Mohon tunggu...
Anisa Rahmasari
Anisa Rahmasari Mohon Tunggu... Penerjemah - Penikmat hal klise dan sederhana

Menikmati waktu senggang dengan bermimpi dan menonton serial televisi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari "Manipulasi dalam Relasi"

11 Februari 2021   13:10 Diperbarui: 15 Februari 2021   19:05 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster webinar - dokpri

Manipulasi dalam hubungan terjadi ketika seorang individu merasa tidak nyaman akan perlakuan terhadap dirinya yang disebabkan pihak lain dalam hubungan tersebut. Dalam suatu hubungan, pelaku manipulasi biasanya menanamkan keraguan dan membuat korban tidak bisa membuat keputusan (atau bahkan mempertanyakan keputusannya sendiri).

Dalam praktik nyatanya, fenomena ini sering terjadi, baik itu dalam relasi romansa maupun relasi formal/informal. Manipulasi bisa berimbas pada adanya tindakan lain, seperti kekerasan seksual, fisikal, maupun verbal.

Dalam rangka meningkatkan awareness tentang adanya tindakan relasi manipulatif dan pelecehan seksual, terutama di lingkungan kampus, serta mendukung pengesahan UU PKS, Magdalene.co bersama The Body Shop Indonesia menggelar sebuah campus online talkshow bertajuk ‘Manipulasi dalam Relasi’ pada Rabu, 10 Februari 2021.

Poster webinar - dokpri
Poster webinar - dokpri
Webinar ini berlangsung selama dua jam dan dihadiri oleh beragam bintang tamu menarik yang membuka mata saya lebih lebar akan isu ini. Di antaranya; Ibu Ika Putri Dewi, psikolog klinis dari Yayasan Pulih, juga Nasya Ayu Dianti, Wadir bidang Advokasi HopeHelps Universitas Indonesia, layanan pencegahan kekerasan seksual di kampus UI.

Saya termasuk pemula dalam memahami isu pelecehan seksual dan manipulasi dalam hubungan. Walau demikian, saya tetap mau belajar. Dengan mengikuti webinar ini, saya belajar banyak hal bermanfaat yang mampu merekahkan wawasan saya akan isu sosial ini.

1. Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus
Tema besar webinar ini adalah ‘Menciptakan Kampus yang Aman’. Alhasil, pembahasannya mengerucut kepada isu hubungan manipulatif yang terjadi di lingkungan kampus. 

Webinar ini dihadiri oleh beberapa perwakilan dari beberapa universitas tanah air yang di mana mereka telah memiliki lembaga/peraturan tersendiri tentang penanganan pelecehan seksual yang terjadi di kampus masing-masing.

Di Universitas Indonesia, ada sebuah layanan yang diperuntukan untuk menanggapi pelecehan seksual serta memberikan advokasi hukum atas tindakan tersebut. Layanan ini bernama HopeHelps UI, pemekaran dari HopeHelps the Network yang juga bekerjasama dengan kampus lain. 

Salah satu program rutin dari HopeHelps UI adalah memberikan sosialisasi dan advokasi atas kekerasan seksual ke himpunan mahasiswa dan BEM dalam kampus. Ada juga program di mana HopeHelps mendukung pembentukan peraturan kampus yang menangani tentang pelecehan seksual. Kurang keren apa? Seperti yang diharapkan dari kampus terbaik di Indonesia.

Di Universitas Bangka Belitung sendiri lebih keren lagi. Di kampus ini, BEM mereka sudah membentuk kementerian khusus untuk menangani isu gender dan pemberdayaan perempuan. 

Presbem KM Universitas Bangka Belitung, Andrew, juga menerangkan kalau kementerian mereka telah mengadakan banyak program yang diperuntukan buat membantu penanganan isu pelecehan seksual, seperti webinar mingguan, pengadaan posko curhat korban kekerasan seksual, sampai ke tindakan spesifik seperti sosialisasi poster demo agar kalimat dalam poster tersebut relevan dan tidak mendiskreditkan gender tertentu. Keren banget ‘kan? Saya salut bagaimana mereka juga memberikan perhatian ke sisi lain yang jarang ditanggapi orang banyak.

Di tengah sesi, saya sudah takjub pada banyak pihak yang memiliki upaya, pemikiran, dan kepedulian untuk menangani isu ini. Ketika banyak lembaga pendidikan antipati dan ogah-ogahan dalam mengadvokasi isu pelecehan seksual karena takut mencemarkan nama baik mereka, saya terperangah menemukan gerakan-gerakan tanggap ini sudah dipupuk. Saya jadi menantikan, loh, kapan kampus saya mengikutsertakan gerakan yang sama?

2. Sesuatu yang Mereka Sebut Trauma Bonding
Trauma bonding adalah salah satu pembahasan lain yang menarik perhatian saya di sini. Jadi, dalam sebuah relasi manipulatif, trauma bonding adalah lingkaran psikologis yang membuat korban sulit keluar dari hubungan destruktif itu.

Dari pemaparan Ibu Ika sebagai psikolog klinis dan Mbak Hannah Al Rashid sebagai salah satu penyintas hubungan manipulatif, saya menyimpulkan kalau trauma bonding adalah sebuah siklus di mana korban membangun keterikan tertentu dengan abuser (pelaku kekerasan) agar bisa survive. Maka dari itu korban sulit keluar. Dia terjebak dalam lingkaran yang bahkan dia sendiri tak sadar sedang mengekangnya.

Secara psikologis, seorang korban akan menggantungkan diri pada hal baik yang telah diberikan abuser-nya agar dia survive, dan hal ini biasa terjadi setelah adanya tindakan merugikan yang dilakukan pelaku (Insiden).

Setelah insiden terjadi, pelaku dan korban akan menenang, rekosiliansi, dan pelaku cenderung akan memperlakukan korban dengan rasa sayang dan perhatian (Cinta). Imbasnya, timbul harapan dalam diri korban yang sedang tertekan, bahwa si abuser mungkin akan berubah, atau dia akan memperlakukan si korban dengan baik dan penuh cinta lagi (Harapan). 

Jika fase ini sudah terlewati dan tanda-tanda tindakan manipulasi dan kekerasan terlihat lagi di kemudian hari (Tensi), korban cenderung kembali kepada pemikiran di mana jika ia bisa melewati fase mengerikan ini (Insiden), ia akan memperoleh cinta dan kasih sayang lagi dari fase sebelumnya dan berakhir survive.

Pada akhrinya, terbentuklah  lingkaran Tensi → Insiden  → Cinta → Harapan.

Kompleksitas dari trauma bonding membuat korban sulit mengidentifikasi emosinya sendiri dan berakhir terus terjebak dalam lingkaran itu, sehingga ia sulit lepas dari hubungan manipulatif-abusif. 

Hal lain yang membuat korban sulit keluar dari hubungan ini adalah karena adanya ketergantungan yang dikondisikan. Dalam hubungan romansa atau domestik, hal ini bisa dikenali seperti seperti satu pihak  yang terus memberikan harapan komitmen (janji akan dinikahi), ketergantungan finansial, atau karena memiliki anak.

Bantuan dari konselor atau terapis adalah hal yang harus diterima jika seseorang sudah sulit keluar dari hubungan semacam ini.

3. Beragam Pelaku dalam Hubungan Manipulatif - Abusif
Dari data dan laporan yang dihimpun HopeHelps UI, pelaku pelecehan seksual 38% datang dari teman korban sendiri, dan 10% dari pacar mereka. Dari sini saya semakin sadar bahwa benar; rasa sakit lebih mudah datang dari orang terdekat. Saya sangat menyayangkan dan semakin bertanya-tanya kenapa manusia mudah sekali mencelakai sesamanya yang sedekat nadi.

Dari webinar ini, saya juga sadar bahwa pelaku manipulasi dalam suatu hubungan cenderung manipulatif, seperti namanya. Melalui pengakuan penyintas, manipulator bahkan membentuk sebuah persona berbeda di depan lingkungan sosial dan di belakang lingkungan sosial; ketika mereka bergaul dan ketika mereka melakukan tindakan abusif dan manipulatif. 

Hal ini tentu membuat korban sulit meyakinkan lingkungan sekitar ketika dia berusaha mencari pertolongan. Selain itu, saya juga belajar bahwa sebuah hubungan manipulatif rentan terjadi jika ada perbedaan power atau kekuasaan. Dengan memiliki power tertentu, satu pihak akan mudah menguasai dan memanfaatkan pihak lain dengan power lebih kecil darinya.

Jadi, itulah tiga poin penting yang saya pelajari dari webinar ini. Sejatinya, manusia adalah mahkluk sosial. Ia adalah mahkluk yang hidup dan bernapas dari interaksi dan relasi satu sama lain. Beragam hal dapat terjadi di dalam hubungan antar manusia, entah itu bersifat menguntungkan atau merugikan.

Saya sangat bersyukur telah ikut serta dalam acara ini. Selain untuk menambah wawasan dan memekarkan keawasan saya pada isu terkini, memahami hubungan manipulatif juga dapat menjauhkan saya dari kemungkinan menjadi korban dari hubungan ini, atau bahkan (secara tidak sengaja) menjadi pelaku manipulasi dari hubungan yang saya jalani sendiri.

“Animals remember the voice of a trusted, familiar person. They also remember people who inflict abuse on them.”

Will Graham from Hannibal (Season 1, Episode 4)

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun