Pendidikan memiliki peran sentral dalam mengembangkan potensi alami yang dimiliki setiap individu, termasuk peserta didik. Setiap peserta didik dilahirkan dengan potensi alami yang dapat berkembang melalui pendidikan yang baik. Sebagaimana diungkapkan oleh Muktamar, Wahyuddin, dan Baso Umar (2024), pendidikan berfungsi sebagai sarana untuk mengasah dan mengasuh potensi tersebut agar peserta didik dapat hidup bahagia dan sejahtera.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak hanya berfokus pada pengajaran materi, tetapi juga berupaya menuntun anak untuk mengembangkan bakat kodrat mereka menuju ketenangan jiwa. Peran guru dalam konteks ini adalah menjadi "seniman pendidikan" yang tidak hanya mengajar, tetapi juga memahat karakter dan mengembangkan potensi alami peserta didik, seperti yang diungkapkan oleh Devianti dan Sari (dalam Muktamar et al., 2024). Hal ini sejalan dengan pendapat Purwowidodo dan Zaini (2023) yang menekankan bahwa setiap anak memiliki potensi, kecerdasan, dan bakat yang berbeda-beda, yang perlu diperlakukan sesuai dengan kondisinya. Konsep bahwa setiap anak memiliki potensi yang unik dan perlu dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik mereka menjadi landasan utama dalam berbagai pendekatan pendidikan, salah satunya adalah pembelajaran berdiferensiasi (differentiated instruction).
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pendekatan yang menanggapi keragaman kebutuhan dan karakteristik setiap peserta didik. Karena setiap siswa memiliki cara belajar yang berbeda, guru dituntut untuk merancang pembelajaran yang lebih fleksibel. Pendekatan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Purwani (2024), melibatkan variasi dalam materi ajar, cara mengajar, dan produk yang dihasilkan oleh siswa. Tomlinson (2001) mendefinisikan pembelajaran berdiferensiasi sebagai strategi proaktif yang memungkinkan guru menyesuaikan metode dan materi dengan kebutuhan belajar masing-masing peserta didik (Yastuti & Suciatiningsih, 2024). Pembelajaran berdiferensiasi bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi semua siswa, baik yang memiliki kemampuan lebih tinggi maupun yang membutuhkan dukungan lebih, untuk belajar secara optimal.
Beberapa teori pendidikan mendukung pentingnya pembelajaran berdiferensiasi, termasuk teori Multiple Intelligences oleh Howard Gardner dan teori Zone of Proximal Development (ZPD) oleh Lev Vygotsky. Teori Multiple Intelligences menyatakan bahwa setiap individu memiliki berbagai jenis kecerdasan, seperti kecerdasan logis, visual, kinestetik, musikal, dan interpersonal (Yastuti & Suciatiningsih, 2024). Berdasarkan teori ini, guru dapat merancang pembelajaran yang bervariasi sesuai kecerdasan dominan siswa, seperti penggunaan alat bantu visual, aktivitas kinestetik, atau kegiatan kelompok.
Sementara itu, teori ZPD Vygotsky menekankan pentingnya pemberian bantuan (scaffolding) sesuai dengan tingkat kemampuan siswa (Purwowidodo & Zaini, 2023). Dalam konteks pembelajaran berdiferensiasi, guru dapat memberikan tantangan yang lebih sulit kepada siswa yang sudah mahir dan memberikan bantuan tambahan kepada siswa yang memerlukan. Dengan menerapkan teori-teori ini, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung semua siswa untuk berkembang sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Dalam penerapan pembelajaran berdiferensiasi, guru dapat menggunakan beberapa strategi, yaitu diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk (Purnawanto, 2022; Fitriyah & Bisri, 2023; Muktamar et al., 2024; Sugianto, 2022).
1. Diferensiasi Konten
Diferensiasi konten adalah upaya untuk menyampaikan materi pelajaran dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan kebutuhan siswa (Wardani & Darmawan, 2024; Yastuti & Suciatiningsih, 2024). Misalnya, guru dapat memberikan materi pembelajaran dalam bentuk teks, video, gambar, atau alat peraga. Dengan begitu, siswa dapat memilih cara yang paling sesuai untuk memahami materi yang disampaikan. Diferensiasi konten juga dapat berupa tingkat kesulitan materi, di mana siswa yang memerlukan tantangan lebih diberikan materi yang lebih mendalam, sedangkan siswa yang masih perlu penguatan diberikan materi dasar. Memasukkan pengetahuan dan pemahaman tentang hal ini ke dalam pengajaran, tentu akan sangat membantu seorang guru dalam mengembangkan berbagai konten dan bahan ajar yang dapat menjangkau setiap siswa (Purnawanto, 2023).
2. Diferensiasi Proses
Diferensiasi proses mengacu pada cara pembelajaran yang digunakan guru untuk memfasilitasi pemahaman siswa terhadap materi (Purnawanto, 2023; Sugianto, 2022). Guru dapat menggunakan berbagai metode seperti diskusi kelompok, kerja mandiri, atau permainan edukatif. Misalnya, dalam pelajaran matematika, siswa yang tertarik pada pembelajaran kolaboratif dapat bekerja dalam kelompok untuk membuat sebuah bangun ruang, sementara siswa yang lebih suka bekerja sendiri dapat menulis ringkasan materi secara individual. Dengan adanya pilihan metode belajar, siswa dapat lebih termotivasi dan fokus pada materi yang dipelajari.