Apabila pendekatannya adalah hasil (out-put), maka KPUD harusnya dapat memaksimalkan perencanaan proses penyelenggaraan maupun pengawasan. Tentu, dengan catatan bahwa ada regulasi yang memungkinkan negara dapat memenuhi alokasi anggaran yang maksimal bagi penyelenggara. Toh, seluruh sisa anggaran Pilkada dapat dikembalikan ke negara. Bandingkan, bila anggaran yang disiapkan tidak mencukupi, sementara proses sudah berjalan?
Polemik soal anggaran Pilkada adalah sebuah pertentangan antara apakah demokrasi melulu soal efisiensi atau soal efektivitas? Kebanyakan ilmuan politik cenderung sepakat bahwa demokrasi tidak sepenuhnya soal efisiensi, tetapi paling pokok adalah soal efektivitas. Demokrasi memang sebuah harga mahal yang harus ditanggung negara, karena itulah seorang J.S Mill dan juga Rouessau (Sorensen, 1993) sudah memperingatkan betapa sulitnya mewujudkan demokrasi di sebuah negara yang dilingkupi kesejangan sosial dan ekonomi.
Pilihan menghadirkan demokrasi lokal (local politic) harus dibayar mahal oleh negara. Namun, seluruh tahapan dan proses Pilkada mesti memperhatikan esensi dan efektivitasnya. Setidaknya untuk memenuhi prasyarat suatu demokrasi berkualitas antara lain; (1) partisipasi yang efektif (inklusi), (2) persebaran informasi dan pemahaman mengenai proses politik (political information), (3) pengawasan yang efektif yang memastikan adanya penegakan hukum (rule of law).
Sekali lagi pendekatannya adalah efektivitas atau bagaimana suatu tahapan dihadirkan untuk melahirkan capaian tertentu. Pada Pilkada serentak 2015 ini misalnya ada perubahan mendasar pada proses pengawasan dan anggaran kampanye kandidat.
Dari sisi pengawasan, upaya pencegahan maupun penindakan tentu membutuhkan biaya lebih besar. Lalu, biaya kampanye yang dibebankan kepada negara, tentu tidak murah. Dalam dua hal ini saja, penyelenggara harus memikirkan bagaimana proses kampanye maupun pengawasan berjalan efektif. Jangan sampai, karena alasan efisiensi kedua proses paling menentukan ini tidak berjalan baik, sehingga berdampak pada kualitas demokrasi.Â
Sekali lagi, problemnya tidak sekedar pada efisien atau tidaknya—tetapi soal efektif atau tidak. Saya khawatir, penganggaran Pilkada terjebak pada logika efisiensi. Sehingga, meniadakan sejumlah usulan produktif yang semestinya dapat melahirkan suatu proses Pilkada berkualitas.
Maka, ada dua dimensi penting yang harus diwujudkan dalam mengelola Pilkada yang efektif. Pertama, menghilangkan logika penyeragaman tahapan Pilkada secara nasional. KPU harus membuka kemungkinan, KPUD mengkreasikan sejumlah tahapan Pilkada se-efektif mungkin dengan tidak menghilangkan karakter lokal masing-masing. Kedua,memperkuat pengasawan dan sanksi pagi pelanggaran Pilkada sekecil apa pun. Regulasi harus memberi jaminan terciptanya Pilkada bersih sehingga menutup akses terjadinya sengketa pasca Pilkada.
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H