Mohon tunggu...
ANISA AE
ANISA AE Mohon Tunggu... Penulis - AE Publishing

Bangun Peradaban Dengan Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Aura Gerbong Maut di Musium Brawijaya

22 Agustus 2015   09:59 Diperbarui: 22 Agustus 2015   09:59 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tank Amphibi

 

Anisa AE - Jangan berpikiran kalau kali ini saya berfoto di dalam gerbong maut. Sangat salah. Okelah, saya akan mulai bercerita tentang perjalanan ke musium ini. Saya tak perlu menjelaskan apa itu musium dan apa saja manfaatnya, sepertinya itu sudah keluar dari konteks. Namun, izinkan saya bercerita tentang kejadian yang saya alami.

Oke, oke. Itu tidak penting. Jadi, silakan menutup halaman web ini. Karena saya bukanlah artis yang biasa dikejar-kejar oleh paparazi. Apalah arti dari cerita saya? Namun, bagi yang masih penasaran ada apa dengan gerbong maut, bisa lanjutkan membacanya.

musium brawijaya - Malang
musium brawijaya - Malang

Senjata Penangkis Serangan Udara

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada 27 Januari 2015 (jangan dikomplain kenapa saya menuliskannya saat ini), saya mengunjungi Musium Brawijaya. Bukan hal yang aneh, apalagi saya termasuk warga kabupaten Malang dan sangat sering melewati musium tersebut.

Kenapa baru saat itu saya ke sana? Pertama karena saya takut masuk ke sana jika tidak ada teman (jujur sekali). Aura dari luar sudah melarang saya untuk masuk ke sana, atau hati kecil saya langsung memantabkan menuju perpustakaan kota yang terletak tepat di depannya.


musium brawijaya - Malang
musium brawijaya - Malang

Tank

Sampai akhirnya 2 kali saya mengikuti acara yang terletak di halaman musium. Acara pertama adalah saat rapat Malang Menulis dan acara ke dua adalah saat diundang Komunitas Malang Peduli Malang (mewakili grup Arek Kepanjen). Oke, saya bukan penakut. Tapi entahlah ....

Memang jika badmood melanda, maka saya akan pergi ke mana pun hati menginginkannya. Kebetulan pilihan jatuh tepat pada musium Brawijaya. Saya langsung turun di depan musium dan menuju lobi, setelah terlebih dulu jeprat-jepret menggunakan hape jadul (dapat dilihat dari kualitas foto). Di lobi, saya mengisi registrasi dan membayar biaya masuk (lupa berapa tepatnya, kalau gak salah sih 2.500). 

Tanpa ba-bi-bu, saya memasuki ruang pameran sampai ke dalam, memotret dan membaca banyak sekali tulisan yang terpampang pada tiap benda koleksi. Serasa jadi paparazi, karena tiap di foto, ada aja pasangan yang ikut kepotret. Xixixi. Karena modem sedang tidak bersahabat, maka saya hanya menguplod sebagian.


musium brawijaya - Malang
musium brawijaya - Malang

Radio yang digunakan Den Hub Brawijaya 1945-1946

 

musium brawijaya - Malang
musium brawijaya - Malang

Meriam

 

musium brawijaya - Malang
musium brawijaya - Malang

Pistol

Setelah selesai keliling di ruang pameran satu dan dua, saya menuju ke ruang tengah. Awalnya tidak begitu tertarik dengan ruangan tersebut, namun karena di sana terlihat lebih terang dari di dalam ruang pameran (ruang pameran lumayan redup menurut saya), saya pun menuju ke sana.

Tara .... 

musium brawijaya - Malang
musium brawijaya - Malang

Perahu Segigir

Saya disambut oleh perahu segigi. Apa istimewanya perahu ini? Ini adalah perahu yang digunakan oleh Letkol Chandra Hasan untuk memimpin pasukan melawan Belanda. Istimewanya lagi, perahu segigir bukan perahu perang, tapi perahu yang digunakan untuk menangkap ikan dan hanya muat untuk 6 orang saja. Awalnya, perahu ini bertempat di Sumenep, lalu diserahkan kepada musium pada 26 November 1968.

Namun, aura tidak nyaman sejak pertama kali melihat musium ini memang tidak pernah mau hilang. Apalagi ketika saya berada di ruang tengah ini. Memang, benda-benda bersejarah mempunyai aura mistis yang tak terdefinisikan (sok ngerti banget). Untuk perahu ini, saya hanya memotret dari belakang, ya, karena ada aura yang tidak mengenakkan hati.

Gerbong Maut

Ternyata dugaan saya tepat. Aura tersebut datang dari gerbong maut. Dari namanya saja sudah menyeramkan, apalagi jika masuk ke dalam gerbong tersebut. Okelah, jujur saya saya tidak berani masuk, jangankan masuk, melongokkan kepala ke dalam gerbong saja tidak berani.

Saya tegaskan sekali lagi kalau bukan penakut, namun berada di sekitar gerbong membuat bulu kuduk saya semakin merinding (sebenarnya masuk saja sudah merinding, berhubung banyak orang, maka masih mendingan). Sebenarnya ada apa dengan gerbong itu? Sampai bulu kuduk saya merinding hebat.

 

Nomor Gerbong Maut

Setelah mengelilingi gerbong, saya mendapati sebuah tulisan yang menerangkan tentang gerbong tersebut. Gerbong barang dengan nomor GR 10152 tersebut adalah salah satu gerbong yang pada tanggal 23 September 1947 jam 2 pagi, mengangkut tawanan dari penjara Bondowoso menuju Surabaya. Ada 3 gerbong, berarti diperkirakan satu gerbong memuat 33 orang.

Saya dapat membayangkan bagaimana gerbong yang demikian sempit, mengangkut para pejuang Indonesia dengan perjalanan yang lumayan lama. Karena berdesak-desakan dan jendelanya tertutup rapat selama dalam perjalanan, mengakibatkan banyak pejuang yang meninggal. Hiii.

Tulisan pada gerbong maut

Bayangkan saja, gerbong sempit dengan 33 pejuang, duduk saja tidak bisa. Panas karena jendela tidak dibuka, pastinya mereka juga butuh oksigen untuk sekadar bernapas. Pejuang yang masih hidup, menggedor-gedor pintu untuk minta air atau sekadar jendela dibuka agar udara bisa masuk. Namun, tentara Belanda menjawab, "Air tidak ada, yang ada hanya peluru".

Ketika sampai di Stasiun Wonokromo, 46 orang pejuang kita meninggal dunia, 42 orang dalam keadaan sakit dan lemas, sementara 12 orang masih sehat. Para pejuang yang sehat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam Penjara Kali Sosok Surabaya.

Sungguh, hati saya tertohok. Pantas jika aura tidak wajar hadir dari gerbong maut itu dan mengapa gerbong itu mendapatkan nama yang mendirikan bulu roma dengan sangat hebat. Biasanya, walaupun saya ke tempat sepi atau melewati rumah yang katanya angker, bulu kuduk tidak semerinding ini.

Narsis Dulu

Tetap saja, di mana pun dan kapan pun harus ada foto narsis. Hehehe. Akhirnya saya minta bantuan sepasang sejoli yang juga berada di tempat itu. Akhirnya kami saling memotret. Saya memotret mereka dan sebaliknya.

Sampai detik ini, ketika saya menulis tentang gerbong maut. Auranya masih tetap terasa, bulu kuduk pun merinding dibuatnya, padahal jarak dari Musium Brawijaya ke Kepanjen juga sangat jauh. Well, mungkin itulah alasan kenapa saya lama sekali tidak menuliskan tempat ini ke dalam blog.


Repost dari http://www.anisae.com/2015/06/aura-gerbong-maut-di-musium-brawijaya.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun