Saat membaca berita di Kompas.com bahwa Dahlan Iskan menjadi trending di Twitter, saya langsung teringat pada tindakan ekspresif Ronald Reagan dalam acara debat calon presiden di televisi AS. Efek dari apa yang dilakukan Pak Dahlan mirip betul dengan efek yang dicapai Reagan (memenangi opini publik).
Tindakan Pak Dahlan yang "ngamuk" dan membuka palang tol adalah sebuah tindakan ekspresif yang sejatinya "sangat tidak Timur". Budaya Timur konon lebih mementingkan sikap menahan diri, terutama ketika diri pribadi sedang dilanda rasa marah. Melampiaskan amarah adalah tindakan "tidak terpuji".
Tapi, sikap ke-Timur-an semacam itu sudah lama menipis di kota-kota besar, yang terpengaruh "budaya Barat" yang ekspresif dan ekstrovert. Dan warga kota besar yang punya akses pada Twitter -- jejaring sosial yang konon sering digunakan oleh "kelas berpendidikan" -- menemukan proyeksi sosok ideal mereka.
"Kelas berpendidikan" itu tentu telah menganut, sebagian atau seluruhnya, "nilai-nilai barat", termasuk ilmu -- yang notabene mulai berkembang secara sistematis di Barat, sehingga memiliki naluri, habit atau proyeksi ekspresif dan ekstrovert.
Pak Dahlan tampaknya tahu pasti bahwa warga urban berpendidikan itu bisa memiliki kekuatan opini yang besar. Pak Dahlan "marah" dan melampiaskan rasa marahnya secara ekspresif. Publik urban-berpendidikan yang "menonton", secara langsung atau tidak langsung, mengafirmasi tindakan itu.
Dan Pak Dahlan "memenangkan" opini publik karena tindakannya diakomodasi media. Banyak yang menyebutnya sebagai sosok yang bisa bertindak secara pragmatis dan cepat dan seharusnya Presiden SBY memiliki pejabat-pejabat seperti ini. Tentu ada respon negatif, tetapi prosentasenya jauh lebih kecil.
Reagan, dengan cara yang hampir serupa, memenangkan opini publik AS dan mencapai tujuan tertinggi kampanyenya: menjadi presiden.
Dalam debat calon presiden di AS, pembaca acara memotong ucapan Reagan karena jatah waktunya habis. Reagan langsung menyambar mikrofon dan marah-marah. Katanya, "Saya juga membayar pajak untuk ikut acara ini dan saya berhak bicara sampai saya selesai."
Mantan aktor itu sangat ekspresif. Rasa marahnya tampak otentik. Tak lama setelah itu, warga AS yang kesadaran politiknya tinggi merespon positif tindakan Reagan di acara debat itu. Reagan adalah sosok ideal mereka: sosok yang berani mengekspresikan diri untuk membela hak-haknya.
Pak Dahlan memang bukan Ronald Reagan. Tapi, dia berani mengekspresikan diri untuk membela hak-haknya dan hak-hak masyarakat pengguna jalan tol. Jika hak itu tidak terpenuhi oleh piihak yang semestinya memenuhi hak-hak itu, rasa marah muncul dan harus dilampiaskan.
Dengan membuka palang tol itu -- tindakan yang "liar" dan tidak sesuai dengan ketentuan -- maka Pak Dahlan telah menciptakan sebuah "tontonan" yang memikat -- sama seperti acara debat Reagan di televisi itu. Intinya di sini adalah "Pencitraan".