Sebulan belakangan ini saya mendapat sebuah projek. Projek yang gampang-gampang susah karena harus mengumpulkan data restoran se Jakarta Raya, syukurnya projek itu kami kerjakan secara keroyokan. Tapi tetap saja karena mengumpulkan data restoran tersebut bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bukan tidak memungkinkan, tapi untuk mencari jarum itu kita harus membongkar jerami satu-persatu dan dengan sangat teliti.
Ini utama projek ini adalah mencari restoran yang menggunakan daging sapi halal. Dan saya baru menyadari kalau banyak sekali restoran yang menggunakan bahan non halal di Jakarta. Karena saya dari Bandung, mungkin di Bandung pun banyak.
Miris karena harus saya akui bahwa tulisan ini mengarah pada pembahasan SARA, hal yang jadi duri dalam daging belakangan ini. Please, saya hanya ingin menuliskan atau setidaknya bahasan yang mungkin bisa direnungi bersama. Kenapa? Karena sebagian besar orang Indonesia adalah muslim, plus saya.
Awalnya saya ada keluhan tentang tempat makan yang pernah saya kunjungi, karena selalu menganggap tepat makan di Indonesia pasti selalu halal, kecuali yang sudah tertera baik-baik diumumkan oleh restonya kalau makanan yang mereka sajikan tidak dapat dimakan oleh muslim. Saya pernah makan bersama teman-teman saya di sebuah warung bakmi di Bandung. Ketika masuk, karena saya dan teman-teman saya kerudungan, mbak-mbak petugas (yang pakai kerudung juga) di sana melihat kita dengan tatapan heran. Ya sudah kami pesan bakmie, tanpa mencurigai sesuatu.
Sewaktu makan, hm saya dan teman-teman mulai mencurigai karena daging yang ada di bakmie ini tidak seperti biasanya. Lebih anyir dan lebih berlemak. Hm, apakah....(?)
Jadi karena khawatir daging yang digunakan bukan daging sapi, kami menyudahi makan kami. Dan menduga-duga daging apa itu, lalu bagaimana kalau benar kalau dagingnya adalah daging yang kita tidak boleh makan?
Belakangan saya tau kalau bakmie disana memang tidak halal. Kemudian saya bertanya-tanya, pantas saja si mbaknya menatap kita dengan penuh heran. Mungkin dia juga ragu buat memberi tahu kita. Entahlah, karena si mbaknya mungkin punya banyak alasan. Kejadian berbeda ketika seorang teman berkungjung ke restoran di sebuah hotel, dia salah masuk ke tempat parasmanan yang makanannya mengandung babi. Beruntung karena petugas di sana memberi tahu dia kalau makanan disana mengandung babi, dan mempersilakan mengantri ke tempat makan sebelahnya yang makanannya dijamin halal.
Jadi siapa yang salah atas kejadian yang saya alami? Tidak usah saling menyalahkan karena setiap kejadian mempunyai pelajarannya tersendiri. Buat saya mungkin saya seharusnya konfirmasi dulu.
.....
Kejadian di atas berkolerasi sekali dengan sebuah kegiatan yang saya ikuti beberapa bulan lalu. Yaitu kegiatan Seminar Internasional Pariwisata Halal yang diadakan oleh Bidang Penelitian Pariwisata ITB (kalau tidak salah) dan Halal Center Salman ITB Bandung. Pariwisata Halal menjadi onjek yang sangat seksi belakangan ini di dunia internasional.
Di Jepang sudah banyak sekali restoran dan hotel yang mempunyai konsep hotel dan restoran halal, di Thailand juga sudah banyak. Bahkan Lombok dianugrahi sebagai Destinasi Pariwisata Halal Honeymoon terbaik.
Kenapa dipermasalahkan?
Bukan dipermasalahkan. Tapi karena turis muslim dari negara-negara muslim mulai meningkat, negara-negara tadi tuh yang sudah disebutkan mulai mencari peluang agar turis-turis muslim tersebut nyaman berwisata tanpa melanggar keyakinannya. Mungkin kalau ke mall kita sering meihat turis dari timur tengah sekeluarga, yang ibunya pakai nikab hitam, atau gamis lebar berwarna hitam.
Jadi kenapa tidak di Indonesia yang mayoritasnya muslim juga mulai menjalankan program ini, Pariwisata Halal. Ya kalau pariwisatakan tidak bisa dipisahkan dengan hotel atau restoran. dan perlu digarisbawahi karena Halal itu bukan soal makanannya tidak mengandung babi, tapi halal itu adalah sebuah "ways", cara, proses.
Iya daging sapi, tapi kalau disembelihnya tidak melalui cara syari ya tidak halal. Oke dagingnya halal tapi cara mengolahnya masih dicampur dengan bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan untuk mengolah babi, ya juga tidak halal.
Dan karena turis muslim yang jumlahnya semakin meningkat, mungkin itu bisa jadi peluang bisnis. Di Jepang restoran yang menyediakan makanan halal pun tidak 100% hanya menyediakan makanan halal kok. Tapi pengelola restoran memisahkan dengan penuh tanggung jawab mana makanan halal dan tidak. Mereka belajar apa itu halal, bagaimana mengolah makanan halal.
Penutup, semua isi tulisan bukan bermaksud menyinggung sebagian masyarakat, agama, atau suku. Penulis memohon maaf jika ada yang tersinggung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H