Konstitusi telah menjadi simbol yang mengikat imajinasi berbangsa. Peletuknya adalah bahwa hanya dengan terus belajar dan konsisten merawat akal sehat, demokrasi tetap ditimang hingga saatnya benar-benar dewasa.Â
Kita sudah membuktikannya dalam dua-tiga kali Pilkada serentak di berbagai daerah. Â Yang bebal dan korup terhukum tanpa ampun bahkan terpotong di tengah jalan. Â Yang minim inovasi dan kreativitas, kalah di periode keduanya. Â Tidak sedikit politikus yang berlatar belakang biasa saja justru melenggang mulus jadi Bupati atau Gubernur.Â
Sejarah juga mencatat betapa tak ada rezim yang benar-benar tangguh di daerah. Â Pemimpin yang mulai membangun dinasti pada akhirnya linglung pula. Â Tersisih dengan sendirinya.Â
 Pelan-pelan, preferensi politik pemilih kita semakin baik.  Yang bertarung dengan jurus mabuk dengan politik uang hanya perlu diambil uangnya tapi tidak dipilih. Yang bertarung dengan minim gagasan hanyalah penggembira yang harus dihargai keberanian dan keikutsertaannya berkontestasi.Â
Dari waktu ke waktu, semakin tertutup peluang korupsi bagi pejabat publik. Â Ini tentu jadi ancaman bagi mereka yang hendak berkuasa sekadar mengakumulasi kekayaan pribadi.Â
 Semua bergerak ke jalan yang semakin baik.  Harapannya,  semakin banyak orang-orang baik yang mengisi parlemen dan kepemimpinan politik di semua level. Setidaknya sedikit bersepakat dengan Albert Camus bahwa perjuangan manusia sesungguhnya adalah melawan kebathilan.  Demokrasi harus terjaga dengan akal sehat agar kebaikan dan kebenaran selalu terkonsolidasi meruntuhkan kebathilan dan kejahatan.Â
Kita optimis,Pemilu 2019 adalah rumah bagi orang-orang baik yang memahami harapan banyak orang yakni demokrasi adalah jalan mewujudkan Indonesia yang semakin bermartabat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H