Kawan Saya bernama Fumiko Furukawa (Dosen dari Kobe University Jepang) yang pernah studi banding bersama mahasiswanya di Tongke-Tongke mengagumi keindahan kawasan ini---tetapi ia terkejut dan sangat terganggu dengan sampah plastik yang berseliweran.
Belum lagi adanya konflik kepentingan antara otoritas lokal (Kepala Desa) dan pihak Pemerintah Daerah Sinjai terkait pembagian pemasukan. Hal ini berakibat pada tidak adanya pengembangan serius di Tongke-Tongke yang berdampak positif pada masyarakat di sekitarnya.
Di Kabupaten sebelahnya yakni Bulukumba juga mulai tertarik mengembangkan wisata mangrove. Tepatnya di Desa Mannyampa Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba---sebuah kawasan wisata baru bernama "Mangrove Luppung" juga diperkenalkan di awal tahun 2020.
Antusias warga sekitar cukup tinggi mengunjunginya, terutama untuk kepentingan swafoto dan mungkin melunasi rasa penasaran. Sayangnya, seperti banyak spot ekowisata di banyak tempat, Luppung juga diselimuti banyak kelemahan.
Merawat keberlanjutan
Di mana masalahnya?
Pertama, perencanaan pembangunan ekowisata di desa tidak memikirkan aspek keberlanjutannya.
Kedua, biaya yang dikeluarkan dalam pembangunan destinasi ekowisata seringkali hanya terfokus pada penataan ruang tanpa memikirkan inovasi, kreativitas dan kekhasannya.
Misal, bagaimana menawarkan sesuatu yang sungguh otentik dan memukau, fasilitas yang ramah bagi pengunjung serta wisata ramah lingkungan---ini semua selalu absen dalam lanskap ekowisata di desa.
Di desa-desa lain di Indonesia, juga hampir mengalami hal yang sama. Seringkali karena latah-latahan melihat sepak terjang desa lain, sebuah destinasi ekowisata dibangun sekadar mengandalkan eksotika alam.
Tanpa perencanaan berkelanjutan dan manajemen yang baik, destinasi itu akan mati suri seiring waktu.