Selain dukungan kebijakan dan perencanaan, ekowisata lokal tidak menggambarkan etos budaya lokal. Termasuk masalah kebersihan dan pengelolaan sampahnya.
Data Klikhijau.com menunjukkan, masyarakat di pedesaan belum semuanya memiliki model pengelolaan sampah yang baik. Tidak sedikit warga di desa membuang sampahnya dengan cara: bakar, timbun dan buang ke sungai atau lautan.
Perilaku buruk ini juga mewarnai eksistensi destinasi ekowisata di desa, di mana sampah dan pemakaian plastik sekali pakai misalnya belum jadi prioritas untuk dikelola.
Hal ini membuat destinasi wisata di pedesaan terdesak oleh masalah lingkungan. Padahal, destinasi ekowisata sejatinya justru menawarkan edukasi pada pengunjungnya. Menikmati wisata alam berarti memasuki ruang kontemplasi terdalam, betapa alam menyediakan kebaikan pada manusia.
Karenanya, berwisata alam berarti meneguk makna tentang pentingnya harmonisasi antara alam dan manusia. Sebuah penghayatan tentang alam semestayang harus dijaga dan dilestarikan dengan cinta.
Dengan demikian, membangun destinasi ekowisata di desa berarti merawat tatanan nilai-nilai lokal (local wisdom) di dalamnya. Mengagendakan keberlanjutan (sustainability), partisipasi dan keteledanan dari warga lokal, serta menumbuhkan harapan berkemajuan dari desa.
Bila tidak, ini akan menjadi paradoks sepanjang masa---desa dibangun tapi dimensi lingkungan dan kebudayaannya tergerus perlahan.
Oleh sebab itu, tidak ada cara lain, ekowisata desa harus didesain semaksimal mungkin, dengan tidak melupakan otentitas dan kekayaan lingkungannya. Desa harus menjelma sebagai rumah kenangan yang selalu menggoda disambangi berulang kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H