demi paragraf dan halaman demi halaman dari setiap buku  yang sungguh membawa kebahagiaan, kadang menguras emosi dan larut dalam jalinan cerita yang dibangun . 

 Saya amat bernafsu berburu buku novel  karya NH Dini untuk melengkapi semua buku NH Dini  koleksi saya. Hampir setiap saat saya mencek  berbagai toko platformn digital untuk melihat ketersediaan buku-buku tersebut.  Sampai-sampai  edisi  used book  pun rela saya beli .   Diskusi novel via daring saya lakukan dengan sahabat saya yang mempunyai hobi yang sama .

 Secara berkala setiap kali kami selesai menuntaskan satu novel Nh Dini,  kami  mendiskusikannya layaknya reviewer profesional sambil tertawa penuh canda.  Saya merasa tidak sendirian, ada teman tempat bercerita  saat pandemi yang mempunyai minat yang sama.  Dan tidak tanggung- tanggung selama sebulan di tahun 2020 lalu kami  bisa menyelesaikan 10 novel NH Dini mungkin dengan ketebalan 4000- 3500 hal dalam waktu kurang dari sebulan.

Pandemi bisa dikatakan adalah perjumpaan saya kembali dengan kesenangan membaca. Saya ingat pepatah "membaca adalah jendela dunia ..." Pepatah lama ini tak kehilangan maknanya dan tetap relevan sampai kapan pun.  Pentingnya tetap membaca buku  saya kira adalah mempertahankan kemampuan komprehensif  dan kognitif, merawat kecerdasan otak kita. Terlalu sering dan terlalu lama   aktif di gawai dan lap top menumpulkan dan menurunkan daya kemampuan kognisi dan komprehensif yang kita miliki.

 MEMBACA ( LAGI) NH DINI

Sudah banyak tulisan yang membahas karya NH Dini.  Buat saya,  yang jeda lama tidak  membaca lagi karya NH Dini, membacanya  kembali saat ini dalam konteks kekinian  membuat saya relaks, bahagia dan  menenangkan jiwa. Saya membaca novel NH Dini tidak berurutan, namun intinya  tulisan dalam buku yang saya baca konteks nya adalah situasi sejak periode  tahun 1960- an hingga  tahun 2018.

 Buku- bukunya dan konsistensi tulisannya bisa dibilang tidak sama antara satu buku dengan buku lainnya.   Ada buku yang ditulis dengan emosi yang datar datar saja dan biasa.  Tetapi tidak sedikit karyanyan  ditulis dengan indah dan mengaduk emosi . Bisa dibilang NH Dini adalah penulis yang sangat produktif. Sampai usia 70 tahun lebih masih terus berkerja, terus menulis, terus berkarya, melakukan perjalanan jauh dan dekat, aktif ikut seminar, rapat- rapat,  membimbing mahasiswa  dan tidak pernah berhenti  beraktivitas. 

 NH Dini juga tampak tidak kesepian walaupun di masa tuanya  tinggal sendiri di panti wreda setelah kembali ke Indonesia pasca perceraian dengan suaminya.   Dalam setiap bukunya, NH Dini selalu menceritakan bahwa   dirinya tidak pernah kesepian karena selalu saja ada  kawan- kawan dan kerabat yang mengelilinginya.  Hobinya  banyak. Salah satunya berkebun; tetapi NH Dini  juga multi- talenta karena bisa menjahit, menyulam,  memasak, melukis, menari, menyanyi,  berdandan. Pendeknya semua skill yang diharapkan  bisa dimiliki oleh seorang perempuan didikan keluarga Jawa dimasa lalu.

 Masalah, persoalan keterbatasan finansial selalu mewarnai semua tulisannya dari awal sampai akhir, juga persoalan kesehatan nya yang rapuh . Secara umum  situasi ini seperti  menjadi seperti paradox . Di satu sisi NH Dini selalu menyatakan suaminya kikir dan kekurangan uang, namun  diceritakan juga bahwa mereka tidak pernah kelaparan, bisa berpakaian dengan patut dan tidak compang- camping,  selalu punya rumah yang bisa ditempati dengan decent, selalu bisa berlibur dan anak anak juga mendapat pendidikan di sekolah terbaik di luar negeri.

 Buku Argenteuil, La Grande Borne, Kampuchea, Fontenay ditulis dengan indah dan penuh perasaaan. Narasinya  yang mengharukan, menguras  dan mengaduk aduk emosi dan perasaan hati  pembaca sehingga pembaca bisa larut mengikuti narasi tentang perkawinannya yang tidak bahagia,  kecintaannya dengan sang kapten yang dianggapnya sebagai belahan jiwa dan cinta sejatinya yang ternyata tidak pernah bisa dimiliki hingga akhir hayat. Bukunya juga berisi  pergolakan batinnya sebagai perempuan bagaimana dirinya menyikapi semua persoalan hidup yang hadir menghampirinya.

 Pembaca juga diajak menikmati situasi di masa lalu  dan penggambarannya dalam narasi yang cermat, lengkap dan utuh.  NH  Dini dengan detail dan memukau bisa menceritakan dengan indah situasi kehidupan di Paris, Kampuchea, Tokyo,  Manila, Detroit, dan tentunya juga situasi tanah airnya Indonesia

(Bersambung pada Part 2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun