SURABAYA - Eksistensi Persma (Pers Mahasiswa) di lingkungan kampus bukan merupakan hal baru. Persma hadir sebagai wadah minat jurnalistik bagi mahasiswanya. Lebih dari itu, persma hadir sebagai pilar keempat demokrasi di lingkungan kampus, terutama sebagai anjing penjaga kekuasaan yang ada di lingkungan kampus. Sayangnya, disamping peran vitalnya, banyak sekali persma yang kerap di represi, bahkan malah kehilangan peran demokrasinya dan bertindak sebagai humas atau media branding kampus.
"Banyak dari persma yang masih belum memahami perbedaan pers dan humas. Pers Mahasiswa harusnya mengusut hal inklusif dan membongkar isu-isu penting." Tutur Iqbal, Sekretaris Jenderal PPMI DK Surabaya.
Pandangan lain datang dari Ghulam, Pemimpin umum Persma Retorika FISIP mengenai pemberitaan humas, namun tempat itu bukan di persma. Menurutnya tindakan ini menyalahi marwah persma sebagai pilar demokrasi.Â
"Sebenarnya there's nothing wrong dengan media humas, tapi sebenar-benarnya marwah Persma (Lembaga Pers Mahasiswa) itu justru menjadi penyeimbang kekuasaan yang ada di kampus agar tetap berada di tempatnya. Kampus sudah punya media humas sendiri untuk itu" (06/04/24).
Salah satu pemicu pemberitaan humas di Persma adalah munculnya represi dari kampus. Risiko represi-represi yang mengancam mahasiswa bahkan mematikan semangat demokrasi para Persma. Terdapat kurang lebih 10 Persma yang terdampak represi dari lingkungan institusi. Dibalik suramnya represi, menurut Iqbal, represi tak jarang merupakan sekaligus tanda bahwa Persma telah menjalankan tugasnya.
"Ada beberapa Persma yang terkena represi tapi dapat menyelesaikan sendiri. Kemungkinan kurang lebih ada 10 Persma yang terkena represi. Represi ini sebetulnya merupakan tanda Persma tersebut mengerti esensi pers itu sendiri" (07/04/24).
Salah satu Persma yang kerap menghadapi bentuk represi adalah LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Acta Surya Stikosa-AWS. Feby Febriyola sebagai pemimpin umum Acta Surya mengungkapkan bahwa memang pemberitaan terkait kampus memang mendapat rintangan-rintangan. salah satunya represi.
"Kalau di kampus sendiri menurut sudut pandangku, selama kita melakukan pemberitaan di luar kampus, kampus sangat mendukung. Kecuali terkait pemberitaan yang menurut mereka akan mengancam nama baik kampus, otomatis mereka mengekang. Tak jarang kami mendapat intervensi dari mereka. Karena, ya institusi mana yang ingin dijelek-jelekkan" Jelas Feby (07/04/24).
Salah satu kasus represi terbesar yang dihadapi Acta Surya kala itu, sekaligus represi terbesar yang dihadapi persma Surabaya adalah kasus pemberitaan persyaratan UKT Stikosa-AWS. Feby mendapat nilai E dan SP 1 akibat tuduhan provokasi dari akademik.Â
"Di Stikosa-AWS, syarat mengikuti KRS Â adalah minimal melunasi pembayaran UKT semester lalu, di kampus kami, pembayaran dapat dilakukan secara angsur salah satunya, namun saat itu banyak dari mahasiswa mendapat pesan untuk segera melunasi pembayaran UKT. Saat itu, kami hanya ingin mengklarifikasi, kenapa beberapa mahasiswa mendapat chat tagihan, sementara beberapa yang lain tidak. Tujuan utama kita adalah konfirmasi. Namun pihak akademik menganggap tindakan provokasi. Akhirnya, nilai kita dibuat E semua selama 1 semester dan mendapat SP 1." (07/04/24).
Tak hanya Stikosa-AWS, Persma lain yang mendapat represi datang dari LPM Retorika FISIP Universitas Airlangga.
"Pemberitaan mengenai Airlangga memanggil saat itu sampai ke telinga dekan, karena saat itu dekan merupakan pihak yang kontra dengan penyelenggaraan itu, Ada beberapa  kalimat yang aku quote nanti nama saya lak jelek. Dari pemberitaan, pembaca dapat menyimpulkan sendiri. Disinilah pemberitaan dapat berfungsi sebagai sanksi sosial dan koreksi kepada para petinggi" Tutur Ghulam.
Walaupun persma kerap mendapat represi, hal ini menurut Ghulam sudah diluar kendali Persma, yang dilakukan Persma adalah sebatas menjaga tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi.
"Apa yang dilakukan fakultas, dan apa yang dilakukan kampus sudah berada diluar kendali. Yang bisa dikendalikan adalah bentuk Persmanya. Biarpun nanti kampus mau merepresi, kampus tutup telinga, HIMA dan BEM tak mau ikut campur. yang harus tetap kita lakukan adalah menjaga koridor yang berpihak pada kemanusiaan, demokrasi, dan kebenaran." Tegas Ghulam (06/04/24).
Persma juga berharap kepada Dewan Pers dan Kemendikbud untuk segera mengeluarkan perjanjian untuk mengatasi sengketa-sengketa yang dihadapi para persma di kampusnya. Karena, Persma juga merupakan bagian dari jurnalistik. Bukan sekedar UKM, apalagi humas kampus. Harapannya, perjanjian ini akan menjadi angin segar pada persma dan bentuk perlindungan produk-produk jurnalistik persma dan meminimalisir terjadinya represi-represi terhadap persma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H