Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Re-Evaluasi Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015

6 April 2016   11:45 Diperbarui: 6 April 2016   12:11 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Desember 2015 telah dilaksanakan. Namun, aneka perdebatan masih melingkupi seputar kualitas representasi pelaksanaan demokrasi lokal tersebut. Satu diantaranya adalah soal anggaran teknis operasioanal penyelenggaran. Tidak semua daerah memiliki kesanggupan dalam hal pembiayaan, terlebih bila sekadar mengandalkan kas daerah.

Pemerintah daerah tentu mempertimbangkan aspek kemampuan keuangan daerah dalam menghitung besaran dana Pilkada yang direncanakan. Dalam konteks inilah, di hampir semua daerah yang akan menghelat Pilkada dipastikan akan mengalami perdebatan serius dengan KPUD. Pada sisi lain, KPUD sebagai operator penyelenggara, tentu akan membuat perencanaan penganggaran berdasarkan kebutuhan program penyelenggaraan.

Bila demikian, mestinya pembahasan anggaran Pilkada melalui suatu diskursus kritis antara KPUD dan Pemerintah Daerah. Ini penting agar setiap item penganggaran yang diajukan penyelenggara diikuti dengan argumen rasional dan faktual. Atau sebaliknya, KPUD harus memahami terlebih dahulu mengenai besaran daya dukung maksimal pemerintah daerah sebelum mengusulkan perencanaan penganggaran.

Rasionalisasi Program

Dalam Undang-Undang (UU) Pilkada memang hanya disebutkan bahwa anggaran Pilkada berasal dari dana APBD dan dibantu APBN. Tidak ada penjelasan detail mengenai standarisasi penganggaran serta sanksi yang akan diberikan bila ada Kepala Daerah yang sewenang-wenang dalam hal penganggaran Pilkada.

Sementara bila berkaca pada Pilkada sebelumnya di beberapa daerah, tidak sedikit Kepala Daerah yang memanfaatkan pola penganggaran. Sebagai contoh, adanya Kepala Daerah yang dengan gampangnya memperbesar nominal anggaran Pilkada hanya karena berposisi sebagai incumbent. Dalam kasus lain, begitu banyak daerah yang hanya menyiapkan anggaran dengan nominal yang sangat jauh dari usulan KPUD, dengan alasan ketidakmampuan.

Faktanya, ketidakmampuan kapasitas keuangan daerah selama ini seringkali karena banyaknya program daerah yang sebelumnya menyedot anggaran besar. Pengalaman M. Jufri Rachim (Ketua KPU Sultra) pada Pilgub Sultra 2007 menunjukkan bahwa daerah perlu mensiasati perencanaan penganggaran dengan meminimalisir penganggaran di sektor lain menjelang Pilkada agar bisa fokus pada pendanaan Pilkada. (FM. Jufri Rachim, Face Of Local Democracy, 2008:110).

Oleh sebab itu, usulan revisi UU Pilkada khusususnya di pasal 8 mengenai anggaran Pilkada adalah satu langkah positif. Setidaknya karena diperlukan adanya kepastian hukum soal standar besaran anggaran, sehingga tidak lagi menimbulkan polemik berkepanjangan yang justru akan menghambat pelaksanaan Pilkada serentak.

Di samping itu, KPUD harus melakukan rasionalisasi program dengan mempertimbangkan efektivitas, kondisi sosiologis suatu daerah, termasuk mengenai target subtantif dari suatu item pendanaan. Di sinilah diperlukan kreativitas masing-masing penyelenggara di daerah dalam menjalankan proses Pilkada.

Idealnya memang, diperlukan suatu bangunan system penyelenggaraan yang mendetail, dan memberi jaminan kepastian suatu proses demokrasi tanpa potensi kecurangan namun tetap mengandaikan suatu partisipasi massif.  

Efektivitas vs Efisiensi

Apabila pendekatannya adalah hasil (out-put), maka KPUD harusnya dapat memaksimalkan perencanaan proses penyelenggaraan maupun pengawasan. Tentu, dengan catatan bahwa ada regulasi yang memungkinkan negara dapat memenuhi alokasi anggaran yang maksimal bagi penyelenggara. Toh, seluruh sisa anggaran Pilkada dapat dikembalikan ke negara. Bandingkan, bila anggaran yang disiapkan tidak mencukupi, sementara proses sudah berjalan?

Polemik soal anggaran Pilkada adalah sebuah pertentangan antara apakah demokrasi melulu soal efisiensi atau soal efektivitas? Kebanyakan ilmuan politik cenderung sepakat bahwa demokrasi tidak sepenuhnya soal efisiensi, tetapi paling pokok adalah soal efektivitas. Demokrasi memang sebuah harga mahal yang harus ditanggung negara, karena itulah seorang J.S Mill dan juga Rouessau (Sorensen, 1993) sudah memperingatkan betapa sulitnya mewujudkan demokrasi di sebuah negara yang dilingkupi kesejangan sosial dan ekonomi.

Pilihan menghadirkan demokrasi lokal (local politic) harus dibayar mahal oleh negara. Namun, seluruh tahapan dan proses Pilkada mesti memperhatikan esensi dan efektivitasnya. Setidaknya untuk memenuhi prasyarat suatu demokrasi berkualitas antara lain; (1) partisipasi yang efektif (inklusi), (2) persebaran informasi dan pemahaman mengenai proses politik (political information), (3) pengawasan yang efektif yang memastikan adanya penegakan hukum (rule of law).

Sekali lagi pendekatannya adalah efektivitas atau bagaimana suatu tahapan dihadirkan untuk melahirkan capaian tertentu. Pada Pilkada serentak 2015 ini misalnya ada perubahan mendasar pada proses pengawasan dan anggaran kampanye kandidat.

Dari sisi pengawasan, upaya pencegahan maupun penindakan tentu membutuhkan biaya lebih besar. Lalu, biaya kampanye yang dibebankan kepada negara, tentu tidak murah. Dalam dua hal ini saja, penyelenggara harus memikirkan bagaimana proses kampanye maupun pengawasan berjalan efektif. Jangan sampai, karena alasan efisiensi kedua proses paling menentukan ini tidak berjalan baik, sehingga berdampak pada kualitas demokrasi. 

Sekali lagi, problemnya tidak sekedar pada efisien atau tidaknya—tetapi soal efektif atau tidak. Saya khawatir, penganggaran Pilkada terjebak pada logika efisiensi. Sehingga, meniadakan sejumlah usulan produktif yang semestinya dapat melahirkan suatu proses Pilkada berkualitas.

Maka, ada dua dimensi penting yang harus diwujudkan dalam mengelola Pilkada yang efektif. Pertama, menghilangkan logika penyeragaman tahapan Pilkada secara nasional. KPU harus membuka kemungkinan, KPUD mengkreasikan sejumlah tahapan Pilkada se-efektif mungkin dengan tidak menghilangkan karakter lokal masing-masing. Kedua,memperkuat pengasawan dan sanksi pagi pelanggaran Pilkada sekecil apa pun. Regulasi harus memberi jaminan terciptanya Pilkada bersih sehingga menutup akses terjadinya sengketa pasca Pilkada.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun