Mohon tunggu...
anisahshintyaayup14
anisahshintyaayup14 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Sistem Sanksi Dalam Hukum Islam Beserta Sistem Peradilan Islam Di Indonesia

18 Desember 2024   14:35 Diperbarui: 18 Desember 2024   17:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENERAPAN SISTEM SANKSI DALAM HUKUM ISLAM BESERTA SISTEM PERADILAN ISLAM DI INDONESIA DAN KAITANYA DENGAN TINDAK PIDANA

Penerapan System Sanksi Dalam Hukum Islam di Indonesia Beserta Kaitanya Dengan Tindak Pidana Islam mencakup berbagai pengetahuan, termasuk hukum dan sistem peradilannya. Ini disajikan sedemikian rupa sehingga tidak memberikan dasar bagi sistem hukum lain untuk digunakan dalam pendidikan Islam. Nabi Muhammad SAW telah memberikan landasan yang kuat bagi kemanusiaan dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan sehari-hari dengan menjunjung tinggi hukum dan prinsip Islam. Islam memiliki hubungan yang kuat dengan realitas sosial, oleh karena itu perlu memiliki Lembaga peradilan yang dikenal sebagai al-Qadha. Fungsi al-Qadha' adalah Lembaga untuk menangani isu-isu yang muncul dalam masyarakat, terutama berkaitan dengan perilaku manusia yang secara konsisten fokus pada materialisme dan kebutuhan pribadi. Karena salah satu agama dari mayoritas rakyat Republik Indonesia mempunyai keterkaitan erat dengan hukum, maka perlu mempertimbangkan secara cermat bagaimana hukum nasional akan dikembangkan untuk bisa berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang keyakinan agama terhadap hukum tersebut. Sebagai contoh, agama Islam memiliki aturan yang mengatur bagaimana orang berinteraksi satu sama lain dan dengan benda-benda dalam masyarakat.

Dalam arti yang sempit, Islam adalah agama yang sangat terikat dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, komponen hukum Islam harus dipertimbangkan dengan seksama saat mengembangkan hukum nasional di negara seperti Indonesia, di mana mayoritas penduduknya adalah Muslim. Inilah sebabnya diperlukannya pemahaman yang jelas dan kebijakan yang bijaksana sangat penting. Di Indonesia, hukum Islam diterapkan dalam dua bentuk yaitu normatif dan formal yuridis. Hukum Islam yang berlaku secara normatif merupakan bagian dari hukum Islam yang sanksinya bergantung pada kesadaran masyarakat. Penegakannya ditentukan oleh sejauh mana umat Islam memahami dan mematuhi norma-norma tersebut, contohnya meliputi praktik ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Norma ini juga mencakup kesadaran akan halal dan haram yang menjadi pengendali moral dalam mencegah tindakan melanggar seperti zina, pencurian, dan riba. Pelaksanaan hukum normatif ini sepenuhnya bergantung pada iman dan kesadaran individu masing-masing muslim. Sementara itu, Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis adalah aturan yang mengatur hubungan antarindividu atau antara individu dan benda yang telah dijadikan hukum positif melalui peraturan perundang-undangan. Contoh termasuk hukum perkawinan, kewarisan, wakaf, dan zakat yang telah dikodifikasi. Hal ini dilakukan oleh lembaga resmi, seperti Pengadilan Agama, yang telah ada sejak tahun 1882 di Jawa dan Madura. Peradilan agama semakin kuat setelah diterbitkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang disahkan pada 29 Desember 1989. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menjadi penegak atau pelaksana hukum di masyarakat Islam Indonesia perlu memahami hukum Islam dan mekanisme penegakannya agar dapat menjalankan tugas dengan efektif di tengah masyarakat muslim.

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial membutuhkan interaksi untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Agar hubungan antar manusia berjalan tertib dan aman, diperlukan aturan yang disebut norma. Norma adalah aturan yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, terdiri atas:

1.Norma agama yaitu aturan yang bersumber dari Tuhan, berlaku universal.

2.Norma kesusilaan yaitu aturan bersumber dari hati nurani, berlaku secara universal.

3.Norma kesopanan yaitu aturan bersumber dari adat istiadat, berlaku lokal.

4.Norma hukum yaitu aturan bersumber dari negara, berlaku mengikat.

Tiga norma pertama dianggap kurang efektif karena sanksinya tidak langsung dirasakan pelaku, seperti sanksi agama yang berlaku di akhirat, kesusilaan yang hanya menimbulkan rasa bersalah, dan kesopanan yang terbatas pada pengucilan. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan norma hukum dengan sanksi tegas dan mengikat, seperti hukum pidana, untuk menciptakan ketertiban dan memberikan efek jera bagi pelanggar. Menurut C.S.T. Kansil, Hukum Pidana adalah suatu aturan tentang pemeliharaan dan kejahatan terhadap kepentingan umum, dengan memberikan sanksi, berupa penderitaan atau hukuman. Keistimewaan hukum pidana adalah adanya hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, meliputi:

1.Pidana pokok yang terdiri dari : Pidana mati, Penjara (seumur hidup atau waktu tertentu), Kurungan, Denda, Tutupan

2.Pidana tambahan yaitu berupa Pencabutan hak tertentu, Perampasan barang tertentu , Pengumuman putusan hakim

Tujuan pemidanaan didasarkan pada tiga teori yaitu

-Teori absolut atau mutlak yaitu Hukuman diberikan sebagai pembalasan atas kejahatan.

-Teori relatif atau tujuan yaitu Hukuman bertujuan memberi manfaat dan mencegah kejahatan.

-Teori gabungan yaitu Menggabungkan antara unsur pembalasan dan tujuan penghukuman.

Untuk Indonesia menganut teori gabungan diantara teori tersebut dengan tujuan pemidanaan berupa pembinaan pelaku. Berdasarkan asas legalitas pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP, Hukum Pidana berfungsi menjaga ketertiban umum. Meski telah banyak peraturan dibuat, tingkat kejahatan di Indonesia masih tinggi, seperti terlihat dalam pemberitaan media massa setiap harinya. Dalam hukum Islam, pelaksanaan sanksi diberikan oleh Allah melalui khalifah dan para qadhi (hakim), ditujukan untuk:

1.Jawazir yaitu Mencegah pelaku mengulangi kejahatannya, terutama melalui hukuman berat guna memberikan efek jera kepada masyarakat dengan pelaksanaan sanksi secara terbuka, agar mereka berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan kejahatan.

2.Jawabir penebusan dosa adalah aspek akhirat, yaitu hukuman dijatuhkan di dunia sebagai upaya yang dapat menggugurkan dosa pelaku dan sebagai upaya mencegah pelaku dari siksa di akhirat.

Penerapan sistem sanksi dalam Hukum Islam di Indonesia bersifat selektif dan kontekstual karena Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bukan negara berbasis hukum Islam secara keseluruhan. Namun, beberapa prinsip hukum Islam diakomodasi dalam hukum nasional melalui undang-undang, peraturan daerah, dan praktik peradilan. Berikut dibahas mengenai sanksi dalam hukum Islam dan kaitannya dengan tindak pidana di Indonesia. Dalam hukum Islam, sanksi atau hukuman dikelompokkan ke dalam beberapa kategori berdasarkan jenis pelanggaran dan tingkatannya. Berikut adalah penjelasan mengenai empat jenis sanksi dalam hukum Islam:

1.Hudud Hukum ini ditetapkan oleh syariat, yaitu hukuman yang telah ditentukan secara jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis untuk pelanggaran tertentu. Contoh apabila melakukan Tindakan mencuri maka pelaku pencurian akan menerima Hukuman potong tangan jika barang yang dicuri mencapai nishab tertentu.

2.Jinayat dalah pelanggaran terhadap tubuh, nyawa, atau harta orang lain. Pelanggaran terhadap jinayat yang terjadi misalnya Pembunuhan disengaja, mirip disengaja, atau tidak disengaja, Luka-luka berat yang termasuk dalam kualifikasi tertentu dan harus dikompensasikan sesuai tingkat kerugiannya.

3.Ta'zir Ta'zir adalah satu bentuk sanksi yang tidak ditentukan secara spesifik oleh syariat melainkan diserahkan kepada wewenang hakim atau penguasa. Hukuman ini diterapkan terhadap pelanggaran yang tidak memenuhi syarat hudud ataupun jinayat. Bentuk hukuman ta'zir dapat berupa Hukuman mati untuk pelanggaran serius seperti subversi, Cambuk, penjara, atau pengasingan, Pemboikotan sosial atau publikasi pelanggaran, Penghancuran atau penyitaan harta benda, Hukuman moral seperti celaan atau peringatan.

4.Mukhalafat Mukhalafat adalah sanksi administratif yang diberikan untuk pelanggaran ringan terhadap aturan-aturan tertentu. Berupa Teguran, Denda, Hukum lain yang ditetapkan oleh otoritas Islam untuk menjaga masyarakat tetap teratur.

Keempat jenis sanksi ini menunjukkan bahwa Hukum Islam menekankan aspek keadilan, pencegahan, dan rehabilitasi sekaligus menegaskan pentingnya menjaga ketertiban sosial sesuai dengan nilai-nilai syariat. Sistem hukum Islam memengaruhi hukum pidana di Indonesia dalam beberapa aspek:

a.Norma Moralitas misalnya yang terdapat pada pasal dalam KUHP, yang mana hal tersebut juga diambil dari nilai-nilai agama, termasuk Islam, seperti larangan perjudian, perzinaan, dan konsumsi alkohol.

b.Prinsip Keadilan yaitu Prinsip hukum Islam yang menekankan keadilan, dan kompensasi diterapkan dalam beberapa ketentuan pidana seperti alternatif pengampunan bagi pelaku pembunuhan oleh keluarga korban.

c.Peraturan Khusus misalnya pada daerah Aceh sebagai daerah istimewa diberi kewenangan menerapkan hukum Islam lebih luas, termasuk hukuman cambuk dan hukum jinayat.

d.Integrasi Hukum yaitu Hukum pidana nasional mengadopsi unsur-unsur hukum Islam melalui jalur hukum adat atau aturan daerah, tanpa menyalahi konstitusi.

Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia menunjukkan keluwesan dan penyesuaian terhadap sistem hukum nasional sehingga bisa harmonis dengan prinsip negara hukum Pancasila.

SISTEM PERADILAN ISLAM DI INDONESIA

Di negara Islam, atau negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam di dunia ini asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan dengan peradilan agama di Indonesia. Hal itu disebabkan karena hukum Islam itu tetap satu dan dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk satu bangsa atau suatu negara tertentu saja. Peradilan Agama merupakan salah satu di antara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia. Adapun Tiga lembaga peradilan negara lainnya selain Peradilan Agama adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Agama hanya berwewenang dibidang perdata tertentu saja, serta tidak mencakup seluruh perdata Islam, tidak termasuk bidang pidana. Peradilan Islam di Indonesia merupakan peradilan yang mencakup berbagai jenis perkara yang menurut Islam itu secara universal.

Peradilan Agama disamping peradilan khusus di Indonesia, juga pemakaiannya khusus untuk Peradilan Agama di Indonesia, sedang Peradilan Islam sifatnya lebih umum dan lebih universal mencakup peradilan negara-negara Islam atau regara yang mayoritas Islam.

Maka dari itu, peradilan dapat diidentifikasi sebagai pranata sosial. Dalam kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal balik, bahkan saling tergantung (interdependency) dengan pranata hukum lainnya seperti perangkat hukum (tertulis dan tidak tertulis), sistem hukuman, politik hukum, dan nilai-nilai hukum; bahkan berhubungan dengan penyuluhan hukum dan pendidikan hukum.

Hal itu tercermin dalam Tap MPR Nomor II Tahun 1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN, terutama mengenai Pembangunan Bidang Hukum, yang mencakup secara garis besar pada materi hukum, aparatur hukum, dan sarana serta prasarana hukum. Pembangunan di bidang hukum itu merupakan bagian dari Pembangunan Nasional, yang mencakup bidang kehidupan masyarakat bangsa yang berhubungan secara timbal balik.

Dalam ketentuan pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 di jelaskan bahwa "hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat". Hukum bergantung pada apa yang terjadi dengan kondisi-kondisi kekuasaan dan kewenangan politik. Keadaan itu sendiri bergantung pada jalan masing-masing kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi.

Dengan menggunakan pandangan tersebut, proses pembentukan undang-undang sebagai penyelesaian konflik di kalangan berbagai kekuatan politik, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dapat dipahami dan dijelaskan. Salah satu yaitu didalam pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan, perkembangan peradilan, dan hukum pada umumnya bergantung kepada pranata politik yang berbasis pada struktur sosial, pola budaya, dan perkembangan ekonomi.

Demikian halnya proses peradilan merupakan suatu mekanisme yang bersifat aktual dalam mewujudkan penegakan hukum dan keadilan yang mengacu kepada nilai-nilai yang dianut oleh Masyarakat atau dengan kata lain, peradilan sebagai pranata sosial tidak berdiri dan bekerja secara otonom melainkan berada dalam proses pertukaran dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, pertumbuhan dan perkembangan peradilan bergantung pada kemampuan masyarakat untuk melakukan artikulasi politik dalam mengalokasikan dan merumuskan nilai-nilai budaya yang dianutnya ke dalam pranata hukum yang menjadi kebutuhan mereka. Dalam kehidupan masyarakat, mulai dari komunitas kecil yang sederhana sampai dengan pergaulan antar bangsa. Oleh sebab itu, tatanan hukumnya juga bersifat majemuk.

Dalam penataan hubungan di antara anggota masyarakat manusia itu diperlukan patokan tingkah laku yang disepakati bersama, yang bersumber kepada nilai-nilai budaya yang dipatuhi dan mengikat kepada semua pihak. Hukum atau nilai-nilai yang berlaku di masyahrakat berfungsi sebagai pengendali masyarakat untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman. Karena setiap orang atau kelompok memiliki kepribadian, tradisi, kemampuan, profesinya, kepentingan, dan patokan tingkah laku yang beraneka ragam, maka hal itu dapat menjadi sumber perselishan, pertentangan, persengketaan diantara mereka. Di samping itu, pertentangan antar kelompok baik secara fisik maupun secara politis tidak dapat dihindarkan. Keadaan yang demikian itu tidak dapat dibiarkan terus berlanjut, karena akan mengganggu ketertiban bersama dan menimbulkan ketidaktenteraman masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengendali kehidupan Masyarakat atau Lembaga yang berwenang yang berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan, persengketaan, dan bentuk-bentuk pertentangan lainnya sehingga hukum dapat ditegakkan serta keadilan dapat diperoleh Atau ketertiban dapat diwujudkan dalam kehidupan bersama dan memperoleh ketentraman.

 Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat berbagai cara dan proses dalam penyelesaian perselisihan dan persengketaan tersebut. Cara pertama dilakukan oleh kedua belah pihak dengan menggunakan jasa pihak ketiga sebagai perantara atau juru damai. Cara kedua dilakukan secara paksa kepada kedua belah pihak oleh kekuasaan masyarakat atau kekuasaan negara sebagai salah satu pilar penegak hukum. Cara ketiga, selanjutnya menjadi pranata mediasi atau perdamaian, dengan menggunakan jasa pihak ketiga sebagai mediator atau juru damai. Dalam perkara perdata, hakim pun bertindak sebagai juru damai di antara kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketa.

Mediasi merupakan salah satu bentuk cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan dari para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator yang bersertifikasi. Sesuai dengan yang dijelaskan didalam Peraturan Mentri No 1 tahun 2008 bahwa setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat atau berpengalaman mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga resmi yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Sedangkan masyarakat Islam dapat diberi batasan awal, yaitu mulai dari masa tugas kerasulan Nabi Muhammad Saw pada periode Madinah (622-632 M). Pada masa itu mulai dilakukan penataan kehidupan Masyarakat yang sejalan dengan turunya wahyu yang berisikan pengaturan kehidupan manusia selain peribadatan, shalat, puasa dan haji yaitu pengaturan keluarga, pengaturan mengenai harta, pengaturan tata kelola pemerintahan, pengaturan peradilan, dan pengaturan hubungan antar pemeluk agama dan antar manusia. Pengaturan bagai pranata sosial itu mengacu kepada wahyu yang diterima oleh Rasulullah Saw. Pada masa kekhalifahan Usman bin Affan hal tersebut dibukukan dalam suatu mushaf al-Qur`an yang selanjutnya, pengaturan pranata tersebut dalam kalangan para ahli hukum dan fiqh di Indonesia dikenal sebagai Hukum Islam. Keanggotaan dalam keluarga berkaitan dengan keanggotaan dalam masyarakat, sebagai sebuah sistem sosial yang besar, menurut tatanan persaudaraan seagama.

Oleh karena itu, penataan keluarga mendapat perhatian khusus dan rinci dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasul, seperti perkawinan dan kewarisan bahkan dalam urusan pidana pun terkait otoritas keluarga Kedua kelompok itu berasal komunitas yang berbeda dan memiliki tradisi masing-masing. Ikatan di antara kedua kelompok menjadikan satuan masyarakat yang didasarkan kepada kesamaan iman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun