Ringkasan
Rumput laut merupakan salah satu potensi menjanjikan di Indonesia sebagai negara maritim. Setiap tahun produksi rumput laut Sulsel rata-rata menghasilkan 1,5 juta ton dengan nilai mencapai 1,9 juta dolar Amerika. Rumput laut produksi Sulsel sebagian besar di ekspor ke Philipina, China, Thaiwan, dan Hongkong. Pada tahun 2015, KATALIS melakukan penelitian mengenai value chain rumput laut di empat Kabupaten di Sulsel yakni Takalar, Maros, Pangkep dan Barru.
Penelitian mengenai value chain ditujukan untuk menilai semua kegiatan dan stakeholders serta hubungannya dalam rantai pasok, dengan tujuan membantu untuk menengahi in-efisiensi seperti variabilitas, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sektor rumput laut merupakan potensi besar yang memerlukan sentuhan kebijakan khusus, agar para petani rumput laut dapat meningkatkan lebih sejahtera.
Masalah Utama di Level Produksi dan Pemasaran
Berbagai permasalahan dalam hal produksi rumput laut terjadi di semua tingkatan, mulai proses pra produksi, hingga pemasaran. Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan budidaya, ketersediaan bibit, permodalan, tenaga kerja dan lahan, alat-alat budidaya dan pemasaran, serta kondisi saat panen, pasca panen dan harga jual. Dari semua tingkatan tersebut, ditemukanlah masalah mendasar di setiap daerah yang secara ril dirasakan oleh petani rumput laut. Berikut dijabarkan mengenai permasalahan yang terjadi di empat kabupaten di Sulsel;
- Pra Produksi
Petani rumput laut di empat kabupaten masih mengeluhkan mahalnya peralatan saat melakukan budidaya. Kegiatan pra produksi petani/pembudidaya rumput laut membutuhkan alat budidaya seperti tali ris, plampung, sampan, para-para, waring, tenda, linggis, bambu, dan lain-lain. Bahan utama yang dibutuhkan petani adalah tali dan plampung. Bila akan membeli tali dengan jumlah yang banyak, maka petani/pembudidaya membelinya di Makassar atau kota kabupaten seperti petani rumput laut di Punaga dan Laikang yang umumnya membeli di Makassar atau kota Takalar.
Namun, bila membeli tali yang jumlahnya sedikit, mereka membelinya di Cikoang saja atau beberapa penjual di desa masing-masing. Pembudidaya Maros-Pangkep misalnya membeli Tali di Makassar atau di kota Pangkajene demikian pula halnya di Barru. Selisih harga dilokasi petani di empat daerah tesebut sekitar Rp 5. 000 sampai Rp 10.000 per roll. Untuk 1 roll tali biasanya antara 3 sampai 7 bentangan tergantung panjang bentangannya. Umumnya setiap bentangan bisa dipakai bertahun-tahun bahkan antara 5 sampai 10 tahunan.
Kalau saja tali tersebut dibeli di Makasar maka perbedaan nilai yang diperoleh sekitar Rp. 400.000 - Rp. 600.000, Keadaannya tidak berbeda beberapa peralatan lain. Hanya plampung yang hampir setiap saat di ganti untuk jumlah tertentu. Untuk investasi alat, petani membutuhkan waktu antara 1 hingga 2 kali panen untuk mengembalikan modalnya.
Misalnya di Takalar bila katonik ditingkat petani dijual dengan harga Rp 7.000/kg kering maka jenis SP dan edule dengan harga Rp 6.000/kg. Namun demikian di Takalar sebagian petani menyukai membudidayakan jenis ini karena lebih tahan terhadap perubahan musim, dan bibitnya mudah diperoleh. Harga bibit cukup mahal, terutama di musim kemarau. Sehingga petani terpaksa harus meminjam uang pada pedagang.
Hampir semua petani pada saat awal, membeli bibit ditempat lain dengan harga Rp 3000 – 3500 per kg basah. Setiap bentangan membutuhkan sekitar 5- 7 kg bibit. Untuk setiap 100 kg dapat digunakan untuk sekitar 15 bentangan. Pada beberapa lokasi upaya pembibitan sendiri sudah ada yang melakukan baik secara individu maupun secara kelompok. Bahkan di Barru sudah ada upaya pembibitan yang melibatkan kelompok perempuan. Tetapi ketersediaan bibit pada musim tertentu mengalami kekurangan, sehingga petani mendatangkan bibit dari lokasi/daerah lain seperti Jeneponto, Bantaeng.
Kebutuhan lain petani rumput laut adalah pada pekerja saat pembibitan dan pasca panen. Upah rata-rata pekerja bila dihitung per hari cukup bervariasi antara Rp. 20.000 hingga Rp.50.000. Kalau khusus pembibitan atau pemasangan bibit ditali bentangan pekerja digaji antara Rp. 1000 hingga Rp. 1500 per bentangan.
Mengenai lahan budidaya, semua petani di Punaga dan Laikang memakai lahan milik sendiri. Luas wilayah dan banyaknya bentangan bervariasi, tapi bila dirata-ratakan antara 300-1000 bentangan. Pola penentuan lokasi atau lahan sifatnya konsensus saja. Jadi, siapa saja bisa mengklaim lokasi sepanjang tidak ada orang yang menggarap sebelumnya. Walau begitu, konflik lahan dengan skala kecil sering terjadi namun dengan intensitas rendah.
- Panen, Pasca Panen, Produksi dan Pemasaran
Pasca panen berlangsung setelah rumput laut diangkut dengan sampan ke daratan. Pekerjaaan ini dilakukan oleh laki laki dibantu perempuan terutama pada saat pengeringan sampai penyimpanan. Hampir semua petani melakukan pengeringan selama 2-3 hari tergantung cuaca. Sebahagian besar petani mulai memahami mengenai tingkat kekeringan rumput laut berdasarkan informasi dari pedagang pengumpul walaun sebagian lagi, kadang-kadang tidak mempertimbangan tingkat kekeringan sesuai standar yakni 32 %. Rumput laut ditingkat petani langsung dikarungkan dan jarang dilakukan penyortiran dan langsung dijual, tetapi untuk beberapa petani di desa Pitunggu Pangkep sangat memperhatikan kegiatan sortir sebelum dijual.
Berdasarkan pengakuan petani untuk 400 bentangan memproduksi rata-rata 1 ton lebih rumput laut kering, tapi jika pertumbuhan kurang baik hanya menghasilkan 500 kg, ada diantara petani menghasilkan 1,5 ton rumput laut kering untuk 700 betangan. Sehingga dapat disimpulkan setiap petani menghasilkan 3-5 kg rumput laut kering setiap bentangan. Setelah dikeringkan rumput laut akan langsung diambil oleh pedagang pengumpul atau dibeli oleh tengkulak dengan harga yang bervariasi.
Di Takalar Harga Kontonik sekitar Rp 7000 dan SP atau spinosum seharga Rp 6000. Sedangan di Pangkep yang umumnya menghasilkan kotonik harga lebih tinggi yakni sekitar Rp 8.000 – Rp 9000. Melalui proses tersebut petani mendapat nilai tambah sekitar Rp 2.500 dengan rata-rata keuntungan sekitar Rp 5 500
Masalah Ketidakstabilan harga
Umumnya, petani di empat Kabupaten (Takalar, Pangkep, Maros dan barru) mengeluhkan aspek pemasaran. Harga yang rendah dan tidak stabil menjadi persoalan, sementara kebutuhan pokok lainnya terus melonjak. Namun, petani di empat Kabupaten tetap saja bekerja di bidang ini karena mayoritas mengaku tidak memiliki pekerjaan lain. Mereka berharap ke depan, harganya kembali normal.
Permainan harga layak dicurigai terjadi. Hal ini terlihat pada perbedaan harga empat daerah penelitian, meskipun tidak terlalu signifikan. Di level pedagang besar, perbedaan harga dikaitkan dengan kualitas produk. Faktanya, kualitas rumput laut di Maros dan Barru sedikit lebih baik dari Takalar. Dan petani di Maros dan Barru menjual produknya lebih mahal dari Takalar.
Mayoritas petani rumput laut tidak pernah menjual langsung produknya ke eksportir besar. Umumnya, mereka hanya menjual produknya ke tingkat pedagang kecil atau pedagang lokal. Selain karena pertimbangan jumlah produk yang tidak banyak. Relasi antara petani dan pedagang atau tengkulak sulit dipisahkan karena adanya penyertaan modal di dalamnya. Khusus di Sulawesi-Selatan, hanya terdapat sedikit eksportir besar yang memiliki gudang dan industry pengolahan berstandar industri. PT Giwang yang berkantor pusat di Takalar adalah eksportir terbesar di Sulsel yang selama ini mengekspor produknya ke Eropa.
Harga ekspor per kg untuk rumput laut yang berbentuk tepung seharga 6 Dollar AS atau sekitar Rp. 70.000, sementara untuk produk chip dijual seharga 5 Dollar AS, atau sekitar 60.000. Hitungan produksinya sebagai berikut; setiap 1 kg produk dalam bentuk chip atau tepung membutuhkan bahan baku sekitar 4 sampai 4.5 kg rumput laut kering. Kalau harga rumput laut kering sekitar 11.000 maka, modal dasarnya=44.000, jumlah ini belum termasuk biaya produksi, infrastruktur pabrik, pengemasan, pengiriman, dokumen ekspor dll. Dalam hitungan bisnisnya, selisih yang diperoleh perusahaan sebenarnya tidak terlalu besar, hanya dikisaran 10.000 per kg.
Masalahnya, harga rumput laut sulit diprediksi. Tidak pernah ada harga permanen yang bisa dijadikan rujukan dalam kurun waktu tertentu. Penentu harga adalah buyer di Eropa. Logika harga juga menggunakan pendekatan teori ekonomi suplay and demand, jadi kalau permintaan buyer besar maka harga juga kadang naik. Tapi, kalau permintaan pasar global sedikit, maka harga domestik biasanya turun. Masalahnya adalah perubahan harga di tingkat buyer bersifat unprediktible karena tergantung pada kebutuhan rumput laut pasar global.
Pemerintah Daerah: Pertama, diperlukan semacam intervensi pemerintah di daerah masing-masing dalam akses pasar domestik maupun ekspor, sehingga tidak lagi ada kartel harga di berbagai tingkatan pedagang. Kedua, pemerintah daerah dapat berperan dalam memastikan jaminan kualitas produksi petani. Barangkali melalui edukasi mengenai standar kualitas yang diinginkan pasar ekspor, sehingga daya saing dan harga jual dapat dipertahankan. Ketiga, diperlukan semacam regulasi yang mengatur soal kepemilikan lahan ke depan, demi mencegah konflik kepemilikan lahan.
Di level Petani: pertama, Dalam perpektif Gender aktifitas perempuan dibidang pengolahan perlu diberi suport terutama pada pengolahan skala rumah tangga yang mengubah baku rumput laut kering menjadi dodol atau makanan lain, tetapi dapat pula diperkenalkan aktifitas pengolahan ATC tau Chip skala rumah tangga karena memiliki nilai tambah yang besar, walaupun harus disertai kontrol kualitas yang kontinyu.
Untuk beberapa lokasi perempuan perlu dirangsang motivasi dan di buka wawasannya sehingga mampu melakukan kegiatan yang lebih inovatif, dengan membawa mereka melakukan kunjungan ke daerah lain yang lebih maju. Kedua, Pembibitan yang dilakukan secara individu maupun kelompok perlu dikembangkan sebagai alternatif menjamin ketersediaan bibit secara berkenambungan. Upaya ini sangat membantu petani karena kegiatan tersebut dapat memberi nilai tambah yang lebih besar guna menambah total pendapatnya.
Asosiasi: Pembinaan kapasitas petani dalam pemasaran rumput laut, terutama bagi petani yang tidak terikat dengan modal pihak lain. Hampir setiap daerah sentra rumput laut yang diteliti terdapat beberapa petani muda yang dapat di berdayakan untuk kegiatan tersebut. Pada kegiatan ini petani dapat diperkenalkan teknologi pasca panen yang lebih baik sehingga produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan di tingkat ekpotir/pasar internasional.
(Catatan: Tulisan ini adalah hasil ringkasan penelitian mengenai rantai nilai (value chain) rumput laut di 4 kabupaten di Sulsel. Value chain menjadi salah satu aspek penting dimiliki semua pihak terutama petani rumput laut untuk menghadapi persoalan pasar. Value chain merupakan semua kegiatan yang dilakukan dalam mengubah bahan baku menjadi produk yang dijual dan dikonsumsi. Analisis value chain dilakukan untuk menilai semua kegiatan dan stakeholders serta hubungannya dalam rantai pasok, dengan tujuan membantu untuk menengahi in-efisiensi seperti variabilitas, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H