Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bola Panas di Kementerian Pertanian

22 Januari 2015   16:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:36 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penggunaan alat pertanian seperti traktor pada kenyataannya tidak memberikan dampak positif bagi petani. Sawah-sawah tidak sesubur dahulu lagi bahkan rawan terserang hama. Sehingga, hasil produksi semakin sedikit bila dibandingkan saat petani masih menggunakan tenaga hewan ternak.

Dahulu, hewan ternak tidak saja mendidik petani untuk bisa bertani sambil beternak, tetapi sapi atau kerbau itu secara alami akan menjadi salah satu faktor yang menjaga keseimbangan kesuburan tanah. Ternak-ternak itu akan dilepas di sawah sebelum digarap, dan kotorannya tentu akan jadi pupuk alami. Bandingkan dengan traktor yang selain menimbulkan polusi, juga berpotensi merusak kesuburan tanah.

Inilah lucunya republik ini, selalu ada kebijakan pertanian yang dihembuskan dari Jakarta yang mengubah eskalasi culture pertanian di daerah-daerah. Padahal, setiap daerah di Indonesia memiliki pola dan kebudayaan bervariasi. Budaya bertani yang berkembang di setiap daerah bahkan merupakan suatu warisan leluhur atau semacam "local knowledge". Di kampung saya misalnya, bantuan traktor kepada petani telah mengubah segalanya dalam sekejap. Petani kemudian menjual ternak-ternak mereka karena dianggap tidak penting lagi karena ada traktor yang katanya bisa meningkatkan produktivitas.

Padahal keahlian bertani para petani senantiasa paralel dengan keahlian merawat ternak. Saya terkenang, di saat pasca panen sawah-sawah seperti sedang menggelar perkemahan. Sapi-sapi bergerombol demikian banyaknya. Tapi, semua itu tidak kita rasakan sekarang ini. Bayangkan, perubahan degradasi ini rasanya terjadi cepat tidak lebih dari dua dekade.

Dahulu petani kita bisa swasembada pangan dan swasembada ternak. Kini, negeri ini sudah impor beras, impor daging juga. Lucunya, sejak jaman SBY, program bantuan ternak. Padahal petani kita sudah tidak biasa berternak. Di samping itu, rumput-rumput di ladang juga sudah habis karena disemprot pestisida. Sampai di sini, saya semakin gagal paham dengan logika kebijakan pertanian kita.

Nah, kembali ke topik awal, soal pekerjaan berat Kementerian Pertanian. Dan kemungkinan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman di-resuffle. Penjabarannya sederhana, menurut saya kalau tuntutannya swasembada pangan dua tiga tahun ke depan--itu bukan pekerjaan mudah. Sebab problem dunia pertanian kita sudah sangat kocar-kacir akibat kebijakan yang tidak memihak petani.

Amran pasti akan sangat dilematis, membuat terobosan baru, terobosan kayak apa? Membangun infrastruktur pertanian seperti irigasi tentu belum cukup. Sebab akar persoalannya adalah spirit dan etos para petani yang harus dibangkitkan lagi dari tidur panjangnya. Lalu, turunkan harga PUPUK!

Saran saya pada Presiden Jokowi, kalau mau mereauffle Menteri Pertanian, carilah "the real petani" yang memang besar dan tumbuh dari derita petani miskin di kampung-kampung. Berani?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun