Aminah (23), nama samaran, tetiba mengirimkan fotonya ke saya via whatsapp (WA) . Sebuah gambar yang didesain khusus dengan terang, lengkap dengan logo sebuah partai dan nomor urutnya. Ada pula tagline, semacam narasi politik yang maknanya kira-kira dimaksudkan untuk menunjukkan siapa dan seberapa layak ia untuk dipilih.
Saya membalas WA nya dengan emotion jempolan. "Mohon dukungan dan doanya kanda! " Spontan saya aminkan saja. Aminah bukanlah satu-satunya anak muda dan perempuan yang memilih bertarung pada Pemilu 2019 mendatang. Ada keluarga dekat saya, mengaku ikut men-Caleg pula. Bahkan, di kampung saya setidaknya ada lebih dari lima orang Caleg dari partai berbeda. Beberapa di antaranya adalah orang muda.
Kawan-kawan saya di kampus yang dulu aktif sebagai aktivis dan fungsionaris mahasiswa juga ramai-ramai jadi Caleg. Foto-foto kampanye mereka, kini terpajang di sosial media khususnya facebook dan instagram. Tampilannya cukup beragam. Tetapi, secara garis besar dapat saya klasifikasikan dalam dua kelompok. Pertama, yang tampil dengan desain elegan dan tagline lumayan menarik. Kedua, yang tampil dengan desain biasa-biasa saja, tetapi lebih menunjukkan orisinalitasnya.
Secara umum,  saya menangkap pesan serius betapa mereka sangat paham pentingnya memasarkan diri lewat sosial  media. Mereka juga sadar kalau segmentasi pemilih pemula dan pemilih muda cukup besar (data pemilih 17-38 sekitar 55% hingga 60%). Tentu, jumlah yang cukup fantastis dan meyakinkan betapa kualitas Pemilu 2019 ditentukan oleh generasi millenial.
***
Kabar tentang seorang politikus muda yang putus cinta gegara beda partai dengan pacarnya viral di media. Narasi konflik seperti ini menarik disimak untuk membaca sikap politik (political engagement) Â masyarakat merespon kontestasi.
Sejatinya, pilihan politik bersifat privat, bebas dan mandiri. Jadi, seseorang (siapa pun) Â dapat menentukan pilihan politiknya tanpa ada intervensi dan intimidasi bahkan dari orang-orang terdekatnya. Peristiwa Caleg yang putus cinta di sisi yang lain dapat dibaca sebagai luapan kebebasan menentukan sikap dan pilihan tanpa tekanan. Peristiwa ini mengingatkan saya dengan teori strukturasi Giddens, seseorang dapat melakukan apa yang disebut dengan 'derutinisasi' terhadap struktur yang membelenggunya.
Pertanyaannya, apakah pilihan politik generasi millenial memang sudah sangat merdeka dan mandiri? Saya teringat riset Kompas jelang Pemilu 2004 yang memotret kecenderungan pemilih pemula yang walaupun dapat mengakses sendiri informasi seputar partai politik, perihal pilihan mereka patuh dan bergantung pada orang tua, keluarga atau orang terdekatnya.Â
Ini sangat bertolak belakang dengan perilaku Millenial saat ini yang memiliki kebiasaan dan cara pandang berbeda. Walau cenderung apolitik, generasi millenial tidak lagi bisa diarahkan dengan mudah bila urusan pilihan politik. Dipastikan mereka memiliki preferensi dan imajinasi sendiri tentang bagaimana pilihan yang tepat mewakili ilusi politiknya.
Riset CSIS 2017 menunjukkan sejumlah hal positif bagi pemilih millenial. Pertama, generasi millenial (usia 17-29) adalah lapisan masyarakat yang paling optimis dengan masa depan kehidupan mereka. Ada sekitar 94,8 % yang yakin dan percaya bahwa dengan pelbagai akses informasi dan teknologi, perubahan dan kemajuan dapat diciptakan.Â
Mereka juga menjadi generasi paling bahagia dalam menjalani kehidupnnya yakni sekitar 91,2%. Generasi millenial ini juga memiliki kecenderungan minat yang khas antara lain: 30,8% menyukai olahraga, 19% menyukai musik, 13 % menyukai memasak, selebihnya mereka minat pada permainan game (5,7%), sosial media (5,5%), membaca (5,3%) dan hanya ada (2,3%) yang tertarik membahas masalah politik.
Hal terakhir ini menarik, anak muda millenial tidak terlalu menyukai bicara politik. Walau begitu, diam-diam mereka menaruh perhatian seputar Pilpres dan Pemilu. Â Riset CSIS menunjukkan bagaimana anak-anak muda itu memberikan penilaian positif terhadap partai-partai pilihannya termasuk tokoh-tokoh idolanya di Pilpres. Artinya, anak muda millenial sesungguhnya tidaklah berjarak terlampau jauh dengan politik, mereka mengakses dan memahami politik, hanya saja tidak ingin berkubang pada pembicaraan politik yang dianggapnya terlalu serius dan rumit.
Apa pun itu, generasi millenial adalah generasi harapan. Mereka optimis melihat masa depan kebangsaan. Sikap politiknya tidak vulgar, tetapi dari karakter sosialnya, mereka cenderung kritis dan berhati-hati dalam memilih. Sampai di sini, teranglah sudah kalau pemilih millenial adalah generasi pemimpi yang memiliki ilusi berbeda dengan generasi lainnya.
Para Caleg seperti Aminah dan lainnya harus lebih kreatif lagi lah mengolah model-model kampanye dan isu apa yang relevan menggaet minat politik pemilih muda ini. Setidaknya ada differensiasi yang menunjukkan bahwa ia memang dapat mewakili imajinasi dan impian orang-orang muda. Kedua, diperlukan kreativitas lebih. Tidak sekadar ikut arus hanya karena berada pada musim gagah-gagahan berfose sebagai politikus!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H