Sebelum memasuki pembahasan mengenai budaya popular dan kaitannya dengan pandemi, tentu kita perlu terlebih dahulu memahami tentang budaya popular.
Sulit untuk membuat defnisi pasti mengenai budaya popular, namun menurut Raymond Williams terdapat empat makna utama dalam budaya popular, yaitu (1) karya yang didedikasikan untuk memenangkan hati banyak orang, (2) budaya yang dibuat masyarakat untuk mereka sendiri (3) budaya inferior (4) disukai banyak orang.
Sementara itu tokoh mazhab Frankfurt, Walter Benyamin mengemukakan konsep “ïndustri budaya” dimana budaya populer dianggap sebagai reproduski mekanis budaya yang disebarluaskan melalui media cetak dan elektronik.
Dalam era pascamodern, budaya populer mengalami kenaikan status dan penampilan yang dipercepat oleh kemunculan media elektronik. Hal ini masih relevan hingga saat ini dimana budaya populer mengalami percepatan seiring dengan percepatan arus globalisasi akibat perkembangan teknologi digital, terutama dalam kurun waktu setahun terakhir ketika hampi segala kegiatan dialihkan dalam platform digital akibat adanya pandemi.
Budaya populer sebagai industri menghasilkan produk yang tersebar dalam berbagai bentuk, salah satu yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari adalah musik. Terdapat beberapa perspektif untuk menjelaskan musik sebagai produk budaya populer, namun penulis akan fokus pada perspektif Theodor Adorno sebagai pengamat musik dan tokoh cultural studies. Selain Adorno, penulis akan sedikit membahas perspektif Peterson mengenai produksi budaya populer
Kemunculan virus Covid-19 sempat menimbulkan kepanikan masyarakat dari berbagai belahan dunia, pasalnya virus ini tergolong baru dan cukup mematikan. Minimnya informasi dan cepatnya penularan virus dalam waktu singkat memenuhi rumah sakit, menjatuhkan korban dalam jumlah yang tidak sedikit.
Hal ini memaksa otoritas berwenang untuk memasang jaring pengaman guna mencegah penyebaran, meminimalisir jumlah korban dan mencegah efek jangka panjang yang mengikutinya sampai ditemukannya obat dan vaksin yang memadai.
Pada awal tahun 2020 WHO sebagai lembaga otoritas kesehatan dunia menghimbau diterapkannya kebijakan social distancing yang kemudian dilaksanakan pada tingkat yang berbeda-beda sepanjang tahun tergantung laporan jumlah kasus. Kebijakan ini bertujuan mengurangi kontak fisik yang adalah media penularan virus, artinya ada pengurangan dan penghentian sementara aktivitas sehari-hari di ruang publik, seperti bekerja, berkumpul dan berpergian.
Ruang publik ditutup sementara dan fasilitas publik berhenti beroperasi, kegiatan ekonomi berkurang drastis, kegiatan penting dialihkan dalam platform digital atau dihentikan sama sekali sementara waktu. Kebijakan ini berdampak secara multidimensi, salah satunya dalam perkembangan teknologi digital dimana terdapat layanan dan produk teknologi digital baru yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seiring proses adaptasi terhadap perubahan ini. Dalam bidang budaya sendiri berlakunya kebijakan ini dominannya berdampak pada terhambatnya kegiatan normal budaya secara keseluruhan.
Fasilitas dan ruang budaya ditutup sehingga kegiatan rutin terpaksa dihentikan sementara atau dialihkan kedalam platform digital. Mengalihkan kegiatan ke platform digital pun tidak mudah, diperlukan teknologi yang mapan, penyelenggara dan audiens yang melek teknologi dan system yang sesuai agar dapat mencapai tujuan kegiatan.
Misalnya pada aktivitas museum yang terhenti sementara selama beberapa waktu sampai museum memiliki rangkaian teknologi yang mampu untuk digunakan membuat tour virtual dan menyimpan data-data museum secara digital.
Dalam budaya populer sendiri sempat terjadi penghentian kegiatan sementara pada awal pandemi, namun seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit kegiatan beralih pada platform digital. Meski memang sejak awal sebagian besar kegiatan budaya populer telah berjalan dalam platform digital seperti aplikasi streaming atau media sosial, pandemi setidaknya sedikit mengubah pola industri budaya populer khususnya dalam ranah musik dan film.
Jika menilik perspektif Richard Peterson mengenai produksi budaya seridaknya terdapat 6 variabel yang menentukan produksi kebudayaan, yaitu (1) law and regulation, (2) teknologi, (3) struktur industri itu sendiri, (4) struktur organisasi, (5) market dan (6) occupational career. Pandemi setidaknya berpengaruh pada 2 variabel produksi, yaitu pada law regulation dan teknologi dimana seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat aturan social distancing yang pada akhirnya menghentikan kegiatan seperti event musik dan menutup ruang publik seperti bioskop.
Selain itu produksi musik populer pun berubah, misal dalam pembuatan konten yang memperhatikan aturan social distancing kemudian sistem live vote berubah menjadi digital vote dan produksi konten dikhususkan untuk media digital tertentu, seperti media sosial, aplikasi streaming atau aplikasi fandom.
Sementara itu teknologi berkembang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam adaptasi terhadap perubahan akibat pandemi, dalam budaya populer hal ini berpengaruh pada adaptasi teknologi dalam memenuhi kebutuhan industri budaya populer dimana produk budaya populer akhirnya didistribusikan dan dikonsumsi melalui platform digital.
Dalam ranah musik sendiri aplikasi streaming musik digital sebagai media utama distribusi musik terlihat mengalami kenaikan jumlah pengguna selama masa pandemi, hal ini menguntungkan bagi aplikasi streaming musik baru yang kemudian mengalami kenaikan pesat jumlah pengguna.
Selain aplikasi streaming musik, aplikasi streaming video dan TV digital serta aplikasi meeting online juga mendapatkan keuntungan dari industri musik populer dimana event musik yang sempat ditunda dan dihentikan sementara pada awal masa pandemi kemudian beralih pada platform digital dan disiarkan secara online melalui aplikasi streaming digital misalnya konser “BTS Map of the Soul ON:E” yang disiarkan melalui Youtube dan aplikasi Weverse serta “One World: Together at Home” yang disiarkan melalui berbagai aplikasi streaming TV digital.
Sementara itu beberapa konser menggunakan aplikasi meeting digital bagi fans untuk menciptakan interaksi yang sama seperti konser biasanya, adapula fenomena dimana beberapa fans membeli satu tiket konser online kemudian menonton konser bersama-sama melalui aplikasi meeting online.
Musik nampaknya menjadi salah satu bentuk hiburan yang banyak dinikmati dalam isolasi selama masa pandemi, event musik nampaknya banyak menggunakan tema “terhubung” dan “solidaritas” sebagai bentuk hiburan dan dukungan sosial dalam menghadapi hilangnya kehangatan kontak fisik dan sosial dalam masa pandemi.
Jika menilik perspektif Theodore Adorno, musik dilihat sebagai perekat sosial dimana terdapat fungsi psikososial dan akhirnya tercipta kebiasaan umum darinya, hal ini relevan dimana event musik pada masa pandemi menawarkan persatuan dalam menghadapi pandemi, misalnya dalam event konser Kpop yang rutin digelar setiap tahun kini menggunakan kata “contact” untuk menonjolkan individu dunia yang ‘saling terhubung melalui Kpop’. Adorno juga melihat musik populer sebagai pelarian diri dimana menurutnya individu dalam masyarakat kapitalis menjalani kehidupan yang yang menjemukkan dan tidak bahagia sehingga mendorong pada pelepasan diri namun karena menjemukkan itu pulalah tidak tersisa energi yang cukup untuk melakukan pelepasan diri yang sesungguhnya maka pelepasan dicari dalam bentuk musik populer yang mudah dikonsumsi.
Disini ia menekankan bahwa musik populer menawarkan khayalan dan kebahagiaan, rekonsiliasi dan resolusi dari kenyataan namun pada saat yang sama tidak memberi kepuasan yang mendalam, dapat dikonsumsi tanpa terlalu memberi perhatian dan dapat dinikmati sembari mengerjakan sesuatu yang lain sehingga mendorong konsumsi pasif.
Namun konsumsi pasif ini nyatanya tidak terlalu relevan karena kosumen tidak serta merta mengkonsumsi musik populer secara pasif dan tetap membentuk makna dalam menikmati musik populer sehingga pasar tidak dapat mengontrol selera musik konsumen dan bagaimana musik tersebut digunakan. Misal lagu The Beatles yang bertemakan perpisahan menandai berakhirnya The Beatles digunakan dalam karya individual di media sosial menandai adanya social distancing sekaligus perayaan 50 tahun perpisahan band tersebut.
Nyatanya musik hingga saat ini diciptakan sebagai hiburan dan menawarkan kenyamanan dari kehidupan, merepresentasikan perasaan nyata yang tidak dapat diungkapkan dan kebahagiaan yang terlewat dalam kehidupan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa musik menjadikan konsepsi, nilai, ritual dan pengalaman kehidupan sebagai komoditi yang diromantisasi dengan meminjam bahasa sehari-hari menggunakan permainan suara, visualisasi dan bahasa dalam pertunjukan untuk merepresentasikan perasaan dan kenyataan yang relevan dalam menawarkan kenyamanan.
Contoh dari representasi ini adalah lagu Flashback dari N Flying yang merepresentasikan perasaan rindu bertatap muka dan mendengar suara fans dalam pertunjukan langsung sehingga memasukkan suara pertunjukan live dalam instrumental mereka. Adorno menekankan bahwa musik populer bersifat tidak autentik dan repetitif dimana kesuksesan dari sebuah pola produksi akan dieksploitasi hingga menciptakan kelelahan komersial yang kemudian membentuk standarisasi dalam pola produksi, distribusi dan konsumsi musik populer.
Individualisasi semu, standarisasi dan konsumsi pasif dalam musik populer menjadikan karya dalam musik populer mudah berganti dan dilupakan. Pendapat ini kiranya relevan dengan industri musik masa kini dimana karya musik cenderung repetitif dan mengikuti tren yang sedang berlaku, misalnya musik barat yang memiliki ‘kekhasan’ melodi dan genre musik atau dalam industri Kpop dimana koreografi disesuaikan agar musik dan koreo mereka dapat dinikmati dan digunakan sebagai song challenge dalam aplikasi tiktok yang trending pada masa pandemi.
Pandemi sedikit atau banyak berdampak pada perubahan idnustri budaya populer termasuk musik populer. Terjadi perubahan dalam pola produksi, distribusi dan konsumsi musik populer terutama beralih pada platform media digital. Selain itu musik mengalami rekonstruksi makna tidak hanya sebagai hiburan namun juga menawarkan kenyamanan dan pelarian diri dari kenyataan selama pandemi.
Namun begitu, musik populer menurut Adorno tidak menawarkan kepuasan mendalam dan adalah produk kapitalisme yang menekankan nilai guna dan nilai kultural (value) yang tereksploitasi sehingga terikat pada standarisasi dan cenderung tidak autentik. Hendaknya peran musik sebagai perekat sosial dan memiliki fungsi psikososial yang menawarkan kenyamanan dan keterikatan sosial semasa pandemi sesuai kata Adorno dimaksimalkan dengan menjadikan event – event musik sebagai lahan galangan dana untuk memberi dukungan sosial dan moral dalam menghadapi pandemi serta mempromosikan karya-karya musik yang bernilai serupa agar tercipta solidaritas yang erat dan dukungan moral tinggi sampai pandemi berakhir.
sumber:
Amalia, A. (2013). Representasi Ironisme Kemanusiaan dalam Industri Musik Populer AS. Komunikator, 5(02).
Ardini, N. W. (2015). Industrialisasi Musik Pop Bali: Ideologi, Kepentingan, dan Praktiknya. Segara Widya: Jurnal Penelitian Seni, 3.
Barker, C. (2003). Cultural studies: Theory and practice. Sage.
Storey, J. (Ed.). (2006). Cultural theory and popular culture: A reader (Vol. 1). Pearson Education.
Wulan, R. R. (2014). Sensualitas Perempuan Dalam Industri Musik Populer. Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(3), 267-276.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI