Walau begitu, perdebatan di kalangan kelompok menengah (tokoh masyarakat, pemuda, budayawan, mahasiswa) belum usai hingga kini. Aspirasi protes pun akhirnya merembes masuk ke kawasan adat Kajang. Penyair (Budayawan Lokal, Andhika Mappasomba) memposting sebuah tulisan di akun facebook-nya, bahwa akibat film tersebut, salah seorang guru di SMA Kajang (yang kebetulan menemani Tim Produksi saat penggarapan film) diberi sanksi adat yang cukup keras.
Sangat disayangkan, sebab berdasarkan hasil diskusi saya dengan Guru bersangkutan, ia mengatakan bahwa Tim Produksi tidak memberitahukan kepadanya secara detail mengenai skenario film yang akan dibuatnya. Dan karena itulah, sang guru tersebut tidak pernah berpikir bahwa film ini akan merugikan dirinya. Menurutnya, ia sebatas diminta mengantar dan menunjukkan beberapa tempat saja.
Poin saya dalam kasus ini, seperti juga yang saya sampaikan pada diskusi bersama mahasiswa di Gema Nusa Foundation, bahwa salah satu kelemahan Tim Produksi Film nasional adalah tidak melakukan riset yang memadai dalam setiap pembuatan film. Riset diperlukan dalam hal pembuatan film-film yang bersinggungan atau mengambil unsur-unsur budaya atau sejarah agar tidak menimbulkan tafsir yang menyesatkan.
Bang Haji Rhoma Irama saja perlu riset berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dalam penulisan lirik-lirik lagunya, kok film-film kita tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H