Mohon tunggu...
Anisa Apriyani
Anisa Apriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas PGRI Palembang

Saya sangat suka dengan hal seni

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna, Gerak, dan Fungsi Tari Tanggai di Kota Palembang Sumatera Selatan

3 Januari 2024   10:26 Diperbarui: 3 Januari 2024   13:16 2596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada masa penjajahan banyak para tamu yang datang ke kota Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Pada saat itu belum ada tari penyambutan tamu khusus untuk kota Palembang, sehingga atas permintaan pemerintah Jepang pada saat itu dan juga pemerintah setempat, maka terciptalah tari penyambutan tamu pertama kali yang ada di kota Palembang yaitu Tari Gending Sriwijaya yang di ciptakan oleh Sukainah A. Rozak. Tari Gending Sriwijaya merupakan tari penyambutan yang diciptakan untuk menyambut para tamu yang datang ke kota Palembang dengan mengangkat konsep Hindu dan Budha. Dimana pencipta tari Gending Sriwijaya sengaja mengangkat konsep Hindu dan Budha, karena ingin mengenang masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, dan menunjukkan bahwa Palembang merupakan peninggalan dari kerajaan yang besar (wawancara Elly Rudy, 25 Oktober 2018).

Seiring berjalannya waktu keberadaan tari Gending Sriwijaya mengalami banyak perdebatan yang menimbulkan tari Gending Sriwijaya mengalami kemunduran. Kemudian dalam kemunduran tari Gending Srwijaya, salah satu penari Gending Sriwijaya yaitu Elly Anggraini Soewondo atau lebih dikenal dengan nama Elly Rudy mencoba menciptakan tari dengan konsep rasan tuo pada tahun 1965. Rasan tuo merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh para orang tua berembuk untuk menentukan jodoh bagi anak laki-lakinya. Tari yang diciptakan Elly Rudy bernama tari Tanggai yang diambil dari properti yang digunakan. Tanggai merupakan kuku palsu yang digunakan oleh penari. Elly Rudy merupakan penari tari Gending Sriwijaya, oleh sebab itu dalam penciptaan tari Tanggai memang ada nafas tari Gending Sriwijaya dan beberapa gerakan tari Tanggai mengacu pada gerak Tari Gending Sriwijaya yang terkesan tari Tanggai hampir sama dengan tari Gending Sriwijaya (wawancara Elly Rudy, 25 Oktober 2018).

Tari Tanggai diciptakan sebagai tari penyambutan tamu pada acara pernikahan dan tidak menggunakan tepak. Akan tetapi karena tari Gending Sriwijaya mengalami permasalahan dan mengalami kemunduran dalam pertunjukannya, lalu pada tahun 1978 ibu Lukita Ningsih Irsan Rajiman selaku ketua BKKNI (Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia) Sumatera Selatan menyarankan agar tari Tanggai diberi tepak supaya bisa berfungsi sebagai tari sambut (wawancara Elly Rudy, 25 Oktober 2018).

Tari Tanggai diterima baik oleh masyarakat Palembang hingga saat ini, sehingga tari Tanggai tetapkan sebagai tari penyambutan tamu untuk kota Palembang. Tari Tanggai tidak menggantikan tari Gending Sriwijaya sebagai tari penyambutan tamu. Tari Gending Sriwijaya tetap menjadi tari Penyambutan tamu untuk tamu yang berhubungan dengan Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan tari Tanggai merupakan tari penyambutan tamu khusus untuk kota Palembang. Tari Tanggai saat ini sudah menjadi bahan ajar serta materi di beberapa Universitas dan perguruan tinggi yang ada di Sumatera Selatan, seperti Universitas Sriwijaya serta Universitas PGRI Palembang. Selain itu tari Tanggai juga menjadi materi di sekolah-sekolah dan sanggar-sanggar yang ada di Palembang (wawancara Elly Rudy, 25 Oktober 2018).

Tari Tanggai ditarikan oleh para perempuan dan berjumlah ganjil. Berjumlah ganjil dikarenakan pencipta tari mengambil konsep rasan tuo, dimana salah seorang penari menjadi primadona. Musik yang dipakai adalah musik melayu yang terdiri dari beberapa instrument seperti Akordeon, Biola, Kendang, Rebana dan Orgen Tunggal. Busana yang digunakan pada tari Tanggai adalah Aesan Gedeh. Aesan Gedeh adalah busana kebesaran yang di pakai oleh putra-putri bangsawan, yang kemudian dipakai dalam tari gending Sriwijaya dan Tari Tanggai karena ingin menunjukkan identitas kota Palembang yang merupakan peninggalan kerajaan yang besar, serta ingin melestarikan budaya dan peninggalan terdahulu. Gerakan-gerakan yang ada pada tari Tanggai secara keseluruhan adalah gerakan mudra. Menurut Elly Rudy Mudra adalah gerakan penyerahan diri kepada yang MahaKuasa (wawancara Elly Rudy, 25 Oktober 2018).

 

BAHAN DAN METODE

Metode penelitian menggunakan metode deskriptif. Menurut Nyoman (2010: 337) metode deskriptif lebih banyak berkaitan dengan kata-kata, bukan angka-angka, benda-benda budaya apa saja yang sudah diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan mengkaji budaya meliputi kajian fungsi tari Tanggai di Palembang maka metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan varian-variannya. Analisis sosiologi digunakan dalam memperoleh data dan menganalisis data penelitian yang valid. Analisis sosiologi bersifat umum sebab segala sesuatu berkaitan dengan masyarakat, segala sesuatu dihasilkan oleh masyarakat. Tentunya kajian sosiologi tepat digunakan dalam penelitian ini karena tari Tanggai difungsikan oleh masyarakat sebagai produk seni.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Makna Gerak Tari Tanggai Di Kota Palembang Sumatera Selatan 

Makna menurut Kamus Besar Bahasa Indonesa (KBBI) adalah pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Makna dalam sebuah tari berhubungan erat dengan perkembangan yang terjadi pada tari dan Masyarakat sekitar, oleh sebab itu makna tari merupakan subjek untuk mengesankan masa lalu, dan digunakan untuk kajian-kajian yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun