Mohon tunggu...
Anisa Ika Putri
Anisa Ika Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Bisnis Kuliner di Masa Pandemi Covid-19, Omzet dan Penerapan Prokes

1 Juli 2021   21:14 Diperbarui: 1 Juli 2021   21:23 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kota Wuhan, China merupakan kota yang pertama kali terjangkit kasus virus Corona pada akhir Desember 2019, dan virus Corona ini sangat cepat menular hampir ke semua negara di dunia. Kasus virus Corona di Indonesia sendiri hingga saat ini sudah banyak orang yang positif terjangkit virus ini bahkan juga mencapai kematian dengan jumlah yang banyak. 

Bersumber dari laman covid19.go.id bahwa data sebaran covid-19 per 29 Juni 2021 yang positif terjangkit virus sebanyak 2.156.465. dan yang sembuh sebanyak 1.869.606, dan yang meninggal sebanyak 58.024. 

Dalam penanganan kasus ini, berbagai negara telah menerapkan kebijakan-kebijakan guna memutus rantai penyebaran virus Corona, seperti diadakannya kebijakan social distancing bahkan hingga kebijakan lockdown. Di Indonesia pun Pemerintahan telah mengeluarkan kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dalam kebijakan tersebut, masyarakat dihimbau untuk melakukan aktivitas dirumah saja (stay at home) dan diperbolehkan kelur rumah ketika dalam keadaan mendesak dan tentunya tetap menerapkan protokol kesehatan.

Dampak dari adanya covid-19 ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan masayarakat, selain berpengaruh di bidang kesehatan covid-19 juga berdampak pada bidang ekonomi. 

Menurut Sihaloho (2020) dampak negatif yang sangat besar sudah dapat dilihat dari sisi industri di Indonesia. Per 7 April 2020, Kemenaker mencatat sudah ada 1,4 juta lebih pekerja di seluruh Indonesia yang terkena dampak langsung wabah covid19 atau corona. Terdapat 41.876 perusahaan sektor formal yang merumahkan atau mem-PHK tenaga kerjanya sebanyak 1.052.216 orang dan terdapat 36.298 perusahaan sektor informal yang merumahkan atau mem-PHK tenaga kerjanya sebanyak 374.851 orang.

Industri kuliner merupakan salah satu dari sektor perekonomian yang terdampak serius dari adanya pandemi covid-19. Tidak sedikit pebisnis kuliner yang mengharuskan menutup usahanya bahkan hingga terkena kebangkrutan. 

Santia (2020) menyatakan bahwa startup penyedia layanan kasir digital untuk lebih dari 30 ribu merchant di Indonesia, Moka, menyatakan bahwa industri makanan dan minuman (food and beverage/F&B) menjadi Industri yang paling terdampak oleh virus corona. Disusul industri jasa dan ritel. Dari 17 kota yang diobservasi, sebanyak 13 kota mengalami penurunan pendapatan harian yang signifikan akibat Covid-19. 

Sedangkan Burhan (2020) menyatakan sektor kuliner mengalami penurunan pendapatan harian mencapai 37%, sektor ritel fashion turun 35%, sedangkan layanan kecantikan anjlok 43%.

Bismala dan Handayani (2014) mengatakan, UMKM berperan sebagai pondasi perekonomian Indonesia, yang mempengaruhi roda perekonomian. Karena itu keberadaan UMKM harus disokong oleh beragam program yang bertujuan untuk mengembangkannya, baik dari pemerintah maupun sektor swasta.

Bisnis kuliner merupakan sebuah usaha dalam memproduksi makanan (lauk-pauk, makanan pokok atau minuman) yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. 

Jenis usaha ini akan terus laris dan menguntungkan, karena makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Namun pada kasus pandemi covid-19 bisnis kuliner menjadi usaha yang terancam dan memiliki tantangan tersendiri. Terdapat faktor internal dan faktor eksternal dalalm bisnis kuliner di masa pandemi. 

Faktor-faktor internal sebagai kekuatan untuk bisnis kuliner sendiri yaitu harus dan sudah menerapkan protokol kesehatan guna keselamatan para konsumen dan karyawan. Sistem dalam bisnis kuliner pun diubah menjadi penerapan penjualan secara take away maupun delivery order, beralih ke penjualan online serta transaksi secara non tunai.

Terdapat faktor-faktor internal sebagai kelemahan yaitu seperti pengeluaran biaya tambahan untuk penerapan protokol kesehatan, lebih berfikir untuk bertahan hidup daripada mengejar pendapatan, mengalami penurunan dalam penjualan secara signifikan, lebih fokus kepada peralihan penjualan secara online, adanya pengurangan jumlah karyawan, serta beralih ke work from home atau bekerja dirumah guna mengurangi biaya sewa tempat.

Kemudian terkait dengan faktor-faktor eksternal sebagai peluang dalam bisnis kuliner di masa pandemi, yaitu konsumen lebih memilih dalam pembelian makanan yang dapat di take away, munculnya inovasi baru dalam penjualan makanan dalam bentuk frozen food dengan kemasan yang higenis, sehingga pebisnis kuliner masih dapat menjalin hubungan yang baik dengan pelanggan. Terakhir faktor-faktor eksternl yang menjadi sebuah ancaman bagi bisnis kuliner di masa pandemi, yaitu situasi pandemi yang diperkirakan akan berlangsung lama yang berdampak pada kurang adanya pelanggan, adanya penurunan daya beli konsumen, lalu adanya persaingan usaha yang sejenis.

Terdapat cerita pasang surut bisnis kuliner dalam menghadapi pandemi covid-19 yang dilansir oleh liputan6.com, sebagai berikut:

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kuliner Indonesia (APKULINDO), Bedi Zubaedi mengatakan bahwa pandemi Covid-19 saat ini merupakan krisis yang terparah dari berbagai krisis yang pernah terjadi sebelumnya.

"Situasi seperti saat ini membuat tatanan ekonomi dan kehidupan menjadi porak poranda. Saya mengalami berbagai krisis, dari krisis global, ekonomi, dan saat ini adalah yang sangat parah selama saya hidup. Yang paling parah adalah tidak boleh bertemu dan berkumpul sehingga itulah yang membuat pebisnis kuliner anjlok," ujar Bedi Zubaedi, Ketua Umum APKULINDO dalam webinar ShopeePayTalk vol.3 (16/12/2020).

Bedi Zubaedi mengatakan bahwa tantangan yang dirasakan saat pandemi ini hanya satu yakni pengurangan karyawan.

"Kita itu sekarang bingung dan dilema. Niatnya tidak mau kurangi karyawan, tapi kalau begitu omzet kita nungging.Kita tidak mau kurangi tapi memang kita tidak bisa operation. Ibaratnya kalau sekarang naik motor itu kita jatuh tidak pakai helm. Tidak terbayang seperti apa rasanya," ujar Bedi.

Rifqi Mohammad sebagai CEO & Founder NoMi-NoMi Delight mengatakan bahwa untuk menghadapi krisis seperti ini, tidak perlu pesimis karena justru akan lebih terpuruk.

"Restoran sempat tutup total saat awal pandemi karena ada PSBB juga. Tapi kami putar otak dan muncullah menu ramen dalam bentuk frozen food yang kami buat. Karena dengan membuat frozen food, justru penjualan kami semakin melebar hingga seluruh Indonesia. Jadi semua orang tinggal pesan, lalu dikirim dan dapat dimasak di rumah masing-masing. NoMi-NoMi Delight juga membuka peluang bagi para re-seller yang mau turut menjualkan produk kita sehingga akan membantu kami dalam hal meningkatkan pendapatan," ujar Rifqi, CEO & Founder NoMi-NoMi Delight.

DAFTAR PUSTAKA

Ezizwita, Tri Sukma. 2021. Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Bisnis Kuliner dan Strategi Beradaptasi di Era New Normal. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Dharma Andalas. Vol. 23. No. 1.

Sihaloho, Estro Dariatno. 2020. Dampak Covid-19 Terhadap Perekonomian Indonesia. . (Diakses tanggal 30 Juni 2021)

Santia, Tira. 2020. Industri Makanan dan Minuman Paling Terdampak Virus Corona. Industri Makanan dan Minuman Paling Terdampak Virus Corona - Bisnis Liputan6.com. (Diakses tanggal 30 Juni 2021)

Bismala, Lila dan Handayani, Susi. 2014. Model Manajemen UMKM Berbasis Analisis SWOT. Prosiding Seminar Nasional PB3I ITM 2014.

Yupita, Helena. 2020. Cerita Pasang Surut Bisnis Kuliner Hadap Pandemi Covid-19. . (Diakses tanggal 30 Juni 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun