Gangguan Siklotimia
Gangguan siklotimia atau disebut pula gangguan sklotimik merupakan gejala hipomania dan minor depresi. Kondisi ini dapat berlangsung cukup lama untuk memenuhi syarat periode hipomania atau depresi. Fase hipomania dan depresi yang dialami tidak seintens tipe I dan II namun memiliki siklus hingga dua tahun.
Apa penyebab gangguan bipolar?
Gangguan bipolar seringkali didiagnosis pada masa remaja akhir atau dapat pula pada dewasa muda dengan rentang usia 10-24 tahun. Terkadang, gejala bipolar juga dapat muncul pada anak-anak meskipun gejalanya dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Gangguan bipolar belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun, salah satu faktor terbesar terjadinya peningkatan resiko bipolar adalah faktor keturunan. Dugaan gejala yang muncul pada gangguan bipolar diperkirakan karena malfungsi neurotransmitter beberapa sirkuit dalam otak. Gangguan bipolar merupakan kondisi kronis yang membutuhkan pengobatan seumur hidup untuk menekan gejala-gejala penderita bipolar.
Bagaimanakah pandangan masyarakat terkait bipolar?
Seseorang dengan gangguan bipolar, baik dengan manifestasi klinis maupun subklinis berpengaruh dan mengganggu kualitas kehidupannya hingga 30% atau lebih dibandingkan dengan seseorang yang sehat. Perbedaan yang dialami biasanya tampak dari segi sosial, pekerjaan, pendidikan, keuangan, kepercayaan diri dan lain sebagainya dalam kehidupan seharu-hari. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh gejala depresi yang menunjukkan penurunan kualitas hidup yang lebih berat.
Mungkin bagi sebagian besar masyarakat akan menganggap orang dengan kondisi bipolar hanyalah orang yang terlalu berlebihan atau 'lebay'. Tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa keadaan tersebut merupakan efek dari kurangnya ibadah dan kurang perhatian. Seperti kasus yang dialami oleh salah satu public figure di Indonesia yakni Marshanda serta salah satu rapper dari Amerika yakni Kanye West. Kasus Marshanda dan Kanye West merupakan kasus dari sekitar 60 juta orang di dunia yang mengalami gangguan bipolar menurut WHO (2016).
Meskipun telah banyak kasus pengidap gangguan bipolar di dunia, namun isu kesehatan mental salah satunya bipolar menjadi isu kesehatan yang selalu terpinggirkan. Masyarakat lebih peduli pada kesehatan terkait fisik yang terlihat secara nyata dibandingkan kesehatan mental yang tidak terlihat secara jelas dan tekadang sulit ditebak. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik seperti kanker, HIV dan lain sebagainya.
Diskriminasi serta stigma negatif masyarakat seringkali melekat pada pengidap gangguan bipolar. Tanggapan masyarakat terkait hal tersebut menjadikan efek yang kian buruk bagi penderita bipolar sehingga dapat membuat penderita merasa kehilangan harga diri, dan terkucilkan dari masyarakat. Prasangka yang ditujukan untuk menjauhi, menyingkirkan, ataupun menjaga jarak baik secara fisik maupun sosial dengan kelompok tertentu seringkali menjadi tekanan bertubi-tubi yang harus diterima oleh penderita bipolar.
Rasa malu, diskriminasi dan dikucilkan dari masyarakat yang dialami oleh penderita berkaitan dengan masalah hak asasi manusia. Stigmatisasi pada orang dengan gangguan mental sebagian besar melalui jarak sosial, keyakinan dan sikap negatif dalam profesi psikiatris harus ditentang karena pengaruhnya terhadap opini publik. Berbagai stigma yang muncul biasanya disebabkan karena ketidaktahuan baik dari segi masyarakat maupun orang terdekat mengenai gangguan yang dialami.