Plak!
Tangan Pak Nasir yang hendak memukul Nana justru beralih memukul Bu Erna karena Bu Erna segera menghalanginya. Bu Erna terjatuh. Tubuh ringkihnya terduduk. Nafasnya mendadak terlihat tak beraturan.
Â
"Ibuu...." Nana segera memeluk ibunya. Suara tangisnya semakin kencang. Nana terus memanggil-manggil nama ibunya dan mengguncang-guncangkan badannya.
"Sebaiknya segera bawa ke rumah sakit," ucap Pak Nasir yang juga mendadak cemas melihat kondisi istrinya yang kejang dan sesak nafas.
                       ***
Tidak ada yang akan kembali. Semua yang sudah terjadi sudahlah terjadi. Nana menyalahkan diri atas apa-apa yang sudah terjadi. Selalu saja dalam hatinya berkata, andai saat itu dia bisa menahan amarahnya? Andai saja dia sesabar ibunya? Andai saja waktu itu dia tak menuruti keinginan ayah untuk kembali ke rumah? Hanya sementara. Ayah pergi, aku akan pulang lagi menemani ibu, demikian bisiknya.
Tapi semua sudah terjadi dan tak kan pernah bisa kembali. Pun ibunya yang kini pergi. Pergi menuju ke kehidupan yang abadi.
Â
"Hei, kamu. Ya, kamu. Kamu nanti kalau sudah punya istri jangan diselingkuhi. Kalau mau ya nikahi baik-baik jangan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak nanti istrimu bisa mati lho. Hihiiii," wajah Nana tampak ceria. Senyum manisnya terus menghiasi sudut bibir mungilnya. Tak jarang pula ia menasihati setiap lelaki yang ia hampiri. Meskipun demikian tapi tatapannya selalu kosong, sangat kosong. Sesekali tawa renyahnya mendadak berubah menjadi tangisan yang memilukan. Nana berlari menuju tempat ayunan. Ia berayun sambil menyenandungkan nyanyian-nyanyian.
Â
"Na...na...na...na...na...."
Rumah Sakit Jiwa itu tampak ramai oleh orang-orang  berlalu lalang, tapi masih saja Nana merasa lengang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H