Aku adalah sebuah aib. Aku lahir dari kesalahan seorang pelacur yang tak mampu menjaga rahim agar tetap utuh dan tak menumbuhkan sebuah benih. Pernyataan itu kudapat dari ibu sahabatku, Alisa. Sebuah pernyataan yang akhirnya membuat persahabatan kami hancur. Pun membuat hubunganku dengan ibuku kacau balau.
Jika saja saat itu ibuku tak bertemu dengan ibu Alisa, barangkali kenyataan menyakitkan seperti itu takkan pernah terungkap. Aku tak menyangka jika ibuku yang dengan penampilan syar'inya dahulu adalah seorang pelacur. Awalnya aku ragu, apa aku harus mempercayai semua itu atau tidak. Tapi pernyataan itu sungguh mengganggu pikiran hingga akhirnya membuatku percaya. Terlebih karena aku harus kehilangan satu-satunya seorang sahabat. Aku menyalahkan ibu, tentu saja. Sebab dia lah aku kehilangan Alisa.
Sebelum ini, aku menyayangi ibu sepenuh hati. Ia seorang ibu yang penuh kasih, juga seorang pekerja keras. Ayah meninggal ketika aku masih dalam kandungan, itu yang membuatnya harus berjuang sendirian untuk menghidupiku. Namun, pernyataan itu tak kusangka adalah sebuah kebohongan. Ayahku tak pernah mati. Ayahku seorang penikmat wanita malam yang tak mengenal ibu secara pasti. Ia hanya mencicipi tubuhnya untuk setelahnya berlalu pergi. Maka aku, aku takkan pernah tahu siapa ayah kandungku. Dari sperma siapa aku terbentuk hingga menjadi sebuah benih yang pada akhirnya tumbuh kembang menjadi gadis berusia enam belas tahun.
"Ibu bukan seorang pelacur, Nak. Percayalah," rajuk ibu.
Aku tak mempercayainya. Meski seberusaha keras pun aku untuk percaya, aku tetap tak bisa mempercayainya. Aku terlanjur benci segalanya.
"Lalu maksud ibu, ibu Alisa yang bohong sama Hilda?" tanyaku kasar.
"Ibu benar-benar tidak berbohong padamu, Nak," tegasnya lagi.
Aku muak dengan kebohongan. Jika benar masa lalu ibu kelam, mengapa tidak katakan saja yang sejujurnya. Jika ibu Alisa yang berbohong, alasan apa yang membuatnya harus berbohong sekejam itu? Pikirku kacau.
Aku meninggalkan ibu yang masih berlutut di depanku. Hanya untuk sebuah ketenangan. Sebegitu bencinya pun kini aku padanya, tetap hanya dia satu-satunya keluarga yang kupunya. Dan lagi, aku tak kuasa melihat ibu harus bersimpuh di hadapanku.
Tangisku pecah. Aku tak tahu tentang kenyataan yang ada. Jika saja aku mampu melihat kehidupan di masa lalu, akan kuputar film kehidupan ibu dulu. Tapi itu mustahil bukan?