Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI telah menjadi luka lama yang menganga dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1965, Indonesia diguncang oleh penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angakata Darat. Pemerintah Orde Baru, yang kemudian dipimpin oleh Soeharto, menuduh PKI sebagai dalang utama di balik gerakan ini. Dari perspektif sosiologi komunikasi menawarkan sudut pandang yang tajam untuk memahamai kompleksitas peristiwa ini, dengan menitikberatkan pada bagaimana komunikasi, propaganda, dan media memainkan peran penting dalam shaping narasi dan ingatan kolektif masyarakat.
Pasca G30S PKI, pemerintah Orde Baru melancarkan operasi propaganda besar- besaran untuk mendelegitimasi PKI dan mengukuhkan kekuasaannya. Media massa, termasuk radio, televisi, dan surat kabar menjadi alat utama penyebaran propaganda ini. Konten propaganda yang disebarkan pemerintah mencakup berbagai narasi yang menggambarkan PKI sebagai organisasi yang kejam, tidak berperikamusiaan, dan anti Pancasila. Pemerintah menciptakan dan menyebarkan cerita tentang kekejaman PKI, termasuk cerita-cerita yang mengerikan tentang penyikasaan yang dilakukan terhadap para jendral.
Film “Pengkhiantan G30S PKI” yang diwajibkan untuk ditonton oleh pelajar dan masyarakat umum setiap tanggal 30 September, merupakan salah satu alat propaganda yang paling efektif. Film ini menampilkan adegan-adegan dramatis dan seringkali berlebihan untuk menekankan kebrutalan PKI. Media massa menjadi alat utama dalam kampanye propaganda pemerintah. Surat kabar, radio, dan televisi dikooptasi untuk menyebarluaskan pesan-pesan rezim. Media massa yang tidak sejalan dengan pemerintahan dibungkam atau diambil alih. Dengan demikian, pemerintahan menciptakan monopoli informasi yang memastikan bahwa hanya narasi resmi yang sampai ke telinga masyarakat.
Masyarakat Indonesia pada masa itu hidup dalam situasi politik yang penuh dengan ketakutan dan represi. Aparat keamanan Orde Baru mengawasi setiap pergerakan dan aktivitas masyarakat dengan ketat. Propaganda pemerintahan yang gencar dan represif ini membuat banyak masyarakat menerima narasi yang disampaikan pemerintahan tanpa kritis. Rasa takut terhadap komunis dan bahaya yang ditimbulkannya membuat mereka enggan untuk mempertanyakan versi resmi peristiwa G30S PKI. Namun, ditengah dominasi narasi pemerintah, terdapat pula suara-suara yang mencoba untuk resisten. Beberapa media massa dan aktivis mencoba untuk menyampaikan versi alternatif dari peristiwa G30S PKI, namun mereka seringkali mendapatkan tekanan dan intimidasi dari pemerintah.
Propaganda pemerintah juga berhasil menciptakan stigmatisasi terhadap anggota PKI dan keluarganya. Mereka yang dicurigai terlibat atau bersimpati terhadap PKI sering kali menghadapai diskriminasi di berbagai bidang kehidupan. Stigma ini bertahan lama, bahkan setelah rezim Orde Baru berakhir, menunjukkan betapa kuatnya efek propaganda terhadap struktur sosial. Narasi yang disebarkan pemerintah telah meninggalkan luka lama dan trauma kolektif yang masih terasa hingga saat ini. Peristiwa G30S PKI masih menjadi isu yang sensitif dan kontroversial di Indonesia. Perbedaan versi dan interpretasi tentang peristiwa ini masih terus diperdebatkan, dan hal ini seringkali memicu ketegangan dan perpecahan di Indonesia.
Sosiologi komunikasi, masyarakat, dan media memainkan peran penting dalam memahami G30S PKI dan kompleksitasnya. Perspektif sosiologi komunikasi membantu kita untu membongkar relasi kuasa dan konstruksi narasi yang digunakan untuk memanipulasi opini publik. Masyarakat dengan rasa keingintahuan dan pencarian kebenaran, mendorong untuk menggali lebih dalam peristiwa ini dan membuka ruang dialog untuk berbagai sudut pandang. Media massa dengan potensi untuk menyampaikan informasi secara objektif dan kritis, memiliki peran penting dalam membantu masyarakat memahami G30S PKI secara lebih komprehensif.
Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak upaya yang dilakukan untuk menggali kebenaran tentang G30S PKI dan menghadirkan perspektif yang lebih objektif. Penelitian akademis, penerbitan buku, dan dokumenter yang mencoba memberikan gambaran lebih lengkap tentang peristiwa tersebut mulai bermunculan. Hal ini merupakan bagian dari upaya rekonsiliasi dan pencarian kebenaran yang bertujuan untuk menyembuhkan luka sosial yang ditingalkan oleh peristiwa tersebut dan propaganda yang mengikutinya. Meskipun telah ada banyak kemajuan dalam membuka ruang bagi berbagai perspektif tentang G30S PKI, masih ada tantang yang perlu diatasi.
Salah satu tantangan terbesar adalah penyebaran disinformasi dan berita palsu. Media sosial meskipun menyediakan platform untuk diskusi, juga dapat menjadi tempat berkembangnya informasi yang tidak akurat atau sengaja menyesatkan. Harapan terbesar adalah tercapainya rekonsiliasi dan pemahaman yang lebih mendalam tentang peristiwa G30S PKI. Dengan terus mendorong diskusi yang terbuka dan berbasis bukti, kita dapat membantu masyarakat untuk memahami sejarah secara lebih komprehensif dan mengatasi luka-luka masa lalu. Menuju pemahaman yang lebih komprehensif tentang G30S PKI, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk akademisi, jurnalis, aktivis, dan masyarakat luas. Dialog terbuka dan kritis, serta akses yang terbuka terhadap informasi yang kredibel, menjadi kunci untuk mencapai rekonsiliasi dan membangun masa depan yang lebih harmonis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H