Tanah yang dahulu subur dalam ingatannya, kini menghadapi masalah besar. Hama dan beragam masalah menghinggapi nasib petani. Pertanian mulai tidak bisa diandalkan warga desa.Â
Harus diakui bahwa banyak warga yang taraf hidupnya meningkat karena bisa membeli kendaraan atau membangun rumah-rumah bagus. Tetapi, tidak sedikit juga yang memilih merantau ke negeri Jiran atau mem-buruh di kota-kota besar.
Perubahan drastis itu, di satu sisi disadari Kak Abi sebagai sesuatu yang sulit dihindari. Waktu yang bergerak niscaya melahirkan perubahan. Tetapi, ada satu hal yang menyesakkan bathinnya yaitu hilangnya nilai-nilai kebajikan dan kearifan lokal (local wisdom).
Terjadi degradasi nilai yang sulit terbayangkan. Desa yang berada di pedalaman nan jauh dari hirup pikuk kota, di luar dugaan, anak-anak muda-nya telah berlakon sama dengan "anak-anak kota".Â
Para generasi muda semakin sulit menghargai proses dan semakin lupa pada jati dirinya. Mereka lahir sebagai generasi yang karbitan dengan keadaan yang serba mudah dan praktis.Â
Akhirnya mereka menjadi generasi yang takut menghadapi kerumitan-kerumitan hidup. (Tulis Abidin Wakur dalam bukunya "Filosofi Masalah" hal: 1-2).
Hal yang semakin mencemaskan Kak Abi, karena semakin banyak anak-anak muda yang ketagihan minuman keras dan gaya hidup senang-senang sesaat.Â
Kampung sebagai benteng terakhir dimana etika dan nilai-nilai kehidupan dijunjung terancam ambruk. Kak Abi melihat ini sebagai masalah besar, masalah peradaban bangsa.
***
Demi, berbaur dengan masyarakat, Sanggar seni yang didirikannya juga dilibatkan untuk kegiatan kegiatan pertanian. Kak Abi dan beberapa anggota sanggar menanam beragam tanaman holtikultura.Â
Dua tahun berjalan, usahanya gagal total. Kak Abi malah mengalami kebangkrutan bahkan harus berutang akibat beban modal bertani yang mencekik. Sebagaimana pameo, kegagalan adalah pengalaman berharga. Kak Abi sadar betul betapa ia terlampau lancang mengubah orang lain dan lingkungan, "sementara saya sendiri belum berubah," cetusnya