Pertama dalam konteks kebangsaan dimana realitas sosial politik kita hari ini sebenaranya masih dalam suasana krisis kepercayaan dan krisis kepemimpinan dari fase transisi pasca Mei 1998. Bangsa ini setelah hampir 10 tahun lebih reformasi berjalan masih linglung, berbangsa tanpa panutan yang bisa dicontoh, yang seharusnya diberikan mereka yang berada di puncak-puncak kekuasaan.Â
Terjadi tatkala perilaku yang ada di tingkat kekuasaan yaitu kekuatan-kekuatan yang secara menyeluruh mendominasi ekonomi, politik, jenjang sosial dan produksi kultural tak mampu lagi jadi panutan masayarakat. Â Demikianlah hal itu mendorong relevansi perilaku Soe Hok-Gie dalam zaman peralihan ini kepada relevansi. Kedua yaitu: menjadi ruang refleksi bagi pertanyaan klasik tentang peran intelektual terkait ruang moral ataukah politik, antara idealisme dan kompromi.
Sejatinya adalah mahasiswa yang terbuka mata untuk kritisisme (dalam dunia politik) dan tetap selalu terjaga konsistensi perihal status mahasiswa untuk keadilan rakyat Indonesia sendiri, membuka mata untuk moralitas berunsur politik ataukah politik berunsur moralitas. Kita patut atau wajib untuk memahaminya sebagai acuan pelajaran dari berbagai pihak yang pernah terjadi di negara ini. Karena, tak ada satupun pelajaran yang akan kita ingat jika tidak berdasarkan dari unsur sejarah dari budaya politik itu sendiri yang berdemokrasi dalam kekuasaan.
*Penulis merupakan mahasiswi mata kuliah ilmu politik, semester 1, jurusan ilmu komunikasi, FISIP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H