Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pelajaran Penting dari Protes Warga terhadap FTV Berjudul "Liontin di Tanah Terlarang"

2 Maret 2015   22:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:15 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebuah Film Televisi (FTV) berjudul "Liontin di Tahah Terlarang" pernah diputar pada medio Februari lalu di satu stasiun televisi swasta nasional.

Awalnya film ini mendapat respon luar biasa dari masyarakat Bulukumba termasuk yang berdomisili di luar Bulukumba. Hal itu terlihat dari maraknya broadcast melalu BBM, maupun melalui Medsos yang mempromosikan agar film tersebut dapat ditonton khususnya orang Bulukumba dan orang Sulawesi-Selatan pada umumnya.

Selain karena lokasi syuting berada di Kabupaten Bulukumba (sekitar 160 km dari Kota Makassar), film tersebut juga (awalnya) dianggap mengangkat tentang potensi wisata salah satu tempat yang lagi naik daun bernama Pantai Apparalang. Juga karena ada setting budaya yang menampilkan local wisdom tanah adat Kajang. Setidaknya, karena alasan dua hal itulah sehingga orang-orang memang ramai-ramai menonton film tersebut saat jadwal penayangannya tiba.

Namun, setelah menyaksikan tayangan film "Liontin di Tanah Terlarang Tersebut", sejumlah nada kecewa terlontar di media sosial. Ada dua alasan utama dari gelombang protes tersebut antara lain; (1) penceritaan mengenai "Parakang" (istilah lokal untuk mahluk jadi-jadian) dianggap menodai bahkan melenceng dari pemahaman warga yang sesungguhnya. Dalam film itu, ditampilkan bagaimana "parakang" yang sadis dan menakutkan dengan karakter yang hampir sama dengan watak "drakula" (dalam persepsi hantu di Barat). Ada kesan negatif yang terbangun dari film ini seolah-olah ingin menunjukkan bahwa Kabupaten Bulukumba identik dengan mahluk "parakang". (2) adanya setting kearifan warga suku Kajang dimana film tersebut menayangkan sekilas mengenai keadaan tanah adat. Sayangnya, dalam penayangan itu, terdapat sejumlah hal yang dinilai bertentangan antara lain; pemakaian simbol-simbol Kajang yang berbeda dengan aslinya, serta situasi sosial di dalam kawasan adat yang juga bertolak belakang dengan kenyataan adat.

Pasca film tersebut ditayangkan, salah satu Yayasan di Makassar bernama Gema Nusa Foundation menggelar diskusi yang konten-nya memprotes keras film itu. Saya salah satu narasumber mewakili aktivis budaya yang kebetulan berasal dari Bulukumba diundang dalam diskusi tersebut. Dalam forum diskusi berkembang satu asumsi kolektif bahwa film "liontin di tanah terlarang" menyesatkan bahkan "merendahkan" kebudayaan Bulukumba.

Dalam pemaparan saya selalu narasumber, saya menyampaikan beberapa hal antara lain;

(1) Euforia warga Bulukumba sebelum penayangan film tersebut, merupakan bentuk "kehausan" warga akan akses informasi dan perfilman yang minim. Orang-orang daerah selama ini hanya menjadi objek penderita dari pemirsa televisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa pertelevisian nasional terkonsentrasi pada Jakarta dan sekitarnya. Hal inilah yang membuat euforia warga berlebihan bila ada suatu berita atau film yang berhasil diangkat di layar televisi nasional.

(2) Hampir tidak ada FTV di tanah air ini digarap secara serius sehingga melahirkan suatu film berkualitas, bermanfaat dan mengedukasi. Tayangan film televisi di Indonesia selama ini terkesan dibuat "serampangan" dan "apa adanya", sekedar untuk memenuhi target bagian produksi atau sekedar pemenuhan kebutuhan periklanan. Karena itu, wajar bila film "Liontin di Tanah Terlarang" termasuk film yang mengecewakan bahkan "menyesatkan".

(3) Penggunaan judul 'Liontin di Tana Terlarang" sesungguhnya sudah tidak sesuai dengan pengetahuan lokal orang Bulukumba. Kawasan adat Kajang sesungguhnya tidak serta merta bisa diterjemahkan menjadi "tanah terlarang". Tim produksi film melakukan kesalahan besar dengan penggunaan kata "Tana" (Konjo) bukan "Tanah" (Indonesia) yang memang secara tekstual sengaja memberi definisi terhadap Adat Kajang. Kesalahan vatal juga pada kata "Liontin", sebab setahu saya "warga Bulukumba" tidak familiar dengan istilah "liontin". Oleh warga lokal biasa disebut "rante", namun sekali lagi bahwa penggunaan benda ini jarang dikenal bukan bagian dari konsumsi tradisi lokal.

(4) Protes layak dilayangkan kepada pihak terkait. Menurut saya tidak saja kepada Tim Produksi film, tetapi juga kepada Pemerintah Daerah Bulukumba yang tidak melakukan semacam "verifikasi" terhadap konten kekayaan budaya lokal. Padahal, kebudayaan merupakan salah satu kekayaan daerah yang  menjadi otoritas warga lokal dan pemerintah daerah yang perlu dijaga, dan dikelola secara mandiri.

Pasca diskusi dan pertemuan tersebut, Yayasan Gema Nusa Foundation kemudian melayangkan surat protes yang ditujukan kepada Bupati Bulukumba, dan KPID Sulsel. Gelombang protes yang demikian kencang membuat Pemda Bulukumba langsung melayangkan surat protes ke stasiun televisi bersangkutan. Lalu, permohanan maaf pun disampaikan Tim Produksi stasiun televisi terkait ditujukan kepada Pemerintah daerah dan Segenap Warga Bulukumba.

Walau begitu, perdebatan di kalangan kelompok menengah (tokoh masyarakat, pemuda, budayawan, mahasiswa) belum usai hingga kini. Aspirasi protes pun akhirnya merembes masuk ke kawasan adat Kajang. Penyair (Budayawan Lokal, Andhika Mappasomba) memposting sebuah tulisan di akun facebook-nya, bahwa akibat film tersebut, salah seorang guru di SMA Kajang (yang kebetulan menemani Tim Produksi saat penggarapan film) diberi sanksi adat yang cukup keras.

Sangat disayangkan, sebab berdasarkan hasil diskusi saya dengan Guru bersangkutan, ia mengatakan bahwa Tim Produksi tidak memberitahukan kepadanya secara detail mengenai skenario film yang akan dibuatnya. Dan karena itulah, sang guru tersebut tidak pernah berpikir bahwa film ini akan merugikan dirinya. Menurutnya, ia sebatas diminta mengantar dan menunjukkan beberapa tempat saja.

Poin saya dalam kasus ini, seperti juga yang saya sampaikan pada diskusi bersama mahasiswa di Gema Nusa Foundation, bahwa salah satu kelemahan Tim Produksi Film nasional adalah tidak melakukan riset yang memadai dalam setiap pembuatan film. Riset diperlukan dalam hal pembuatan film-film yang bersinggungan atau mengambil unsur-unsur budaya atau sejarah agar tidak menimbulkan tafsir yang menyesatkan.

Bang Haji Rhoma Irama saja perlu riset berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dalam penulisan lirik-lirik lagunya, kok film-film kita tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun