Bayangkan saja, gerbong sempit dengan 33 pejuang, duduk saja tidak bisa. Panas karena jendela tidak dibuka, pastinya mereka juga butuh oksigen untuk sekadar bernapas. Pejuang yang masih hidup, menggedor-gedor pintu untuk minta air atau sekadar jendela dibuka agar udara bisa masuk. Namun, tentara Belanda menjawab, "Air tidak ada, yang ada hanya peluru".
Ketika sampai di Stasiun Wonokromo, 46 orang pejuang kita meninggal dunia, 42 orang dalam keadaan sakit dan lemas, sementara 12 orang masih sehat. Para pejuang yang sehat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam Penjara Kali Sosok Surabaya.
Sungguh, hati saya tertohok. Pantas jika aura tidak wajar hadir dari gerbong maut itu dan mengapa gerbong itu mendapatkan nama yang mendirikan bulu roma dengan sangat hebat. Biasanya, walaupun saya ke tempat sepi atau melewati rumah yang katanya angker, bulu kuduk tidak semerinding ini.
Narsis Dulu
Tetap saja, di mana pun dan kapan pun harus ada foto narsis. Hehehe. Akhirnya saya minta bantuan sepasang sejoli yang juga berada di tempat itu. Akhirnya kami saling memotret. Saya memotret mereka dan sebaliknya.
Sampai detik ini, ketika saya menulis tentang gerbong maut. Auranya masih tetap terasa, bulu kuduk pun merinding dibuatnya, padahal jarak dari Musium Brawijaya ke Kepanjen juga sangat jauh. Well, mungkin itulah alasan kenapa saya lama sekali tidak menuliskan tempat ini ke dalam blog.
Repost dari http://www.anisae.com/2015/06/aura-gerbong-maut-di-musium-brawijaya.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H