Tolak bala berarti menolak atau menangkal bahaya, penyakit, atau menolak segala hal-hal yang tidak baik dari diri kita. Jadi gerak ini melambangkan perlindungan diri untuk menghindari hal-hal yang tidak baik. Dalam hal ini, fatwa yang menjadi pedoman bagi masyarakat palembang mengatakan bahwa "Pelihara akan dirimu dari perbuatan dan perkataan yang menyalahi syariat" (Nawiyanto, 2016:61). Sehingga dalam hal ini wanita harus menjaga kehormatan diri, sehingga sudah sepantasnya mendapatkan perlindungan lebih, di mana di dalam masyarakat Pelembang lebih banyak di pingit di dalam rumah daripada beraktivitas di luar rumah (Saputra, 2015: 95-96).
SIGNIFIKANSI DARI KONTEKS DALAM PENENTUAN MAKNA
Dalam pengertian yang lebih luas, kita mungkin menunjuk pada konteks secara menyeluruh dimana tari itu berlangsung. Seperti kebudayaan yang ada pada pasyarakat Palembang untuk menjadi acuan dalam penentuan makna pada kesenian khususnya tari. Menurut Ma'moen Abdullah dalam bukunya Sejarah Daerah Sumatera Selatan mengatakan bahwa pendidikan yang dilakukan oleh Masyarakat kepada anak mereka sejak kecil anak-anak sudah di ajak untuk mengikuti pekerjaan orang dewasa seperti memilih sayur- sayuran, buah-buahan yang khusus di kerjakan oleh orang perempuan. Anak perempuan juga diajar menganyam keranjang-keranjang, tikar dari daun, juga pembuatan atap-atap untuk rumah/pondok (1991:13).
Melanjukan ungkapannya dalam buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan, seni tari yang ada di kota Palembang pada umumnya dalam bentuk masal yang berupa pemujaan terhadap kekuatan alam. Di samping itu ada juga seni tari sebagai hiburan setelah suatu usaha berhasil, umpamanya perburuan yang sukses (1991:14).
Dalam buku Tari Sambut yang ditulis oleh Yudhy Syarofie mengatakan bahwa hingga masa kolonial, juga tidak ada data mengenai perempuan menari di Palembang. Sekalipun demikian, didapat beberapa foto atau bukti yang menunjukan pertunjukan tari sambut, terutama di gedung siput yang kemudian menjadi kediaman komisaris pada waktu itu, lalu sekarang menjadi museum Sultan Mahmud Badaruddin II, ketika menyambut Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan tamu-tamu penting dari Batavia. Para perempuan yang menari pada masa itu bukanlah gadis- gadis yang berasal dari kota Palembang. Mereka merupakan putri para pembesar (pesirah atau pangeran) dari wilayah Uluan dan Iliran. Hal ini masi tetap melarang perempuan menunjukkan lekuk tubuh, wajah, bahkan suara dimuka umum, karena dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam yang bertentangan (2013:6-7).
 Menurut Yudhy Syarofie dalam bukunya Tari Sambut di Sumatera Selatan juga mengatakan bahwa penciptaan gerakan yang dilakukan oleh pencipta tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu pertama yang dikemas dalam seni pertunjukan di kota Palembang mengadaptasi gerakan pada tari Tepak, yang pada masa itu sudah berkembang di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Hal itu juga yang dilakukan Elly Rudi dalam menciptakan tari Tanggai Sebagai tari penyambutan tamu dengan pengembangan gerak dari gerak yang sudah ada sebelumnya. Pada tari ini terdapat beberapa gerak dasar dan sikap tubuh, yang kemudian menjadi semacam pakem daam gerak tari di Sumatera Selatan (wawancara Elly Rudi, 2013). Gerak dan gesture ini meliputi :
Gerak Sembah
Gerak yang biasa digunakan pada dua posisi, yaitu berdiri dan duduk. Sedangkan posisi tangan, yang telapaknya dikatupkan, dapat menunjukkan siapa yang diberi hormat. Sembah diatas kepala bermakna penghormatan terhadap dewa atau Tuhan. Sembah sejajar dada, bermakana terhadap orang yang kedudukannya lebih tinggi, misal pejabat atau pemuka masyarakat. Dan sembah dibawah dada diperuntukan kepada orang yang sama kedudukannya dengan pemberi hormat.
1)Â Gerak Simpuh
Posisi kedua kaki ditekuk, dengan telapak kaki dengan punggung kaki dilantai. Tubuh condong sesuai dengan gerakan tangan, tapi gerakan tubuh dan pinggul diusahakan tidak terlalu menonjol.
2) Gerak Mendak