Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Plus Minus Sistem Paket dalam Pilkada

5 Februari 2015   01:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:49 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Undang-Undang (UU) Pilkada pengganti Perpu Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada senin 2 Februari 2015. Sebelum disahkan di parlemen, revisi terhadap beberapa bagian dalam draf UU tersebut kini menjadi fokus perdebatan.

Setidaknya ada lima poin paling krusial yang masih menjadi bahan polemik antara lain; (1) mengenai jadwal Pilkada serentak, (2) Uji publik, (3) soal ambang batas suara pemenang, (4) aturan soal sengketa Pilkada, dan (5) Sistem paket calon.

Tulisan ini akan spesifik mengurai soal plus minus sistem paket dalam Pilkada. Mengingat wacana perubahan sistem paket akan sangat menentukan konstalasi dan dinamika politik pada Pilkada mendatang.

Pilihan Tiga Opsi

Mekanisme pencalonan yang sebelumnya sudah termaktub dalam draf Perpu berpotensi mengalami perubahan. Dalam draf itu dijelaskan bahwa calon kepala daerah tidak berpasangan. Sedangkan wakil kepala daerah dipilih oleh pemenang Pilkada yang jumlahnya bisa lebih dari satu atau tergantung jumlah penduduk.

Seperti diketahui, suara di Komisi II DPR-RI terbelah. Sebagian besar menyetujui usulan sistem paket dengan alasan bahwa jabatan Wakil merupakan jabatan politik bukan jabatan karir.

Jabatan Wakil kepala daerah harus memiliki legitimasi yang sama dengan kepala daerah karena dipilih oleh rakyat. Pertimbangan lain lebih cenderung setuju pada sistem tanpa paket. Alasannya adalah soal efektivitas, maupun upaya mencegah konflik horisontal antar pasangan.

Sebenarnya masih ada satu opsi lagi yakni sistem paket dengan satu atau dua calon wakil. Opsi ini memungkinkan kandidat akan berpasang tiga sekaligus.

Semua opsi yang berkembang ini tentu punya plus minus tersendiri baik dalam proses pelaksanaan, implikasi politiknya, ataupun dampaknya terhadap kualitas kepemimpinan daerah.

Sistem tanpa paket misalnya bila diterapkan akan menjadi pengalaman baru bagi sistem demokrasi di daerah. Opsi ini akan membatasi jumlah aktor yang berkontestasi. Setiap calon akan memiliki otoritas yang lebih luas dalam memainkan peran politiknya termasuk dalam perumusan visi kebijakan bila terpilih. Bila opsi ini jadi pilihan, maka kapasitas kandidat akan menjadi prasyarat utama bagi partai-partai dalam mengusulkan kandidatnya.

Pertarungan politik akan lebih fair karena dengan sistem tanpa paket, pemilih tidak lagi terjebak pada pertimbangan pasangan tetapi langsung terfokus pada satu figur. Di samping itu, kewenangan kepala daerah akan semakin kuat dan jelas karena wakil-wakil yang dipilihnya kemudian dilimitasi oleh tugas pokok yang lebih spesifik.

Namun, opsi ini berpotensi menjadikan peran-peran wakil-wakil yang dipilih tidak berjalan maksimal. Ini disebabkan oleh lemahnya legitimasi publik terhadap posisi wakil. Jabatan wakil hanya akan menjadi jabatan politis dimana bupati atau walikota terpilih hanya akan mendudukkan orang-orang dekatnya sebagai imbalan politik. Jangan lupa bahwa sistem tanpa paket juga berpeluang menimbulkan konflik kepentingan para pendukung, sebab seorang pemenang Pilkada bisa sewenang-wenang menetapkan wakilnya.

Bagaimana dengan sistem paket? Sistem ini sudah sangat mapan dalam dinamika politik lokal di daerah. Sistem paket akan mempermudah proses pencalonan kandidat karena partai-partai politik bisa membangun koalisi sejak fase rekrutmen. Legitimasi bupati dan wakil terpilih sama-sama kuat sehingga ada balance antara keduanya. Kepala daerah dan wakilnya akan saling melengkapi satu sama lain sehingga mendukung efektifitas pemerintahan.

Sayangnya, pengalaman Pilkada sejak tahun 2004 menunjukkan adanya berbagai persoalan antara lain konflik horisontal di tengah jalan maupun disfungsi peran wakil. Konflik bisa terjadi karena seorang wakil mempunyai basis legitimasi yang kuat dalam menentukan arah kebijakan. Sehingga sewaktu-waktu bisa berseberangan dan mempengaruhi konstalasi politik baik pada dukungan publik maupun di parlemen.

Pada sisi lain, jabatan wakil kepala daerah kurang fungsional dan lebih bersifat simbolik. Faktor lainnya adalah konsensus penentuan calon bupati dan wakilnya sangat abu-abu. Sebagian besar lebih disebabkan oleh siapa yang paling besar basis dukungan politik serta dukungan finansialnya, bukan lantaran siapa paling berkapasitas.

Pilihan pada opsi ketiga agaknya juga menarik dipertimbangkan. Walau opsi ini terkesan ekstrim tapi dengan opsi satu calon bupati dan dua wakil akan membuat dinamika Pilkada lebih ramai. Opsi ini juga akan memudahkan konsolidasi partai karena setiap partai pengusung dapat menempatkan kandidatnya pada pasangan calon. Proses sosialisasi kandidat akan lebih muda dengan sistem ini karena setiap pasang punya akses lebih luas dalam menjangkau pemilih. Kelemahan opsi ini tentu pada sulitnya mengatur fungsi dan kewenangan masing-masing wakil. Opsi ketiga juga rawan mempersubur pragmatisme politik karena banyaknya aktor yang akan bermain.

Pertimbangan Politis

Polemik di parlemen pasti akan berlangsung seru dalam pembahasan mengenai mekanisme pencalonan. Setiap partai di parlemen tentu memiliki pertimbangan politis yang berbeda-beda. Tergantung pada sebesar apa persebaran kekuatan partai-partai di daerah.

Partai-partai mapan dan berpengalaman terutama Golkar tentu paling nyaman dengan opsi mana pun. Golkar bisa semakin survive bila sistem paket karena akan mendominasi jumlah kursi pengusung dan lebih berpeluang menempatkan figurnya sebagai calon bupati/walikota.

Partai-partai kecil akan sangat kesulitan bila sistem tanpa paket karena peluang mengusung kadernya sangat kecil. Konsolidasi pencalonan di tingkat partai juga sedikit lebih gampang bila sistem paket. Partai-partai besar yang basis dukungannya merata di daerah-daerah akan lebih sepakat dengan sistem paket. Nah, kalau basis dukungan di DPR-RI dikakulasi terkait pertimbangan pilihan opsi di atas, maka opsi paket masih sangat memungkinkan dipilih.

Opsi paket memang jauh lebih menarik karena para figur yang akan bertarung dapat bergerak secara bersama-sama. Para kandidat bisa berbagi peran dalam hal perolehan basis dukungan maupun basis partai pengusung. Maka bisa dipastikan bahwa Pilkada yang akan berlangsung di 204 daerah pada tahun 2015 atau 2016 mendatang akan menggunakan sistem paket.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun