Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.
  Terlepas dari hak menerima warisan tersebut, adat istiadat (urf) yang ada dalam masyarakat juga perlu dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Dalam hal ini, di Indonesia sudah menjadi kebiasaan bahwa warisan akan dibagikan ketika kedua orang tua sudah meninggal.
3. Mengapa di masyarakat sering terjadi persengketaan masalah Harta warisan?
     Faktor penyebab terjadinya sengketa waris adalah karena belum adanya pembagian harta warisan dalam rentang waktu yang lama sehingga harta tersebut menjadi musnah dan timbulnya fitnah, ini didukung oleh ketidaktahuan ahli waris, dan adanya penguasaan sepihak dari salah satu ahli waris.
4. Bagaimana seharusnya dalam menyelesaikan masalah harta warisan dilakukan di tengah masyarakat?
    Menyelesaikan sengketa waris disini bisa melaui prosedur penyelesaian sengketa mengenai pembagian harta warisan. Apabila seorang Kepala Desa/Ayahanda menangani suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya oleh warga/penduduknya adalah dibenarkan menurut hukum atau secara hukum tindakan demikian adalah sudah tepat dan benar. Ketentuan pasal ini pulalah yang menjadi dasar hukum bagi Kepala Desa menjalankan fungsinya sebagai Hakim Perdamaian Desa. Ada dua macam penyelesaian perkara mengenai pembagian harta warisan yang diajukan oleh penduduk kepada Kepala Desanya, yakni sebagai berikut:Â
Pertama, Perkara pembagian warisan yang diajukan tanpa didahului sengketa antara pihak-pihak (ahli waris) yang bersangkutan.Â
Kedua, Perkara pembagian warisan yang diajukan oleh penduduk Desa kepada Kepala Desa dengan didahului sengketa antara ahli waris yang bersangkutan. Kedua macam perkara ini agak berbeda prosedur penyelesaiannya. Sebab antara keduanya mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda yang dalam penyelesaiannya mempunyai kelemahan dan keunggulan.Â
Untuk perkara pembagian warisan yang diajukan kepada Kepala Desa/Ayahanda didahului terjadinya sengketa antara pihak (ahli waris)yang bersangkutan. Untuk perkara ini pada umumnya prosedur agak mudah dan sederhana, pada umumnya setelah terjadinya kematian seseorang, maka para ahli warisnya berkumpul untuk merundingkan pembagian atas harta warisnya yang ada. Dalam perundingan itu biasanya ada atau ditunjuk seseorang juru bicara berwibawa dan dianggap mampu menangani masalah yang sedang dihadapinya. Biasanya orang yang seperti ini diambilkan salah satu diantara mereka sendiri (ahli waris) akan tetapi sering pula terjadi harus mengambil orang luar (bukan ahli waris) yaitu dalam hal mereka sendiri kurang mampu memahami terhadap masalah yang sedang dihadapi. Sehingga dengan demikian mereka terpaksa mencari orang lain yang dianggap perlu. Mereka menganggap bahwa apa yang telah disetujui itu berlaku sebagai ketentuan yang harus dijalankan. Keadaan semacam ini apabila dikaitkan dengan model yang diatur dalam KUHPeradat adalah sesuai dengan ketetapan Pasal 1338 yang mengatakan semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikat baik. Kalaupun model penyelesaian seperti ini sesuai dengan apa yang diatur dalam KUHPerdata, namun hukum yang digunakan untuk penyelesaian model seperti ini tetap mengacu pada hukum Islam dan hukum adat. Kalaupun ada kesamaan dengan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata hanyalah faktor kebetulan saja. Artinya hukum yang dipakai tetap mengacu pada hukum adat dan hukum Islam.
5. Sebagai Mahasiswa Islam, apa yang anda lakukan bila terjadi sengketa harta warisan dalam suatu keluarga?
     Jika terjadi perceraian dalam rumah tangga, ternyata salah satu pihak telah menjual sebagian hartanya secara sepihak. Masing-masing pihak dalam gugatan cerai dapat meminta pengadilan agama untuk mengikatkan harta bersama sebagai jaminan atas harta bersama. Selama penyitaan barang bersama, barang bersama juga dapat dijual, tetapi dengan izin pengadilan agama. Kemudian, dasar hukum bagi pihak lain untuk dapat menjual harta bersama atas persetujuan pengadilan agama terdapat dalam Pasal 95 (2) Hukum Islam, yang berbunyi: "Harta bersama yang dijual pada saat penyitaan .dapat digunakan untuk kepentingan keluarga dengan izin pengadilan agama." Dalam prakteknya di Pengadilan Agama, dalam perkara perceraian dimana salah satu pihak (suami atau istri) menjual harta bersama, kedua harta bersama tersebut dibagi menurut Pasal 97 Ikhtisar Hukum Islam, yang berbunyi: Janda diceraikan . , masing-masing berhak atas setengah dari harta bersama, kecuali ditentukan lain dalam perkawinan.Â