Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perpustakaan, Ingatan dan Buku-buku dalam Kepala

26 September 2018   11:53 Diperbarui: 26 September 2018   13:47 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(dokumentasi Relawan Pustaka Bergerak Indonesia) 

Sejak kapan Anda mengenal perpustakaan? Bagi yang dibesarkan di pelosok desa seperti saya, perpustakaan bermula hadir dalam ingatan saya saat menginjak SD. Hal paling kuat dalam memori saya perihal perpustakaan di masa itu adalah buku-buku tua, peta, bola dunia, dan ruang sempit yang sepi senyap.

Ketika beranjak ke SMP, wajah perpustakaan sedikit lebih baik. Ruangannya lebih luas, namun suasananya tetap saja lebih sering kosong melompong. Hanya seorang petugas (pustakawan) menjaganya yang karena tak ada aktivitas lebih terlihat seperti pemantau pintu gerbang perumahan. 

Buku-bukunya sedikit lebih banyak. Tetapi, ada satu hal yang menjanggal dalam ingatan saya yakni adanya sebuah lemari bertajuk "buku referensi" yang tidak bebas kami jejali sebagai siswa. Padahal, di lemari itulah tampak beberapa buku bagus yang tebal-tebal terawat.  Buku-buku itu ibarat gadis cantik dalam kurungan istana. Perawan tak terjama. 

Saat di bangku SMA, suasana perpustakaan sekolah tidaklah berbeda. Walau ruangannya lebih luas dan pustakawan yang lebih dari satu orang--ruang perpustakaan hanyalah tempat alternatif bagi siswa. Selain karena buku-bukunya yang terbatas, perpustakaan belum dijadikan rumah belajar yang kondusif. Siswa yang kerapkali menghabiskan waktunya membaca di perpustakaan dapat dihitung jari.

(dokumentasi Relawan Pustaka Bergerak Indonesia) 
(dokumentasi Relawan Pustaka Bergerak Indonesia) 
Apa perpustakaan di kampus sedikit lebih baik? Pengalaman saya kuliah di perguruan tinggi negeri di Makassar pada awal tahun 2000-an, ruang perpustakaan kampus memang cukup lumayan. 

Selain koleksi bukunya yang memadai, ruangannya juga sangat luas. Hanya saja pengunjung perpustakaan tidak seramai aktivitas mahasiswa di kantin. 

Gedung perpustakaan yang besar perkasa itu belum berhasil merangsang animo mahasiswa. Pengelolaan perpustakaan sangat monoton sekadar pada membaca saja. Padahal, ruang perpustakaan kampus bisa disulap multi fungsi semisal ruang diskusi, akses informasi mutakhir, ruang kreatif, maupun ruang berkolaborasi gagasan.

Selain perustakaan universitas, ada pula perpustakaan di fakultas dan jurusan yang ruangannya lebih kecil. Tidak banyak buku-buku referensi yang tersedia di dalamnya, sebagian hanya berisi tumpukan skripsi alumni. 

Lucunya, pada skripsi yang berseliweran itulah, banyak mahasiswa sering menghabiskan waktunya membaca dan menyalin skripsi karena sedang menyusun skripsi. 

Pendeknya, tidak sedikit mahasiswa yang menulis skripsi dengan hanya menggunakan skripsi sebagai bahan literatur primer. Dari skripsilah, mereka mengutip penggalan narasi suatu literatur dan kemudian menyertakan daftar pustaka yang juga sebetulnya dikutip dari skripsi. Ini benar-benar sadis. Jadi, tidak sedikit yang mungkin jadi sarjana tanpa pernah membaca tuntas buku-buku tertentu setidaknya yang relevan dengan keilmuannya.

Begitulah ingatan saya tentang perpustakaan sejak SD hingga kuliah. Perpustakaan hanya dijadikan ruang singgah untuk melampiaskan kekosongan dan hari-hari yang tidak sibuk. 

Saya ingat betul bagaimana kami diarahkan ke perpustakaan saat guru mata pelajaran berhalangan. Gembiranya bukan main, sebab sebagian kawan saya mengira bahwa berada diperpustakaan adalah sebuah momen bersantai. Ada beberapa di antara kami yang memang membaca buku tetapi lebih banyak yang hanya bersendagurau saja.

Beruntunglah, beberapa tahun terakhir perpustakaan yang dikelola pemerintah mulai berbenah. Koleksi buku-bukunya semakin lengkap. Di beberapa daerah, ruang perpustakaannya mulai ber-AC sehingga pengunjung bisa membaca dengan betah. Walau begitu, di beberapa tempat juga, perpustakaan pemerintah masih sangat kaku, infrastukturnya belum maksimal. 

Keluhan masyarakat selama ini juga patut didengar, konon beberapa perpustakaan masih terlalu administratif dalam melayani pengunjung. Padahal,  idealnya perpustakaan haruslah nyaman dan inklusif. 

Bayangkan saja betapa menariknya bila perpustakaan tetap buka di hari libur bahkan malam hari. 

Jadi, kita bisa menjadikan perpustakaan sebagai ruang rekreasi sambil membaca. Jadi, masalah kita memang sangat klasik yakni kita adalah bangsa yang tidak terbiasa berkubang dengan buku-buku. Saya jadi ingat cerita kawan tak lama setelah jadi sarhana,  orang tuanya bertanya: "untuk apa lagi kau selalu beli buku padahal kau sudah sarjana? " 

Wajar saja bila mayoritas rumah-rumah kita adalah rumah yang tanpa buku-buku. Sebab, sejak kecil ada doktrin bahwa buku yang dibca dan dibeli hanyalah buku pelajaran. Atau dalam bahasa lain, kebutuhan membaca hanya karena kepentingan tugas sekolah atau kampus. 

Beruntung, akhir-akhir ini semakin banyak rumah baca yang dipelopori relawan dari pelbagai komunitas. Semakin banyak pula perpustakaan milik perorangan atau swasta justru dengan nuansa yang lebih menarik dan koleksi buku yang lengkap. 

Harus ada narasi baru atau kontra narasi di tengah awamnya bangsa kita terhadap buku dan perpustakaan. Semisal "bangsa hebat adalah bangsa yang merawat perpustakaan dalam kepala".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun