Indonesia merupakan negara yang ditaburi beribu pulau. Wilayahnya membentang di sepanjang garis khatulistiwa, dirawat oleh 250 juta penduduk, dan diperelok dengan keragaman budayanya. Negara Indonesia berbentuk kesatuan, berfalsafah Pancasila, dan berlandaskan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Salah satu amanat yang terkandung dalam UUD 1945 adalah anjuran untuk mengamalkan pasal 33 yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kekayaan alam Indonesia yang bernilai strategis untuk pembangunan nasional secara berkelanjutan adalah energi baik yang berbasis fosil maupun nonfosil.Â
Dewasa ini, energi menjadi topik yang banyak diperbincangkan karena sering menjadi penyebab wahid terjadinya peperangan. Ketika terjadi perang, atmosfer peperangan tidak hanya dirasakan oleh pihak yang berebut sumber-sumber energi, namun juga mendera masyarakat secara global. Melihat fenomena yang terjadi saat ini, setiap negara khususnya Indonesia wajib hukumnya untuk melakukan tindakan preventif guna mencegah konflik tersebut. Salah satu tindakan yang sedang digencarkan oleh pemerintah adalah membuat Rancangan Undang-undang Nasional (RUEN) yang dijabarkan lebih detail dalam Rancangan Undang-undang Daerah (RUED). RUED bertujuan untuk memetakan potensi daerah yang selama ini masih tercecer dan belum dioptimalkan.
Potensi daerah yang perlu didorong perkembangannya adalah energi baru terbarukan yang saat ini sedang digaungkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Energi baru terbarukan merupakan energi yang dapat berasal dari sampah organik seperti biogas yang bersumber dari kotoran sapi. Biogas mengandung gas metan, karbondioksida, nitrogen, amonia, sulfur dioksida, hidrogen sulfida, dan hidrogen. Biogas adalah bahan bakar yang tidak menghasilkan asap dan dibentuk melalui pencernaan anaerobik. Proses pencernaan anaerobik merupakan proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik seperti kotoran ternak sapi.
Berperan aktif dalam masyarakat untuk mensukseskan program kerja pemerintah adalah suatu keharusan bagi seorang akademisi. Penulis telah memetakan salah satu potensi daerah yang terdapat di Dusun Sambeng II, Poncosari, Srandakan, Bantul, Yogyakarta yang berupa pemanfaatan kotoran sapi sebagai biogas. Penulis bersama 4 orang teman yang tergabung dalam Tim Bioland, membangun instalasi biogas sebagai sumber energi terbarukan melalui program pengabdian masyarakat yang didanai oleh Kementerian Ristekdikti.
Dusun Sambeng II terletak di pinggiran Kabupaten Bantul dan berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo. Lima puluh dua (52) warganya berprofesi sebagai peternak sapi dan tergabung dalam kelompok ternak sapi Nandhi Amartani yang diketuai oleh Bapak Aris, salah satu warga Sambeng II. Setiap warga rata-rata memelihara 2-3 ekor sapi dan satu ekor sapi menghasilkan 23,59 kg kotoran sapi per hari sehingga jumlah kotoran sapi yang dihasilkan sangat banyak. Kotoran sapi ini hanya ditimbun di belakang kandang sapi dan belum dimanfaatkan secara optimal. Berangkat dari permasalahan ini, penulis berinisiatif untuk membuat model percontohan pemanfataan kotoran sapi menjadi biogas menggunakan tabung berukuran 25 liter. Tabung ini dipasang pipa paralon dan ban bekas motor yang digunakan untuk menampung gas yang dihasilkan. Dari hasil percobaan ini, didapatkan gas metan yang dapat terbakar ketika dipantik dengan api. Hasil fermentasi kotoran sapi ini didemokan dan mendapatkan komentar yang positif dari masyarakat. Masyarakat memberikan usulan agar pembuatan biogas dari kotoran sapi dapat dilakukan dalam skala rumah tangga sehingga gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk memasak.
Delay any step to solve the problem willaccruethe risk in the future.Akademisi selaku penyandang gelar agent of change sudah seharusnya menjadikan usulan masyarakat tersebut sebagai picu untuk melakukan perubahan. Pada bulan September 2015 penulis membentuk Tim Bioland yang terdiri dari Anisa Anggraeni (penulis), Muhammad Hanafi, Cici Nurmaidha Tanjung, Rian Nurhasanah, dan Muhibbul Khoiri. Kami berlima mengajukan proposal pendanaan kepada kemenristekdikti untuk membangun instalasi biogas dan bioslurry di Dusun Sambeng II. Proposal kami dinyatakan diterima oleh kemenristekdikti pada awal Bulan Februari 2016.
Deru semangat untuk segera mengawali program ini mulai terasa menggebu-gebu di dalam tim. Tanggal 26 Februari 2016 kami melakukan koordinasi dengan Bapak Agus Sujaka, selaku Kepala Dusun Sambeng II untuk mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana kegiatan kami. Selain berkoordinasi dengan Kepala Dusun, kami juga mengajak pemuda-pemudi untuk terlibat dalam aksi nyata program pembangunan energi baru terbarukan ini. Setelah berdiskusi dengan kepala dusun dan pemuda-pemudi Sambeng II, mereka bersedia untuk ikut serta dalam proyek ini. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu parameter ketahanan energi nasional yaitu acceptabilityterpenuhi.
Maret 2016 menjadi bulan pertama kami untuk bertatap muka secara langsung dengan masyarakat dalam kegiatan sosialisasi rencana kegiatan pengembangan energi baru terbarukan. Sosialisasi ini dilakukan di rumah kepala dusun Sambeng II. Masyarakat yang berpartisipasi sebanyak 40 orang yang terdiri dari 17 orang ibu rumah tangga, 18 orang kepala keluarga, seorang pemudi, dan 4 orang pemuda. Hasil sosialisasi kegiatan ini menunjukkan bahwa masyarakat menyepakati rencana program pembangunan instalasi biogas yang akan dilaksanakan di dekat kandang sapi rukun tetangga (RT) 6. Selain itu, warga juga menyepakati dibentuknya pengurus (koordinator) untuk membangun, merawat, dan mengoperasikan instalasi biogas yang sudah dibangun.
Pembangunan instalasi biogas tahap pertama dimulai tanggal 4 April 2016. Kegiatan ini meliputi penggalian lubang digester, pengukuran panjang plastik untuk digester ukuran 5m x 1m x 1m, pembuatan "payon" sebagai pelindung digester, pembuatan penampung gas ukuran 2m x 2m, pembuatan lubang inlet dan outlet serta waterdrain menggunakan botol air mineral bekas. Digester yang sudah siap pakai diisi kotoran sapi yang sudah dicampur air dengan perbandingan 1:1 sebanyak 1280 liter. Sembari menunggu kotoran sapi yang tengah difermentasikan selama 7 hari, kami mendemontrasikan kepada warga cara memodifikasi kompor bekas menjadi kompor biogas. Kompor dimodifikasi dengan mengubah arah pipa spuyer yang semula menghadap belakang menjadi menghadap ke depan. Kini, biogas sudah dimanfaatkan di rumah Bapak Agus dan Bapak Hartono untuk keperluan memasak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H