Mohon tunggu...
Anisa Odelia Agustiani
Anisa Odelia Agustiani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa - Ilmu Komunikasi

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bicara Soal Pasal Karet dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran

10 Juni 2024   22:06 Diperbarui: 13 Juni 2024   09:32 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Pinterest

Sejumlah pasal dalam draf revisi undang-undang penyiaran yang berbedar telah banyak menuai kontroversi terutama dikalangan jurnalis karena dianggap berpotensi mengekang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Adanya larangan penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi yang tertuang dalam pasal 50B ayat 2 menjadi salah satu poin yang paling banyak dirsoroti.

Revisi undang-undang penyiaran sudah dilakukan sejak tahun 2012 untuk mengubah UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi informasi dan masyarakat saat ini. Namun, rancangan revisi undang-undang penyiaran yang diargetkan rampung sebelum 30 September 2024 oleh Komisi I DPR RI menimbulkan banyak polemik dan kekhawatiran. 

Salah satunya terkait dengan adanya larangan penanyangan konten eksklusif jurnalisme investigasi, di mana larangan yang tertuang dalam draf revisi tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers yang secara jelas memberikan jaminan atas kerja dan karya jurnlistik. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 50B ayat 2 poin c di mana dalam Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, menunjukkan secara nyata adanya pembatasan terhadap kerja-kerja jurnalistik dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan informasi yang relevan dan mendalam kepada masyarakat.

Disebutkan dalam situs UNESO, bahwa yang disebut dengan jurnalisme investigasi itu adalah pengungkapan berbagai hal yang disembunyikan, baik secara sengaja ataupun tidak, oleh orang yang memiliki kuasa. Dalam praktiknya, jurnalisme investigasi dilakukan untuk mengunkap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mana berhubungan erat dengan kepentingan banyak orang. 

Dengan adanya larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik investigasi memberikan garis batasan kepada para jurnalis untuk memberikan informasi yang objektif, mengungkap ketidakberesan secara transparan kepada masyarakat. Sehingga hal tersebut tidak saja membatasi ruang kerja jurnalistik, tetapi juga turut membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi yang berkualitas, kritis, dan tidak monoton.

Larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik investigasi secara terang-terangan menekan dan mengancam peran jurnalis dalam menjaga akuntabilitas publik dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Larangan ini bukan saja menempatkan batasan pada kebebasan pers, melainkan juga menghambat kemampuan media untuk menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. 

Sejumlah pasal karet yang tercantum dalam RUU Penyiaran berpotensi membatasi dan bahkan membungkam kebebasan pers, ini merupakan sebuah langkah mundur yang dapat menodai semangat demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pembatasan-pembatasan yang tercantum dalam RUU Penyiaran tersebut dapat menimbulkan ketakutan dan penindasan terhadap jurnalis, sementara masyarakat membutuhkan media yang bebas dan independen untuk menyampaikan informasi secara jujur dan transparan kepada publik.

Pers menjadi salah satu pilar dalam membangun dan memlihara demokrasi, berperan sebagai pengawas pemerintah melalui pemberian informasi independen dan kritis kepada publik terkait dengan tindakan dan kebijakan dari pemerintah. Namun, larangan yang tertuang dalam draf revisi undang-undang penyiaran berpontensi membatasi akses jurnalis terhadap transparansi dan pengawasan dalam pemerintah. 

Dengan adanya larangan tersebut, menciptakan keterbatasan ruang gerak jurnalis untuk menyampaikan informasi dan mengungkap adanya dugaan pelanggaran dalam pemerintah, hal ini tentu saja merupakan ancaman bagi kebebasan pers dan berpotensi untuk mengurangi peranan pers sebagai penjaga transparansi dan pengawas jalannya pemerintahan yang pada gilirannya turut mengancam fondasi demokrasi negara. Dampaknya juga akan dirasakan oleh masyarakat yang kehilangan akses terhadap informasi yang penting untuk diketahui terkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemerintah sehingga partisipasi politik masyarakat menurun dan sulit untuk menilai kinerja dari para penyelenggara pemerintahan.

Dalam revisi undang-undang penyiaran terdapat perluasan definisi penyiaran dengan memasukkan platform digital sehingga konsekuensinya RUU ini dapat mengatur platform digital penyiaran, dengan demikian aturan bagi platform digital penyiaran seperti layanan over the top (OTT) atau tv streaming menjadi lebih ketat. Adanya aturan yang mewajibkan penyelenggara platform digital untuk melakukan verifikasi konten siaran yang mana setiap konten yang akan diunggah di ruang digital harus mendapatkan perizinan dari KPI terlebih dahulu. 

Ini menunjukkan adanya upaya dari pemeritah untuk memperluas ruangan intervensinya dalam mengatur dan mengawasi konten yang disiarkan dan berpotensi untuk menekan suara-suara kritis yang berlawanan dengan kepentingan pemerintah. Sebuah ancaman nyata bagi kebebasan berekspresi dari negara demokratis yang seharusnya dapat menjamin hak setiap warga masyarakat untuk menyampaikan pendapat, ide, dan pandangan yang diyakini tanpa takut akan adanya penekanan atau hukuman. Sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, pemerintah sudah sepatutnya memberikan keleluasaan dalam kebebasan berekspresi sebagai hak asasi setiap individu. Langkah yang baru-baru ini diambil pemerintah melalui revisi undang-undang penyiaran sebaliknya menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan dapat mengancam kebebasan berekspresi dalam ruang digital.

Revisi undang-undang penyiaran yang dilakukan demi menjaga relevansinya di tengah perkembangan teknologi informasi dan masyarakat saat ini pada kenyataannya justru menjadi sebuah ancaman bagi kebebasan pers dan kebebasan bereksrepsi. Sejumlah peraturan dan larangan dalam revisi undang-undang tersebut secara nyata memberikan garis-garis batasan kepada insan pers dalam menjalankan tugas dan peranannya serta menekan kebebasan berekspresi publik di ruang digital.  

Konsekuensinya turut dirasakan oleh masyarakat yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang beragam. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali terkait dengan aturan-aturan dan larangan-larangan dalam revisi undang-undang penyiaran tersebut sehingga menjadi sebuah regulasi yang proporsional tanpa mengancam dan merugikan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun