Mohon tunggu...
Anisa Damayanti
Anisa Damayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobby memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan, Hukum Islam, Pernikahan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia

21 Maret 2023   20:47 Diperbarui: 21 Maret 2023   21:07 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum Perdata Islam di Indonesia merupakan semua hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban pribadi di antara warga negara Indonesia mengikuti agama Islam. Dengan kata lain, hukum perdata Islam sebagai pokok yang mengatur kepentingan perorangan khususnya  orang muslim di Indonesia. Hukum perdata Islam tidak berlaku bagi warga negara non-Muslim, Warisan Islam, Pernikahan dalam Islam, hibah, wakaf, Zakat dan infak pada hakekatnya merupakan bahan hukum perdata Islam  yang secara khusus direalisasikan dan dilaksanakan oleh warga negara yang menganut agama Islam.

Dalam hukum perdata Islam, segala sesuatu diatur secara ketat mengenai hubungan orang tua-anak, perceraian, perdamaian dan segala hal yang berkaitan sebelum dan sesudah perkawinan serta akibat hukum dari perceraian. Serta hal-hal yang berkaitan  dengan ahli waris, ahli waris,  ahli waris harta dan ashobah dan sebagainya. Hukum perdata Islam juga mengatur segala hal yang berkaitan dengan perdagangan atau bisnis, contohnya seperti masalah jual beli, permodalan dan kerja sama, serta berbagai akad yang erat kaitannya dengan asuransi, jaminan, hipotek, dan lain-lain.

Prinsip atau asas perkawinan yang dianut dalam UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:

Tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling membantu untuk melengkapi, sehingga masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Undang-undang ini menyatakan bahwa suatu perkawinan sah apabila dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan selanjutnya setiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan apapun sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup seseorang, seperti kelahiran, kematian, dan peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam akta, yang juga dicatat dalam buku catatan.

 Hukum ini mengikuti asas monogami hanya jika yang bersangkutan menghendakinya, karena hukum agama masing-masing membolehkan, seorang laki-laki boleh beristri lebih dari satu. pengadilan memutuskan.
Undang-undang ini mengatur prinsip bahwa calon pasangan harus telah dewasa lahir dan batin untuk menikah, sehingga dapat memenuhi tujuan perkawinan dengan baik  dan melahirkan anak yang baik dan sehat tanpa perceraian. , oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan perkawinan antara calon suami dengan wanita yang masih di bawah umur, karena perkawinan berkaitan dengan masalah kependudukan,.

Oleh karena itu perkawinan antara calon suami dengan wanita yang masih di bawah umur dicegah untuk memperlambat kelahiran yang lebih tinggi kecepatan. Karena usia menikah yang lebih rendah dari seorang wanita menyebabkan tingkat kelahiran yang lebih tinggi dibandingkan dengan batas usia yang lebih tinggi yang menyertainya, undang-undang perkawinan saat ini menetapkan batas usia untuk  pria dan wanita, yaitu 19 tahun untuk pria dan 19 tahun untuk wanita.

Karena tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka hukum ini mengikuti prinsip yang mempersulit perceraian. Perceraian harus dikabulkan karena alasan tertentu (Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975) dan harus dilakukan sebelum sidang di pengadilan agama Islam dan pengadilan negeri non-Muslim.

 Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

2. Asas-Asar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam

                   Asas hukum menurut Kompilasi Hukum Islam terdiri atas 6 Asas yaitu antara lain
 Asas persetujuan yaitu Tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Asas persetujuan terdapat dipasal 16-17 KHI.
Asas kebebasan: Asas kebebasan memilih pasangan dengan tetap memperhatikan larangan perkawinan. Pasal 18 (tidak terdapat halangan perkawinan), 39-44 KHI (larangan perkawinan).
 Asas kemitraan suami-istri: Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat, hak dan kewajiban Suami-Istri: (Pasal 77 KHI).
Asas untuk selama-lamanya: Pasal 2 KHI: akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan menjalankan ibadah.
Asas kemaslahatan hidup: Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah. Dan rahmah.
Asas kepastian hukum: Pasal 5-10 KHI, Perkawinan harus dicatat dan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

3.  Pentingnya Pencatatan Perkawinan dan dampaknya bedasarkan filosofis, sosiologis, religious dan yuridis yaitu

                Pencatatan pernikahan menjadi hal penting bagi masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum atas perkawinan dan kelahiran anak-anaknya. 

Adapun tujuan pencatatan perkawinan antara lain yaitu untuk Menciptakan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, Preventif (agar tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum agama maupun menurut perundang-undangan), Melindungi martabat dan kesucian perkawinan, terutama isteri dalam kehidupan rumah tangga dan anak-anak dan Apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak mau bertanggung jawab, maka pihak yang lain dapat melakukan upaya hukum untuk mengajukan gugatan, karena Akta Perkawinan

merupakan bukti otentik.
Berikut ini Dampaknya secara filosofis, Religius, dan Yuridis
Filosofis

Dengan adanya peraturan tentang pencatatan perkawinan maka sudah sepantasnya orang-orang yang berada di Indonesia ini untuk mematuhi peraturan yang sudah ada. Meskipun dalam Islam tidak secara eksplisit dijelaskan baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits, akan tetapi di Indonesia sudah ada peraturan undang-undang yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan. 

Aturan tersebut dibuat untuk kemaslahatan orang banyak karena dengan dicatatkan suatu perkawinan maka nantinya ketika terjadi sebuah permasalahan maka tidak ada pihak yang saling ter-dzalimi. Sebagai contoh tentang status anak, ketika perkawinan dicatatkan maka anak juga akan mempunyai akta kelahiran, sebaliknya jika perkawinan tidak dicatatkan ketika mempunyai anak dan ingin membuat akta kelahiran maka akan sulit sebab pernikahan kedua orang tua tersebut tidak masuk dalam data administrasi negara.

 Religious

Karena sudah ada peraturan tentang pencatatan perkawinan, sudah sepantasnya bagi penduduk Indonesia untuk mengikuti peraturan yang ada. Meski tidak dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur'an atau Hadits dalam Islam, Indonesia sudah memiliki undang-undang yang mengatur pencatatan perkawinan. Peraturan ini dibuat untuk kemaslahatan umat, karena jika nanti ada masalah pencatatan perkawinan, pihak lain tidak akan berbuat salah.

Sebagai contoh status anak, pada saat mencatatkan perkawinan, anak juga memiliki akta kelahiran, sebaliknya bila perkawinan tidak dicatatkan pada saat anak lahir dan ingin dibuatkan akta kelahiran, maka sulit, karena perkawinan dua orang tua tidak masuk dalam data kantor negara.

  Yuridis
             Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan, oleh karena mempunyai implikasi yuridis dalam berbagai aspek sebagai akibat dari dilaksanakannya sebuah perkawinan baik menyangkut status dari suami istri status anak yang dilahirkan, status dari harta kekayaan, dan aspekaspek keperdataan lainnya. Oleh karena itu pencatatan perkawinan bukan menjadi syarat sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Namun hal ini di lakukan agar tidak ada salah satu pihak yang merasa di rugikan karena perkawinannya tidak dicatatkan.

4. Pendapat Ulama' dan KHI  Tentang Perkawinan Wanita Hamil

Menurut Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa yang menikah Perempuan hamil adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya sah. 

Jika laki-laki yang dinikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu bukan laki-laki bisa melahirkan .Sedangkan Pendapat  dari Imam Malik bahwa laki-laki yang tidak hamil tidak akan hamil boleh menikah dengan wanita hamil kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan melahirkan Musim iddah telah usai, dan Imam Ahmad menambahkan syarat lain yaitu wanita tersebut harus dinikahkan menyesali perselingkuhannya. Jika dia belum bertobat dari dosa perzinahan, dia belum bertobat bisa menikah dengan siapa saja. Pernyataan keempat Imam Asy-Syafi'i menyatakan bahwa laki-laki hamil dan tidak hamil boleh menikahinya.

             Menurut hukum Islam atau KHI, Islam Indonesia khususnya menawarkan kenyamanan dengan adanya Pasal 53 KHI yang membolehkan perempuan hamil untuk menikah. Keberadaan pasal ini dianggap sebagai kebaikan hidup manusia yang terbuka, terkait dengan kehormatan dan keturunan anak.
              5.    Hal yang dilakukan untuk terhindar dari perceraian        

   Ada beberapa hal Yang harus dilakukan agar terhindar dari perceraian antara lain yaitu:

Berkomitmen pada Hubungan
  Saling Memberi Ruang.
Saling Menghormati
 Berkomunikasi Terbuka, Jujur, dan Teratur
Terbuka dalam Masalah Keuangan
6. Book Review karya Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, SH.MH.SpN.

Berdasarkan buku yang berjudul "Hukum Perorangan dan Kebendaan" yang ditulis oleh Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, SH.MH.SpN. mendeskripsikan bahwa Hukum itu tidak dapat didefinisikan secara tetap dan selalu berubah-ubah, sebab satu-satunya hal yang tetap pada hukum adalah sifat tidak tetapnya isi hukum itu.  

Hukum perdata itu sendiri adalah aturan atau norma yang membatasi dan dengan demikian menjamin kepentingan individu masing-masing di antara kepentingan  orang-orang  dalam suatu masyarakat tertentu. Unsur formil hukum perdata, yaitu hukum perdata, mengatur hubungan hukum antara satu orang atau warga negara atau badan hukum  dengan orang lain atau warga negara atau badan hukum  dalam hubungan sosial.

 Hukum Perdata meliputi antara lain status anak sebagai subjek hukum (sejak lahir sampai meninggal), memperoleh hak, perwalian, perwalian, pengangkatan anak, rumah tangga dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kekuasaan orang tua sampai anak mencapai usia dewasa dan undang-undang yang mengaturnya Perubahan yang berkaitan dengan kemandirian anak, termasuk misalnya hak pendaftaran dalam hal perkawinan, kelahiran dan kematian.

Yang saya dapat dari membaca buku  "Hukum Perorangan dan Kebendaan" yang ditulis oleh Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, SH.MH.SpN. adalah dapat memberikan pelajaran secara luas dalam mempelajari hukum perdata khususnya dalam hukum yang mengatur tentang masalah perorangan dan kebendaan dalam hubungan antarmasyarakat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun