Mohon tunggu...
Anisha Rosevita
Anisha Rosevita Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Ini bio bukan fisika

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah untuk Hujan

23 Februari 2021   20:23 Diperbarui: 25 Februari 2021   20:20 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Seorang gadis remaja bergegas memasang tali sepatunya, sejenak ia melihat sepatunya yang sudah usang dan terdapat lubang di samping kiri dan kanannya. Ia tersenyum sejenak, lalu kembali melanjutkan kegiatan, berdiri tegak lalu meraih tasnya yang berada di atas kursi. Ia meminum teh manis hangatnya sebelum bergegas pergi ke sekolah.

"Bunda, Gladis berangkat ya!" Teriaknya sedikit kencang. Gadis itu adalah Gladis Safira, gadis cantik dengan segala pesona dan keunikannya, gadis cantik sejuta mimpi yang tak pernah mau menyerah akan keadaan. Seorang wanita paruh baya menghampirinya sembari membawa kotak nasi di tangannya, lalu mengusap lembut rambut anak semata wayangnya itu.
"Tidak ada yang tertinggal kan, sayang?" Tanya Bunga, bunda Gladis.
"Gak ada bunda, aman!" Jawabnya ceria sembari memberi hormat kepada bundanya itu.
Bunga mencubit hidung putrinya pelan, "Kamu itu pelupa, selalu ada yang ketinggalan kalo mau sekolah." Ujar Bunga lembut.
Gladis terkekeh pelan mendengar perkataan bundanya. "Gak ada kok bunda, semuanya aman terkendali, alhamdulilah." Kata Gladis sembari terkekeh pelan.
Bungan memberikan kotak makanan kepada anaknya, "Ini bekalnya jangan lupa dimakan ya. Maaf bekal kamu masih nasi sama telur ceplok doang, nanti kalau ada uang lebih bunda bikinin kamu ayam goreng." Ujar Bunga pelan, sembari mengusap tangan putih anaknya.
Gladis tersenyum getir mendengar penuturan bundanya, lalu ia tersenyum ceria. "Tapi ada kecapnya kan Bun?" Tanya Gladis antusias, mencoba untuk menetralkan suasana.
Bunga tersenyum lalu menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan anak gadisnya. Geladis tersenyum ceria, lalu memasukan kotak nasinya kedalam tas. "Gladis berangkat ya bunda, bunda jangan lupa minum obatnya. Kalo bunda telat minum obat, nanti Geladis hukum loh." Ujarnya lalu meraih tangan Bunga dan menciumnya lama. Tak lupa ia mengecup kedua pipi sang Bunda lalu mendekatkan bibirnya ke arah telinga Bunga.
"Gladis suka telor ceplok buatan bunda, apalagi pakai kecap. Gladis gak perlu makan daging ayam, apapun makanannya asalkan buatan bunda Gladis sangat suka." Bisiknya pelan yang membuat Bunga tersenyum getir.
"Gladis berangkat. Assalamualaikum!" Teriaknya lalu berlari meninggalkan pekarangan kecil rumahnya. Bunga menatap punggung anak gadisnya yang semakin menjauh dari pandangannya. Bunga tersenyum getir menatap kepergian anaknya, tanpa sadar setetes cairan bening meluncur dari pelupuk matanya.
"Maafkan bunda Gla, maaf bunda tidak bisa memenuhi keinginan kamu sampai saat ini. Maafkan bunda yang selalu menyusahkan kamu."
        Cuaca pagi ini sangat cerah, Gladis berjalan pelan sembari memetik-metik jari lentiknya. Gadis itu mendongakan kepalanya ke atas, menatap hamparan langit biru yang begitu cerah seakan menguatkan keadaan hatinya saat ini. Atensinya beralih menatap mobil-mobil yang berlalu lalang di depannya. Ingin sekali rasanya ia memiliki mobil pribadi, sehingga tidak perlu menunggu angkot dan berdiri seorang diri seperti ini. Ah, Gladis kemudian menggelengkan kepalanya samar-samar. Tidak, ia tidak boleh terlalu banyak menghayal saat ini, yang harus ia lakukan adalah belajar dengan giat dan mempertahankan beasiswanya. Bekerja dengan giat agar dapat membantu pengobatan bundanya. Tak berselang lama setelah itu sebuah mobil melaju dengan kencang sehingga melindas botol minum yang menyebabkan air di dalamnya menyembur mengenai pakaian Gladis. Geladis menatap seragamnya kaget.
"Yah, basah seragamnya," ujar Gladis sembari menunduk menatap seragam nya yang basah, sesekali ia membersihkan seragamnya yang terkena air tadi. "Kepanasan juga kering." Katanya pelan sembari menghembuskan nafasnya pelan. Tak berselang lama setelah itu, sebuah angkot terlihat akan melintas, Gladis segera melambaikan tangannya ke depan menghentikan angkot tersebut, lalu masuk ke dalamnya. Seorang wanita paruh baya menatapnya dari atas hingga bawah, membuat Geladis sedikit tidak nyaman di tatap seperti itu.
"Adek sekolah di SMA Galaksi ya?" Tanya wanita paruh baya tersebut.
Gladis tersenyum ramah sembari menganggukan kepalanya pelan. "Iya betul Bu"
Wanita paruh baya itu mengernyitkan dahinya, "Loh, kok naik angkot dek? Bukannya yang sekolah di SMA Galaksi itu anak orang kaya semua ya? Bahkan biaya sekolahnya pun mahal banget. Anak saya saja mau sekolah di sana, cuman saya gak mampu." Ujar Wanita tersebut bercerita.
"Saya anak beasiswa bu." Jawab Gladis sembari tersenyum. Ibu itu menatap takjub ke arah Gladis, "Wah hebat, masuk pakai jalur beasiswa di SMA Galaksi itu kan tidak mudah dek. Bahkan setiap tahun jarang sekali ada yang lolos beasiswa disana. Beruntung sekali kamu, masa depan kamu pasti cerah." Ujar wanita paruh baya itu antusias.
Gladis hanya tersenyum menanggapi perkataan wanita tersebut, dalam hatinya ia bersumpah bahwa apa yang dikatakan wanita tersebut akan terwujud dalam hidupnya. Ia pasti akan memiliki masa depan yang cerah. SMA Galaksi adalah jalan baginya untuk membanggakan bundanya. Bahkan dulu perjuangannya sangatlah sulit untuk bisa bersekolah di SMA kelas tinggi dengan masa depan gemilang di daerahnya. Gladis sangat bersyukur, berkat perjuangannya dan doa bundanya ia dapat menimba ilmu disana. "Gladis pasti bakal sukses dan jadi dokter bunda. Gladis bakal sembuhkan bunda. Bertahan dan tunggu Gladis." Batinnya. Tanpa sadar cairan bening memenuhi pelupuk matanya, Gladis menghapus air matanya dengan kasar. Ia tidak boleh lemah. Berkali-kali ia menguatkan dan menyemangati dirinya sendiri.
        Gladis berdiri di depan gerbang SMA Galaksi, menatap nama sekolah yang terpampang jelas di depan matanya. Gadis itu mencengkram erat-erat tali tas nya, mengigit bibir bawahnya sebentar sebelum berkata, "Gladis kuat, bertahan. Tinggal 1 tahun lagi, demi bunda." Setelah itu ia melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sesampainya di kelas ia menuju ke arah mejanya, menyimpan tasnya lalu menghela nafasnya berat. Keadaan mejanya sangatlah kotor, penuh dengan dedaunan dan kertas-kertas berisi hinaan yang biasa menjadi sambutan di pagi hari. Gladis membuka salah satu gumpalan kertas yang berada di mejanya, membaca goresan tangan yang terdapat di dalamnya.
"Anak beasiswa gak usah belagu" Gladis membaca pelan tulisan tangan tersebut lalu tersenyum. Setelah itu ia membersihkan sampah-sampah tersebut dan mengelap mejanya dengan sapu tangan. Setelah itu ia mengeluarkan buku pelajaran yang bisa dibacanya saat ini.
"Gladis!!" Panggil seseorang di depan pintu, lalu berlari menghampirinya.
"Nanda" ucap Gladis pelan, tersenyum manis lalu berdiri dari bangkunya.
Perempuan yang bernama Nanda itu berhambur memeluk Gladis. Sesekali menggoyangkan pelukannya ke kanan dan ke kiri sembari tertawa bahagia.
"Kangen banget." Ujar Nanda sembari melepaskan pelukannya.
Gladis tersenyum manis ke arah Nanda. "Sama, Geldis juga rindu sama Nanda." Jawab Gladis lebih antusias.
"Jangan rindu Gla, kata Dilan rindu itu berat. Gla gak akan kuat, biar Nanda saja." Ceplos Nanda sembari tertawa keras, hal itu yang membuat Gladis ikut tertawa. Betapa beruntungnya Gladis bisa memiliki teman seperti Nanda, teman yang selalu ada untuknya, menemaninya, dan paling mengerti dengan keadaannya saat ini. Nanda selalu ada untuk menjadi pelindung Gladis, kapan pun dan dimana pun.
Seketika Nanda tersadar akan sesuatu, "Eh Gla, meja kamu gak kotor dan berantakan lagi kan?" Tanya Nanda. Pasalnya Nanda sangat tahu, bahwa meja Gladis selalu kotor dan penuh hinaan dimana-mana.
Gladis melirik mejanya yang sudah selesai ia bersihkan sebelum Nanda datang, lalu menggaruk tengkuknya pelan, "Ah, engga kok Nan. Meja aku baik-baik aja. Bersih dan aman." Jawab Gladis dengan kekehan pelan. Nanda memicingkan matanya menatap Gladis sedikit tidak percaya dengan jawaban yang diberikan sahabatnya itu. "Kamu gak bohong kan? Nenek lampir itu udah gak ganggu kamu kan?" Tanya Nanda menyelidik.
Gladis tersenyum lalu merangkul bahu Nanda, "Hush, gak baik bilang orang dengan sebutan nenek lampir." Ujar Gladis mengingatkan sahabatnya.
Nanda memutar bola matanya nya malas sembari mengedikan bahunya, "Angel emang nenek lampir kan." Jawab Nanda sarkas.
        Sepulang sekolah Gladis dan Nanda berdiri di depan gerbang, Gladis yang menunggu angkot dan Nanda yang menunggu jemputan supir pribadinya. Sebuah mobil berhenti di hadapan mereka, Nanda melirik ke arah Gladis. "Kamu gak mau bareng aku aja? Biar aku antar ke tempat kamu kerja." Kata Nanda sembari memegang kedua pergelangan tangan Gladis.
"Gladis naik angkot aja, Yaudah kamu pulang sana." Kata Gladis dengan mendorong Nanda agar segera masuk ke dalam mobilnya.
Nanda menatap Gladis dalam, lalu meraih kedua tangannya, digenggamnya tangan itu seakan memberi kekuatan. "Gla, apapun keadaan kamu aku akan selalu ada untuk kamu. Aku akan bantu kamu sebisa aku, kamu gak perlu sungkan, Gla." Ujar Nanda pelan.
Gladis tersenyum manis, mencoba memberikan jawaban bahwa ia baik-baik saja melalui senyumannya. "Makasih ya Nan, tapi Gladis baik-baik aja kok. Selagi Gladis bisa melakukan itu sendiri, Gladis akan lakukan itu sendiri." Ujar Gladis yakin.
"Gla, manusia tidak bisa hidup sendiri, dia pasti membutuhkan bantuan orang lain. Maka dari itu, kamu jangan sungkan untuk meminta bantuan sama aku. Aku akan bantu kamu Gla, selalu." Ujar Nanda lalu memeluk Gladis erat. Nanda sangat kagum akan kuatnya Gladis menjalani hidupnya. Seketika Nanda merasa sangat bersyukur, ia hidup dengan kedua orangtua yang lengkap, hidup dengan sangat berkecukupan, bahkan lebih dari kata cukup. Dia memiliki kehidupan yang luar biasa indahnya. Sedangkan Gladis, ia hanya seorang gadis dengan penuh luka, seorang gadis dengan keterbatasan yang ia miliki, seorang gadis yang harus terus bekerja demi pengobatan ibunya dan demi menunjang kehidupannya.
Gladis memejamkan matanya di pelukan Nanda, seketika air matanya meluruh begitu saja. Betapa beruntungnya Gladis memiliki teman seperti Nanda. Gladis melepaskan pelukannya, menghapus kasar air matanya. Ia tidak boleh lemah, demi masa depannya, demi ibunya. Gladis tersenyum manis ke arah Nanda. "aku baik-baik saja Nanda, sungguh." Ujar Gladis tersenyum pilu.
Nanda membalas senyuman Gladis, "Yaudah kalo gitu, aku pulang ya. Semangat kerjanya!" Ujar Nanda sembari mengangkat kedua tangannya memberi semangat. Setelah itu Nanda masuk ke dalam mobilnya lalu berlalu pergi dari hadapan Gladis. Gladis tersenyum manis lalu berkata, "Semangat Gladis, semangat!!"
        Gladis menuju sebuah cafe tempat kerjanya, di cafe ini Gladis bekerja dan mendapatkan uang untuk memenuhi kehidupannya. Setibanya di cafe Kenari, Gladis mengganti pakaiannya menjadi pakaian seorang waiters. Melayani pelanggan dari sore hingga malam. Setiap hari Sabtu dan Minggu ia mengajar private, memanfaatkan kecerdasannya agar mendapatkan uang. Hari ini pengunjung cafe Kenari sangatlah ramai, karena cafe Kenari adalah cafe tempat para remaja seusianya hangout dan menghabiskan waktunya. Ingin rasanya Gladis dapat menjalani hidup selayaknya remaja seusianya. Tapi Gladis tidak boleh egois, ia harus mencari uang untuk tetap menghidupi keluarganya, ia juga harus mengumpulkan biaya pengobatan bundanya. Gladis membawa nampan berisi tiga minuman untuk diantarkannya ke meja 4. Gladis menaruh minuman tersebut tepat di meja nya.
"Selamat menikmati." Ujar Gladis ramah.
Salah satu gadis di meja tersebut tersenyum tipis, "Eh Gladis. Lagi kerja ya?" Ujar gadis tersebut sedikit mengejek.
Gladis mendongakkan wajahnya, menatap ketiga perempuan yang berada di meja tersebut, dan tersenyum kaku ke arahnya. "Saya permisi, selamat menikmati." Ujar Gladis tetap ramah. Pada saat Gladis hendak pergi, seseorang menahan tangganya. "Perasaan tadi kita pesan moccha flot loh, bukan orange jus." Ujar gadis itu tersenyum sinis. Gladis membuka kertas pesanan yang diterima nya tadi lalu melihatnya.
"Tapi disini tertulis tiga orange jus." Ujar Gladis.
"Engga ah, kita pesan tiga moccha flot kan guys." Ujar gadis tersebut kepada kedua temannya, yang dijawab anggukan oleh mereka.
Gladis menghela nafasnya pelan, "Angel tolong, aku lagi kerja. Kamu jangan ganggu aku ya." Ujar Gladis memohon.
Perempuan bernama Angel itu tertawa meremehkan, "Wih, percaya diri sekali gue bakal ganggu lo." Ujar angel mengejek. "Bukannya pelanggan adalah ratu ya? Bisa tolong ganti gak pesanan nya?" Kata Angel sinis. Sedangkan kedua temannya Nindy dan Sesil hanya tertawa mengejek.
"Kita pelanggan loh Gla, jadi lo harus nurut sama kita." Tambah Nindy yang membuat Gladis kesal. Ingin rasanya ia marah, ia tidak terima direndahkan seperti itu. Tetapi keadaan memaksanya untuk tetap diam dan menurut.
"Kalo gitu, biar saya ganti minumannya." Gladis meraih kembali nampan yang dibawanya tadi lalu hendak beranjak untuk menggantinya. Saat hendak berjalan tiba-tiba sebuah kaki menghalanginya, membuatnya terjatuh menyentuh tanah dan menimbulkan suara yang nyaring akibat pecahan gelas. Membuat orang-orang yang berada di cafe mengalihkan atensinya ke arah sumber suara.
"Ups Gladis jatuh, sini-sini biar kita bantu." Ujar Sesil dengan nada yang dibuat-buat. Sedangkan Gladis meremas roknya pelan. Menatap nanar gelas gelas yang sudah tak berbentuk di hadapannya.
Tiba-tiba seorang pria paruh baya datang dengan emosi yang memuncak, "Gladis! Apa yang kamu lakukan?" Uang pria yang merupakan pemilik cafe tersebut sembari membentak.
"Maaf pak, tadi kaki saya..." Belum sempat Gladis melanjutkan perkataannya, Angel terlebih dahulu menyahut.
"Dia berjalan dengan tidak hati-hati pak, sehingga terjatuh seperti itu. Bahkan dia salah membawa pesanan milik kita, iya kan guys." Ujar Angel menatap sinis ke arah Gladis.
"Tapi pak, tadi mereka..." Perkataan Gladis kembali terpotong oleh kemarahan Pak Fandy.
"Kamu tidak akan saya beri gaji bulan ini, gaji kamu bulan ini dipakai untuk mengganti kerugian atas apa yang sudah kamu lakukan." Final pak Fandy yang membuat Gladis membelangakkan matanya, menatap pak Fandy dengan tatapan memohon.
"Pak, saya mohon, gaji saya bulan ini untuk pengobatan ibu saya pak. Bapak bisa kok potong gaji saya selama dua bulan ini pak. Tapi jangan semuanya pak." Ujar Geladis memohon sembari menyatukan kedua tangannya di depan dada, menunduk dengan mata yang mulai memanas.
"Keputusan saya sudah bulat, lebih baik kamu sekarang pulang. Saya muak dengan kekacauan yang kamu lakukan." Ujar pak Fandy sembari pergi meninggalkan Gladis yang mulai mengeluarkan air matanya. Sedangkan Angel, Sesil dan Nindy pergi dengan penuh kemenangan.
        Gladis berjalan gontai di atas trotoar, malam ini cuacanya sangat dingin. Jalanan pun tampak sepi tidak seperti biasanya. Gladis mengusap wajahnya kasar, menatap kosong ke arah jalanan. "Ya Allah, dari mana Gladis dapat uang untuk cuci darah bunda." Cicitnya pelan. Suara petir mulai menggema memasuki indera pendengarannya, menandakan bahwa akan turunkan hujan. Gladis masih berjalan santai tanpa memperdulikan akan turunnya hujan. Tetes demi tetes air mulai mengenai kulit putihnya yang perlahan-lahan hujan tersebut menjadi lebat. Geladis mendongakkan wajahnya, membiarkan wajahnya terkena air hujan secara langsung. Bajunya saat ini sudah basah kuyup. Sembari berjalan, gadis itu memejamkan matanya yang mulai terasa perih. Perlahan-lahan air matanya ikut keluar beserta dengan air hujan yang mengenai wajahnya.
"Ya Allah, kuatkan Gladis. Hujan, tutupi kesedihan Gladis." Ujar Gladis sembari terisak di bawah guyuran hujan. Tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada sang bunda dan perkataan Bunga yang selalu menusuk relung hatinya.
"Bunda tenang aja ya, bunda akan sembuh. Gladis akan jadi dokter agar bisa sembuhkan penyakit bunda."
"Kamu harus sukses Gla, nanti bunda sama ayah akan bangga lihat kamu dari atas sana"
"Engga bunda, Gladis akan sembuhkan penyakit bunda. Bunda harus rutin cuci darah ya."
"Bunda tidak mau merepotkan kamu terus menerus, maaf ya bunda belum jadi bunda yang baik dan membuat kamu bahagia."

Percakapan itu begitu terngiang-ngiang di kepalanya, bagaikan kaset rusak yang terus berputar di tempatnya. Gladis semakin terisak menahan perih dan sakit yang tiba-tiba menghimpit dadanya. "Gladis akan membanggakan bunda." Perlahan gadis itu memeluk tubuhnya sendiri, mengigit bibir bawahnya, menahan isakan-isakan yang keluar dari bibirnya dan membiarkan hujan mengguyur tubuhnya. Bahkan semesta tahu penderitaan dan kepedihan hidup yang ia rasakan saat ini, ia harus memaksakan kedua kakinya mehanan beratnya beban tubuhnya, beban kehidupannya, sampai saatnya nanti kaki ini akan berdiri di tempat yang ia inginkan dengan segala beban yang terlepas dari hidupnya.
        Gladis berangkat lebih pagi dari biasanya, tadi pagi-pagi sekali Bu Mirna yang merupakan guru Fisika di SMA Galaksi menghubunginya untuk segera datang ke ruangannya pagi ini. Tidak biasanya Bu Mirna menghubunginya, bahkan Geladis saja tak tahu apa tujuan Bu Mirna memanggilnya pagi-pagi sekali seperti ini. Gladis merapihkan seragamnya terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu ruangan Bu Mirna. Ia menarik nafasnya dalam.
"Semangat, semoga semua baik-baik saja." Ucap Gladis pada dirinya sendiri lalu mengetuk pintu bercat coklat gelap di hadapannya.
"Masuk" Ujar seorang wanita yang usianya bisa dikatakan tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda pula. Gladis meremas samping rok seragamnya sebelum masuk. Mulutnya sibuk berkomat-kamit, semoga tidak akan terjadi apa-apa. Sedikit heran, bagaimana bisa seorang guru yang terkenal killer dan merupakan bagian kesiswaan SMA Galaksi menghubunginya secara tiba-tiba. Dengan perlahan Gladis membuka pintu tersebut, menampakan seorang wanita berkacamata yang sibuk membolak-balikkan secarik kertas yang berada di tangannya.
"Silahkan duduk Gladis." Ujar Bu Mirna ramah.
Bu Mirna menutup lembaran-lembaran kertas di tangannya, pandangannya lurus menatap Gladis, yang membuat Gladis sedikit gugup di tatap seperti itu. Gladis menggerak-gerakan kakinya gusar.
"Jadi begini Gladis, ada yang ingin ibu sampaikan perihal hal yang penting." Ujar Bu Mirna serius.
"Iya Bu ada apa? Apakah ada masalah?" Tanya Gladis sedikit khawatir.
"Tidak Gladis tidak ada masalah sama sekali," Ujar Bu Mirna yang membuat Gladis menghela nafasnya lega. "Jadi begini, saya selaku kesiswaan ingin menawarkan beasiswa kedokteran di Universitas Galaksi."
Gladis sangat terkejut dengan ucapan Bu Mirna barusan, mendapatkan beasiswa di universitas Galaksi adalah impiannya. "Ibu serius?" Tanya Gladis memastikan.
"Iya saya serius Gladis, kebetulan beasiswa ini hanya diperuntukan untuk siswa berprestasi di SMA Galaksi. Dan kamu adalah siswa kedua yang dapat mengikuti beasiswa tersebut. Hanya tiga orang siswa yang dapat mengikuti seleksi beasiswa tersebut. Jadi apakah kamu mau?" Tanya Bu Mirna serius.
Gladis tersenyum penuh haru, akhirnya beberapa langkah lagi ia akan dapat mewujudkan cita-citanya, "Iya Bu, saya mau." Final Gladis tegas.
"Kalau begitu kamu siap-siap Minggu depan akan diadakan seleksi beasiswa tersebut. Kamu akan berjuang bersama Azka dan Angel." Kata Bu Mirna sembari mencatat sesuatu di selembaran kertas yang sejak tadi berada di jangkauannya.
Senyum Gladis seketika hilang begitu saja, entah mengapa dia menjadi sangat khawatir saat ini. "Angel Bu?" Tanya Gladis memastikan.
Bu Mirna mengangguk yakin, "Iya Angel Adiwangsa." Jawab Bu Mirna.
"Oh, baik Bu terimakasih banyak. Kalau begitu saya ke kelas ya Bu. Pelajar sudah mau di mulai." Pamit Gladis undur diri.
"Iya silahkan Gladis, nanti akan saya beritahu info lebih lanjutnya lagi." Ucap Bu Mirna.
Gladis hanya mengangguk menjawab perkataan Bu Mirna lalu beranjak menuju kelasnya. Entah kenapa ada sedikit kekhawatiran saat mendengar nama Angel, tapi ia harus yakin dan tetap semangat, ini semua demi bundanya.
       Satu Minggu berlalu begitu cepat, Minggu ini akan diadakan seleksi beasiswa kedokteran. Minggu-minggu terkahir ini Gladis disibukan dengan belajar dan kerjanya. Seleksi beasiswa tersebut akan diadakan tiga hari lagi, malam ini sepulang bekerja Gladis sibuk membalik-balikan bukunya.
"Pranggg" Terdengar suara pecahan benda di sebelah kamarnya. Gladis buru-buru beranjak menghampiri kamar bundanya.
"Bunda" Teriak Gladis saat melihat bundanya tersungkur di bawah kasur dengan tangan yang terkena pecahan gelas. Gladis buru-buru membantu bundanya kembali ke atas kasur, setelah itu ia segera membersihkan pecahan gelas yang tadi dijatuhkan oleh bundanya. Gladis segera membawakan air putih hangat untuk bundanya.
"Ini bunda airnya." Gladis membantu ibunya meminum air tersebut secara perlahan. Dapat Gladis lihat dengan jelas wajah pucat bundanya, tabuhnya yang penuh dengan lebam dan bengkak dimana-mana.
"Maaf." Cicit Gladis pelan.
Bunga mengusap surai putrinya dengan lemah, "Kenapa minta maaf?" Tanya bundanya.
Mata Gladis mulai memanas, ia menunjuk lemah, mencoba menutupi kesedihannya di hadapannya Bunga. Gadis itu tidak mau bundanya melihat ia menangis.
"Maaf karena kondisi bunda yang semakin melemah, seharusnya Minggu ini bunda cuci darah. Tapi gara-gara Gladis bunda gak bisa cuci darah. Maaf Gladis belum ada uang untuk cuci darah bunda." Runtuh sudah pertahanannya saat ini, ia tidak bisa lagi menutupi rasa bersalahnya. Karena kejadian ia memecahkan gelas-gelas di cafe waktu itu ia tidak mendapatkan gaji untuk biaya cuci darah bundanya yang tidak sedikit.
"Gladis lihat bunda." Ujar Bunga, yang sama sekali tidak dihiraukan oleh gadis itu, Gladis tetap menunduk tanpa mau menatap Bunga. "Gladis lihat bunda." Ulangnya lagi lemah. Perlahan Gladis mendongakkan wajahnya menatap wajah lemah sang bunda. Bunga pun dapat melihat mata Gladis yang sudah memerah menahan tangisnya.
"Bunda..." Lirih Gladis gemetar, sedangkan Bunga hanya menatap putrinya sendu.
"Maafkan Gladis...hiks...Gladis belum bisa jadi anak yang berguna bagi bunda hiks...Gladis...Gladis...," Tuturnya terisak. Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya Bunga sudah lebih dahulu memotong.
"Gladis anak bunda yang paling baik, bunda bersyukur Allah telah menitipkan kamu kepada bunda saat ayah pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Maafkan bunda sayang, bunda selalu merepotkan kamu dengan penyakit bunda ini." Ujar Bunga sembari meneteskan air mata kepedihan. Mendengar hal itu Gladis menggeleng cepat.
"Tidak Bunda, Tidak. Bunda tidak sama sekali merepotkan Gladis. Maafkan Gladis yang belum bisa mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan bunda." Ujar Gladis pedih. Tiba-tiba dadanya saat sesak, kumpulan oksigen di ruangnya pun seakan menipis yang membuat pernafasannya tercekat. Bunga segera membawa Gladis ke dalam dekapannya, mendekap putrinya erat-erat seakan tidak ingin berpisah dengan putri kesayangannya. Putri yang selalu ada untuk dirinya selama ini, menjadi penyemangat hidupnya.
"Kamu menderita ya selama ini? Kamu tidak bahagia kan Gla? Maaf gara-gara bunda kamu tidak bisa menjalani kehidupan selayaknya gadis remaja seusiamu." Lirih Bunga pelan sembari terisak. Hal ini membuat Gladis semakin histeris, dia terisak di celuk leher bundanya. Bahkan Bunga sangat mendengar jelas tangisan perih putrinya itu.
"Gladis sayang anak bunda, maaf sayang, maaf. Maaf atas penderitaan yang selama ini kamu dapatkan. Sedari kecil kamu tidak bisa melihat wajah ayah kamu, kamu juga hidup penuh penderitaan dan kepedihan bersama bunda." Perkataan itu sangat menusuk hatinya, membuat Geladis semakin mengeratkan pelukannya kepada bundanya, ia tidak bisa berkata apapun, bibirnya terasa sangat kelu dan pernafasannya sangat tercekat.
"Gladis sayang. Bila boleh bunda jujur, bunda lelah sayang. Pada saat nanti waktunya tiba, pada saat nanti bunda menyusul ayah kamu nanti, janji sama bunda ya. Gladis harus janji akan menjadi dokter yang membantu banyak orang. Janji kamu akan kuat hidup tanpa bunda." Ujar bunga pelan dan terisak. Geladis menggeleng pelan, ia memeluk tubuh bundanya yang sangat kurus itu seerat-eratnya.
"Hiks..bunda...bagaimana bisa Gladis hidup tanpa bunda hiks...bunda penerang hidup Gla, tanpa bunda hidup Gladis akan seperti musim hujan bunda...hiks." Gladis terus terisak di pelukan sang bunda. "Bunda harus janji sama Gla, bunda harus kuat. Bunda harus lihat Gladis menjadi dokter nanti. Bunda bisa janji sama Gladis kan?" Tanya Geladis yang semakin terisak saat tak ada jawaban dari bundanya itu. "Bunda, jawab!" Ujar Gladis sembari menggoyangkan tubuh Bunga.
"Iya" Lirih bundanya pelan dan terkesan sangat tahu. "Udah jangan nangis, kamu sekarang kembali ke kamar dan belajar dengan giat ya, supaya bunda bisa lihat kamu jadi dokter hebat suatu saat nanti." Ujar Bunga sembari melepaskan pelukan mereka. Gladis membenarkan selimut Bunga. Setelah itu ia berlalu keluar dari kamar bundanya, menutup pintu kamar itu rapat-rapat. Setelah itu tubuhnya meluruh di balik pintu, kakinya sudah tidak dapat menahan lagi beban tubuhnya. Gadis itu membekap mulutnya sendiri menahan isakan-isakan yang keluar. Setelah itu tangannya perlahan memeluk tubuhnya yang menekuk dan menundukkan kepalanya.
"Ya Allah, kuatkan Gladis. Kuatkan bunda untuk terus bertahan. Beri kesempatan Gladis untuk bisa membanggakan bunda." Batinnya.
        Gladis berjalan menyusuri koridor sekolah, hari ini ia harus mengikuti bimbingan untuk seleksi beasiswa bersama dengan Azka dan Angel. Ada banyak hal yang menggangu pikirannya saat ini, entah mengapa ia terus memikirkan bundanya. Akhir-akhir ini keadaan Bunga semakin menurun, sudah tiga kali Bunga melewatkan cuci darahnya ke rumah sakit karena tidak ada uang untuk membayar pengobatannya. Bahkan terakhir Gladis mengantar Bunga untuk cuci darah, dokter menyarankan untuk segera melakukan operasi. Bunga harus segera melakukan transplantasi ginjal, tetapi saat ini belum ada ginjal yang cocok untuk menjadi pendonornya. Bahkan Gladis memikirkan biaya untuk melakukan transplantasi ginjal yang tidak murah. Gladis berjalan dengan pandangan kosong, dari mana ia bisa memiliki biaya untuk operasi bundanya. Tanpa sadar seseorang berjalan di samping Gladis, mengamati wajah Gladis yang sangat tertekuk tanpa ada gairah sama sekali.
"Semangat Gladis" ujarnya pelan pada diri sendiri.
"Semangat Gladis" ulang seseorang di sebelahnya yang sontak membuat Gladis terkejut bukan main. Gladis mengalihkan pandangannya memandang seseorang yang membuatnya terkejut tadi.
"Ya ampun Azka." Ujarnya sedikit geram. Sedangkan pria yang bernama Azka itu hanya tersenyum menatap Gladis.
"Melamun sambil berjalan itu bukan hal yang baik." Ujarnya mengingatkan.
"Gak ada yang melamun, aku fokus jalan dari tadi." Jawabnya menyangkal.
"Iya kamu fokus melamun, hal terburuk yang terjadi kalo kamu melamun itu bisa tersandung, jatuh, terhuyung, lalu kepala kamu terbentur dan bahayanya bisa gegar otak." Jelas Azka panjang lebar.
Sontak Gladis memukul pelan tangan Azka, Gladis mecebikan bibirnya. "Secara tidak langsung kamu nyumpahin aku gegar otak, begitu?" Tanya Gladis kesal.
Azka tertawa pelan mendengar penuturan gadis, "Jadi secara tidak langsung kamu mengakui, kalo kamu jalan sambil melamun, begitu?" Azka bertanya balik kepada Gladis, sembari menyunggingkan senyumannya.
Gladis menghela nafasnya jengah, "Lebih baik kita sekarang bimbingan, nanti Bu Mirna dan guru pembimbingnya nunggu." Final Gladis.
"Makanya jangan melamun." Celetuk Azka sembari berjalan begitu saja meninggalkan Gladis, sedangkan Gladis hanya memutarkan bola matanya malas.
        Hari ini Gladis pulang sangat larut karena harus bimbingan untuk seleksi beasiswanya yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Gladis melihat arloji di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul setengah delapan malam, entah kenapa perasaannya sejak tadi tidak enak, gadis itu terus memikirkan bundanya yang ada di rumah. Tangannya bergerak-gerak tak jelas. Gladis berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu angkot yang melintas, tetapi sedari tadi belum ada angkot yang melintas. Terdengar suara motor yang melaju dari belakangnya, lalu berhenti di sisinya.
"Gladis kamu belum pulang?" Tanya pria itu sembari membuka kaca helm full face nya.
Pandangan Gladis kosong mengarah ke depan, ia mengabaikan pria yang bertanya padanya tadi. Pria itu mengerutkan dahinya bingung saat tidak mendapat jawaban dari gadis yang ditanyanya.
"Huhf, ngelamun lagi dia." Ujarnya sembari tersenyum kecil, pria itu memukul pundak Gladis pelan, yang sontak membuat Gladis terkejut dan mengalihkan atensinya menghadap seseorang yang memukul pundaknya pelan.
"Ya ampun, Azka!" Ujar Gladis gemas, bisa-bisanya malam-malam seperti ini Azka mengejutkannya secara tiba-tiba.
"Ngelamun apa sih, hmm?" Tanya Azka penasaran, sebab sejak Gladis bimbingan tadi pandangannya sangat tidak fokus, bahkan pikirannya buyar kemana-mana.
"Tidak ada!" Jawab Gladis kencang, yang membuat Azka tertawa renyah.
"Tidak ada tapi gak fokus, ayo naik." Ujar Azka.
"Naik apa?" Tanya Gladis bingung.
Lagi-lagi Azka tertawa renyah mendengar jawaban Gladis, gadis ini benar-benar sedang tidak fokus dan banyak hal yang sedang dipikirkannya. "Naik haji Gladis." Ujar Azka bergurau.
"Gladis nanti naik hajinya sama bunda bukan sama kamu" Ujar Gladis polos yang membuat Azka menyentil dahi Gladis pelan. "Dasar bodoh," Ujar Azka sembari tersenyum.
"Ayo naik, aku antarkan pulang. Susah nunggu angkot jam segini." Ujar Azka yang masih sedikit terkekeh dengan tingkah gadis ini.
"Tidak merepotkan?" Tanya Gladis tak enak, yang di jawab gelengan pelan oleh Azka. Setalah itu Gladis lebih memilih pulang bersama Azka. Sebab ada untungnya juga pulang bersama Azka, ia bisa menghemat ongkos dan dapat lebih cepat melihat kondisi bundanya di rumah. Seharian ini ia terus memikirkan perkataan bundanya, memikirkan keadaan bundanya.
        Sesampainya di rumah Gladis langsung berlari masuk ke dalam rumah setelah berterimakasih kepada Azka karena sudah mau mengantarnya pulang. Gladis membuka pintu rumahnya, tumben sekali lampu luar rumahnya belum menyala.
"Assalamualaikum bunda, Gladis pulang." Ujar Gladis sedikit kencang, namun tidak ada jawaban dari bundanya. Apakah bundanya sudah tidur? Tidak biasanya bundanya sudah tertidur jam segini. Gladis memasuki kamar bundanya yang tampak gelap, lantas ia pun mencari saklar lampu untuk menyalakan kamar bunga.
"Astagfirullah bunda!" Teriak Gladis keras. Alangkah terkejutnya Gladis saat melihat bundanya yang tergeletak di bawah ranjang dengan pecahan gelas di mana-mana. Segera ia menghampiri Bunga yang tergeletak lemah di atas lantai. Gladis dapat melihat wajah pucat bundanya dan tangannya yang sangat dingin. Gadis itu meletakan kepala bundanya di pangkuannya.
"Bunda bangun bunda!!" Teriak Gladis histeris dengan air mata yang sudah berjatuhan. "Bunda! Bunda bangun bunda!" Tidak ada gerakan sama sekali dari bundanya.
"Tolong!!" Teriak Gladis kencang.
        Azka yang masih ada di depan pekarangan rumah Gladis terkejut saat mendengar suara orang minta tolong di dalam. Tadi Azka tidak langsung pergi, ia membuka pesan yang dikirimkan oleh kakaknya terlebih dahulu. Azka langsung berlari ke dalam rumah dengan terburu-buru.
"Gladis!" Panggil Azka panik. Gladis yang melihat Azka memasuki rumahnya, sedikit menghembuskan nafasnya tenang.
"Azka tolong bawa bunda aku ke rumah sakit, tolong!!" Lirih Gladis parau, ia sangat cemas akan keadaan bundanya saat ini. Azka dan Gelladis pun segera melarikan Bunga ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan.
        Gladis terus menangis di depan ruang rawat bundanya. Saat ini Bunga sedang ditangani oleh dokter di dalam. Air matanya terus menerus mengalir tiada henti. Azka memandang Gladis khawatir, pasalnya muka gadis itu sudah memerah dan sembab, penampilannya saat ini juga sudah jauh dari kata baik.
"Gla tenang ya, bunda kamu pasti baik-baik aja." Ujar Azka menenangkan. Gladis tidak menjawab perkataan Azka sama sekali, hanya terdengar suara isakan yang keluar dari bibir kecilnya. Tak berselang lama terdengar suara langkah kaki seseorang dengan terburu-buru. Nanda langsung memeluk Gladis erat, tadi Azka menghubungi nya bahwa bunda Gladis dilarikan ke rumah sakit.
Nanda memeluk Gladis begitu erat, "Gla tenang, semua akan baik-baik aja." Ujar Nanda pelan sembari menepuk-nepuk punggung sahabatnya. Gladis semakin terisak saat mendengar perkataan Nanda barusan.
Gladis membalas pelukan Nanda tak kalah erat, "Nanda, aku takut. Aku takut nan." Lirih Gladis pelan. Nanda semakin memeluk Gladis, ia dapat merasakan rapuhnya Gladis saat melihat kondisi bundanya saat ini, Nanda pun mulai menitikkan air matanya.
"Bunda pasti baik-baik aja, Gla." Lirih Nanda pelan, sedangkan Gladis semakin terisak di pelukan Nanda. Entah mengapa Nanda sekarang menjadi ikut rapuh, ia begitu paham betul apa yang di rasakan Gladis, ia tahu betul bagaimana Geladis berjuang demi pengobatan ibunya.
"Nanda gimana kalo bunda, hiks..."
"Suttt" potong Nanda, "Jangan bicara yang enggak-enggak, bunda baik-baik saja." Ujar Nanda lagi mencoba menghapus pikiran-pikiran buruk Gladis.
Setalah cukup lama, dokter pun keluar dari ruangan tersebut. Segera Gladis, Nanda dan Azka berdiri.
"Bagaiman keadaan bunda saya dokter?" Tanya Gladis cepat.
Dokter yang bernama Andi itu menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap Gladis dengan pandangan serius.
"Bunda kamu harus segera di operasi, keadaanya sudah sangat parah. Ginjalnya sudah sulit untuk berfungsi." Tutur dokter Andi prihatin.
Hancur. Itulah yang Gladis rasakan saat ini. Tubuhnya hampir meluruh ke bawah bila saja tidak ditahan oleh Azka dan Nanda. Gladis terus menangis, ia sangat takut saat ini. Takut kehilangan seseorang yang sangat berharga di hidupnya tanpa sempat membuatnya bangga. Gladis terus terisak, ia menyalahkan dirinya sendiri. Bila saja ibunya tidak telat cuci darah, mungkin keadaanya tidak akan separah saat ini.
        Gladis memasuki sekolah dengan tenang, sepulang sekolah ia harus segera pergi ke rumah sakit untuk menjaga ibunya. Sepanjang memasuki sekolah Gladis sangat tidak nyaman, padanya semua siswa menatap ke arahnya dengan tatapan rendahnya. Tidak biasanya para siswa SMA Galaksi tertarik untuk melihatnya, perasaannya sedikit tidak enak, ia mempercepat langkahnya untuk memasuki kelas.
"Udah anak beasiswa, tukang maling lagi." Celetuk salah satu temannya sekelas Gladis yang bernama Maya. Gladis menatap Maya heran, siapa yang Maya maksud sebagai pencuri. Tanpa pikir panjang Gladis duduk di bangkunya dengan tenang.
"Doi gak sadar ternyata." Sindir Alana teman sekelasnya juga dengan tatapan sinis.
"Heh, Gladis! Kamu nyuri gelang Angel kan?" Prontal Dara sembari menggebrak meja Gladis kencang. Gladis yang mendapat perlakuan seperti itu sontak memelototkan matanya, pencuri? Apa maksud nya? Gladis tidak pernah mecuri apapun milik orang lain.
"Maksud kalian apa? Gelang Angel? Aku tidak tahu apa-apa." Jawab Gladis bingung.
"Hahah, so bego dia." Sinis Tama. Perkataan mereka semua terhenti saat suara speaker sekolahnya berbunyi.
"Kepada Gladis Safira, segera menghadap ke ruang BK sekarang. Kesiswaan dan staf guru sudah menunggu di sana." Ujar seseorang di tempat informasi. Sedangkan Gladis sedikit bingung dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ada apa ini? Seingatnya ia tidak pernah melakukan apa-apa. Gladis pun segera menuju ruang BK dengan tergesa-gesa tanpa mempedulikan tatapan para siswa yang memandangnya rendah.
Gladis menatap pintu bertuliskan ruangan BK di hadapannya. Ia meremas samping rok nya, menggigit bibirnya pelan kemudian membuka pintu itu secara perlahan. Di dalam sudah ada Bu Mirna selaku kesiswaan dan dua guru BK, tak lupa ia melihat Angel dan kedua orangtuanya.
"Gladis silahkan duduk." Ujar Bu Santi selaku guru BK yang biasa mengurusi siswa kelas 12. Gladis duduk secara perlahan dan melihat kedua orangtua Angel yang sedang menatapnya tajam.
"Ini ada apa ya?" Tanya Gladis tak paham.
"Halah masih ngelak kamu, kamu kan yang ambil gelang anak saya di tasnya?" Bentak wanita paruh baya bernama Alena yang merupakan ibu dari Angel. Mendengar hal itu sontak Gladis membuka matanya lebar lebar.
"Saya tidak pernah mencuri gelang Angel Bu!" Keras Gladis dan suaranya meninggi.
"Kalau kamu gak ngambil barang milik anak saya, buat apa kamu berkata dengan nada tinggi seperti itu?" Sinis Bromo yang merupakan ayah dari Angel.
Bu Mirna memijat hidungnya pelan, merasa pening dengan kasus yang masih menjadi teka-teki itu. "Bapak, Ibu harap tenang ya. Kita bicarakan ini baik-baik, belum ada bukti bahwa Gladis yang mengambil gelang miliki Angel." Ujar Bu Mirna mencoba melerai.
"Kemarin jelas-jelas saat bimbingan hanya ada Azka dan Gladis Bu, dan tidak mungkin bukan bila Azka yang mengambil gelang milik saya. Pasti Gladis pelakunya, dia pasti butuh uang kan buat pengobatan ibunya!" Keras Angel emosi.
Gladis mengepalkan tangannya keras, lalu ia berdiri menatap tajam kepada orang-orang yang berada di ruangan itu. Kali ini ia harus melawan. "Saya memang orang miskin, saya tahu itu! Saya juga bersekolah di sini karena beasiswa, dan saya tahu itu! Tapi kalian tidak berhak untuk menghina saya dan menuduh saya sembarangan seperti ini!" Bentak Gladis kencang, kali ini ia sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya, ia lepas kendali.
"Heh berani lo ngebentak kaya gitu?! Jadi orang miskin gak usah belagu!" Bentak Angel yang semakin geram. Dalam waktu yang cepat ia menghempaskan tangannya hingga mengenai pipi mulus Gladis, Angel menamparnya.
Gladis merasakan panas di area pipinya, ia dapat merasakan ujung bibirnya mengeluarkan darah. Bu Mirna, dan kedua guru BK tidak bisa menghalau kejadian tersebut.
"Angel tenang! Tidak seharusnya kamu menggunakan kekerasan seperti itu!" Bentak Bu Mirna menyalahkan perbuatan yang dilakukan Angel. Sedangkan Gladis memegang pipinya yang masih terasa panas.
"Kalau ibu dan yang lain tidak percaya, coba kita periksa tas Gladis" ujar Angel yakin.
        Pihak kesiswaan dan guru BK menghampiri kelas Gladis, saat ini mereka akan memeriksa sendiri apakah benar Gladis yang telah mencurinya atau bukan. Bu Mirna menggeledah tas Gladis, tangannya bergerak lincah memeriksa. Hingga Bu Mirna merasakan ia meraba sebuah benda, dan mengeluarkannya dalam tas Gladis.
"Tuh kan Bu, itu gelang saya. Gladis pencuri!" Teriak Angel lantang, yang membuat semua siswa yang menyaksikan menatapnya tidak percaya.
Gladis menatap tak percaya, bagaimana bisa gelang Angel berada di tasnya. Nanda memegang tangan Gladis erat. "Aku percaya bukan kamu yang melakukan ini." Ujar Nanda menguatkan sembari mengusap kedua tangan Nanda.
"Gladis kamu sudah terbukti mencuri gelang milik Angel." Ujar Bu Mirna tidak percaya.
Pelupuk matanya sudah penuh digenangi air, hingga perlahan cairan itu mulai berjatuhan menyentuh wajar cantiknya, "Gladis tidak melakukan itu Bu." Lirih Gladis pelan sembari bergetar.
"Kamu sudah tidak mengelak lagi Gladis, semuanya sudah terbukti!" Bentak Bu Mirna emosi karena Gladis terus menyangkal akan perbuatannya.    
"Tapi Bu Gladis tidak mungkin...." Perkataan Nanda dipotong begitu saja oleh Bu Mirna. Bu Mirna menatap serius ke arah Gladis. "Karena perbuatan kamu ini. Maaf Gladis kamu akan terkena skor selama 3 hari dan terpaksa beasiswa kamu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi akan dicabut oleh pihak yayasan." Ujar Bu Mirna yang membuat Gladis terdiam kaku tanpa bisa berkata apapun, hanya air mata yang terus mengalir begitu saja dari pelupuk matanya.
        Semua orang pergi meninggalkan Gladis yang terisak, surat skor dan pencabutan beasiswanya akan keluar sore ini. Gladis sudah tidak dapat menahan tubuhnya lagi, tubuhnya terjatuh ke lantai begitu saja. Melihat hal itu Nanda memeluk tubuh Gladis dari belakang, ia dapat merasakan apa yang sedang gadis itu rasakan saat ini.
"Nan, kenapa dunia jahat sama aku? Apa aku tidak pantas untuk bahagia?" Lirihnya pelan sembari terisak. Sedangkan Nanda tidak bisa berkata apa-apa, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga suara nyaring dari handphone Geladis terdengar, Gladis meraih handphone pelan, lalu menempelkannya di telinga, pandangannya masih kosong menatap ke depan.
"Halo mba, ini dengan pihak rumah sakit. Keadaan Bu Bunga tiba-tiba drop dan saat ini sedang di tangani oleh dokter."
Deg...

Gladis menghempaskan handphonenya sembarang lalu berlari keluar dari kelas, ia harus ke rumah sakit saat ini. Terdengar suara teriakan dari Nanda yang sama sekali tidak di dengar Gladis, ia terus berlari keluar dari sekolah. Di luar keadaannya sedang hujan lebat, tanpa pikir panjang Gladis terus berlari menerobos hujan. Gladis berdiri di pinggir jalan menunggu angkot yang melintas di hadapannya. Tapi nihil, tidak akan ada angkot yang melintas saat sedang hujan lebat seperti ini, bajunya sudah basah kuyup. Gladis berlari untuk menuju ke rumah sakit, membutuhkan waktu lima menit untuknya tiba di rumah sakit bila menggunakan kendaraan, dan saat ini ia berlari menerobos hujan dan akan memakan waktu dua kali lipat. Gladis merasakan lemas di kakinya, ia terjatuh dengan lutut mulusnya mengenai paving blok, Gladis mengepalkan tangannya erat.
"Bunda bertahan." Lirihnya gemetar, lalu ia bangkit dan langsung menyebrangi jalan tanpa melihat ke Kanan dan kiri. Pandangannya mulai mengabur akibat air hujan yang mengenai wajarnya.
        Hingga sebuah mobil melaju dengan kecepatan yang cukup kencang. Gladis menatap ke arah kanan mendengar suara klakson mobil yang nyaring. Ia memicingkan matanya melihat ke arah kanan. Disana sebuah mobil sedang melaju dengan kencang. Tubuh Gladis terjatuh di atas aspal sembari menyilangkan tangan di depan wajahnya. Hampir saja Gladis tertabrak mobil tersebut namun untungnya mobil tersebut menancap gas dengan kencang. Setelah dirasainya tidak terjadi apa-apa Gladis langsung bangkit dan berlari lagi tanpa menghiraukan lutut dan tangannya yang berdarah, serta tubuhnya yang benar-benar basah kuyup. Gladis terus berdoa dalam hatinya, "Ya Allah jangan ambil bunda, Gladis belum sempat membahagiakannya."
        Gladis tiba di rumah sakit dengan tergesa-gesa, ia langsung menuju ruangan dimana bundanya dirawat. Saat memasuki ruangan terlihat dokter sedang menarik selimut bundanya hingga ke atas kepalanya, yang membuat Gladis mengernyitkan dahinya. Mengapa ibunya di tutupi kain seperti itu. Dokter menghampiri Gladis yang terdiam kaku menatap Bunga.
"Mohon maaf kami sudah berusaha, tapi Allah berkehendak lain. Ibu anda sudah tidak bisa tertolong lagi." Ujar dokter tersebut lalu pergi keluar ruangan dengan suster yang mengikuti di belakangnya. Gladis berjalan gontai menuju tempat dimana bundanya terbujur kaku. Gladis tertawa perih.
"Mimpi. Mimpi macam apa hingga bisa seburuk ini." Monolognya sendiri. Ia meraih tangan Bunga secara perlahan.
"Tangan bunda dingin, bunda kedinginan?" Tanya Gladis yang masih belum menerima kenyataan yang menimpanya saat ini. Ia tertawa perih hingga isakan-isakan mulai keluar dari bibir kecilnya.
"Hahaha, ayo Gladis bangun! Ini mimpi!" Geramnya pada diri sendiri, tubuhnya merosot ke lantai. Terdengar suara isakan yang begitu perih dari bibirnya.
"Bunda Gladis belum siap bunda, bunda Gladis gak suka dengan permainan dunia ini, Gladis muak...hiks" isaknya kencang, ia menangis sejadi-jadinya.
"Bunda jangan tinggalin Gladis sendiri...hiks...Gladis gak bisa." Dadanya mulai sesak, suaranya mulai melemah. "Ya Allah jangan ambil bunda, Gladis mohon ya Allah. Gladis tidak bisa hidup tanpa bunda...hiks" Gladis terus terisak senantiasa menunduk, keadaanya saat kacau saat ini bajunya basah kuyup ditambah mata dan hidung yang memerah. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja.
"Bunda ayo bangun, Gladis akan membanggakan bunda. Bunda ingin melihat Gladis menjadi dokter kan? Iya bun, Gladis akan menjadi dokter. Bunda bangun ya, Gladis mohon." Erangnya kencang sembari air mata yang terus membasahi wajah cantiknya. Ia terus memukul-mukul kepala berharap ia terbangun bila ini hanya mimpi dan berharap ini semua bukan kenyataan.
"Ahhhhhhkkkkkk" Teriaknya kencang, ia menunduk dalam. Dadanya sangat sesak hingga menggerakkan tubuhnya saja sangat sulit. Hebat, kenyataan apa lagi yang harus ia terima. Kehilangan beasiswanya, di tuduh pencuri, lalu kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Takdir seorang mempermainkan nasibnya dan hujan menjadi saksi cerita kepedihannya selama ini.
        Seorang wanita berjas khas berwarna putih dengan sepatu pantofel berjalan memasuki lorong rumah sakit, ia melirik salah satu kamar bernomor 24. Di ruangan itu ia pernah kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya, yang sampai saat ini ia jadikan pelajaran berharga sebagai permainan takdir yang pernah terjadi dalam hidupnya. Hingga seseorang mengalihkan atensinya.
"Dokter Gladis, silahkan pasien anda sudah menunggu." Ujar adalah satu suster. Gladis hanya tersenyum menjawab suster tersebut. Enam tahun telah berlalu ia bersyukur dan menerima setiap hal yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Gladis menatap jendela rumah sakit, di luar hujan sangat deras sekali.
"Hujan sampaikan pada bunda, Gladis berhasil mewujudkan cita-cita Gladis. Sampai bertemu di kehidupan selanjutnya." Ujarnya pelan lalu berjalan menuju ruangannya. Semuanya sudah berakhir, perihal insiden tuduhan pencurian yang pernah ia alami sudah terbukti tidak benar, gelang itu sengaja Angel masukan ke dalam tas Gladis saat bimbingan persiapan beasiswa saat itu, semuanya sudah terbukti melalui rekaman CCTV ruangan. Setelah insiden itu terbukti tidak benar, Angel meminta maaf kepada Gladis, dan ialah yang harus menerima hukuman dengan dikeluarkan dari sekolah dan tidak mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikannya ke Universitas Galaksi. Gladis tetap bisa melakukan seleksi beasiswa tersebut dan dinyatakan lulus, meski dalam keadaan berkabung saat itu, Gladis tetap fokus menyelesaikan seleksinya demi membanggakan bundanya di atas sana. Gladis sadar, walaupun awal dari perjalanannya sangat perih tapi saat ini berakhir dengan indah. Gladis tersenyum kecil mengingat semua kejadian masa lalu yang berputar di kepalanya.
"Hujan, terimakasih telah menemaniku selama ini. Kisah ini kupersembahkan untukmu." Ujarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun