Kunjungan Nancy Pelosi, Ketua Perwakilan Rakyat Amerika Serikat ke Taiwan pada 2 Agustus 2022 membuat hubungan China dan Taiwan semakin memburuk. Kunjungan tersebut dianggap melanggar Kebijakan Satu China dan Tiga Komunike bersama Amerika Serikat dan China. Dimana kebijakan ini di deklarasikan bahwa hanya ada satu China di dunia. Kebijakan ini menyatakan bahwa, China Daratan, Taiwan, Hong Kong dan Makau adalah satu kesatuan dibawah pemerintahan China. Pemerintah China menganggap bahwa Amerika serikat mendukung Taiwan untuk merdeka. Sehingga hal tersebut menimbulkan ketegangan di Selat Taiwan hingga saat ini.
Pasalnya, Taiwan hingga sekarang terus menolak reunifikasi bersama China. Konflik tersebut bermula sejak kekalahan pemerintahan Nasionalis Kuomintang dari pemerintahan komunis. Kemenangan Komunis akhirnya memaksa pemerintahan Nasionalis Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek untuk melarikan diri ke Taiwan. Kemudian pada 7 Desember 1949, Pemerintahan Nasionalis Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek resmi menjadikan Taiwan sebagai wilayah kekuasaan mereka dengan nama Republik Of China (ROC). Sedangkan pemerintahan Komunis pimpinan Mao Zedong juga mendirikan Republik Rakyat China (RRC) di China daratan. Namun pada 1971 dengan jelas dinyatakan dalam Resolusi 2758 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa hanya ada satu China di dunia. Sehingga bisa dikatakan bahwa Taiwan ini adalah bagian dari China.
Konflik antara China dan Taiwan terus berlangsung hingga saat ini. Perbedaan ideologi China dan Taiwan membuat mereka sukar bersatu. Taiwan meminta agar China menghormati keputusan rakyat Taiwan atas demokrasi dan kebebasan. Meski hingga saat ini belum ada solusi yang pasti untuk reunifikasi China-Taiwan, pemerintah China terus berusaha untuk melakukan reunifikasi damai dengan Taiwan. Namun gesekan politik AS di Taiwan membuat keadaan kembali memburuk. Sehingga hal tersebut semakin membawa ketegangan militer antara AS, Taiwan, dan China di Selat Taiwan.
Dibalik ketegangan di Selat Taiwan saat ini, yang cukup menarik adalah perkembangan hubungan ekonomi antara China dan Taiwan. Menurut pandangan liberalisme, hubungan ekonomi yang baik akan membawa perdamaian. Berdasar asumsi tersebut, maka mungkin saja di masa depan konflik antara China dan Taiwan dapat membaik karena hubungan ekonomi. Hubungan investasi dan perdagangan China dan Taiwan juga cukup mengejutkan. Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA), merupakan salah satu contoh dari perkembangan hubungan ekonomi China dan Taiwan. ECFA ini merupakan kesepakatan dagang antara China dan Taiwan. Kesepakatan ini bertujuan untuk meminimalisir hambatan perdagangan, baik China ataupun Taiwan. Sehingga bisa dikatakan hubungan ekonomi kedua negara tersebut cukup baik. Â Kemudian pastinya, hal tersebut akan berefek terhadap suasana di selat Taiwan.
Dampak positif dari ECFA ini dibuktikan dengan peningkatan nilai perdagangan antara China dan Taiwan. Ekspor Taiwan ke China meningkat tajam dari US$ 40 miliar pada tahun 2000 menjadi US$ 155,55 milyar di 2020. Kemudian yang lebih mengejutkan lagi, ternyata ekspor terbesar Taiwan ditujukan untuk China, yang mana pada 2020 mencapai angka 43.9%. Begitupun dengan impor Taiwan ternyata terbesar juga dari China, dimana mencapai angka 22.7%. Sehingga bisa dikatakan, saat ini hubungan ekonomi antara China dan Taiwan telah berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut.
Hubungan ekonomi yang semakin membaik ini, tentunya akan mempercepat terbentuknya integrasi ekonomi antara China dan Taiwan. Integrasi ekonomi akan mengurangi kemungkinan konflik yang semakin besar terjadi. Menurut realisme, integrasi ekonomi akan membuat pihak didalamnya saling berketergantungan satu sama lain. Dimana mereka akan saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga, jika kedua kedua negara tersebut saling berketergantungan, maka sangat mungkin reunifikasi China-Taiwan dapat terealisasikan. Namun yang jadi permasalahan adalah, ketegangan di Selat Taiwan disebabkan oleh gesekan politik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa AS dianggap terlalu ikut campur perihal isu Taiwan ini.Â
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa integrasi ekonomi dapat menjadi solusi konflik, namun dengan syarat tidak ada campur tangan politik dan militer negara lain. Jika integrasi ekonomi kedua negara tersebut telah terbentuk, maka akan meminimalisir untuk pemilihan opsi militer. Dimana konflik militer sendiri, dapat dipastikan akan menghancurkan ekonomi kedua negara tersebut. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H