Mohon tunggu...
Anisa Anisa
Anisa Anisa Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswi STIE Pembangunan Tanjungpinang, Kepri

Don't rush. Take a deep breath. You may find that any moment can be turned into an opportunity. Allow yourself to take it easy. Take it one step at a time - Seokjin Kim, Dear Class 2020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Problematika "Malu" dalam Kehidupan Sosial dan Masyarakat

7 Agustus 2020   12:29 Diperbarui: 7 Agustus 2020   12:38 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.freepik.com/atlascompany

Apa yang ada dibenak kita ketika mendengar kata "malu"? Jika kita menelusuri ke sumber Wikipedia bahasa Indonesia, "malu" dikatakan sebagai salah satu bentuk emosi manusia dimana memiliki beragam arti, pengertian, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukannya, dan kemudian ingin menutupinya. Kita yang merasa "malu" tersebut akan berusaha menyembunyikan kekurangan kita pada orang lain.

Lalu bagaimana jika kita merasa "malu" karena tidak dapat memenuhi standar kehidupan sosial dalam masyarakat?

Banyak sekali hal-hal yang sering membuat kita merasa malu dalam kehidupan sosial. Seperti malu ketika mendapatkan nilai rapor yang rendah di Sekolah, malu karena tidak bisa lanjut ke perguruan tinggi, malu karena terpaksa gap year dan harus bekerja keras diusia muda untuk membiayai kuliah, malu karena merasa tertinggal dengan teman-teman yang sudah bekerja dan sukses, malu karena belum punya pacar, malu karena belum tahu kapan akan menikah, malu karena susah punya anak, malu karena memiliki penyakit tertentu, malu karena dari keluarga broken home, malu karena punya orang tua yang bekerja buruh serabutan, malu karena fisik yang dirasa kurang, dan perasaan malu lainnya.

Kita seringkali berusaha menutupi kenyataan bahwa hidup kita memang berbeda dengan orang lain. Perasaan "malu" muncul karena kita menganggap hidup orang lain lebih ideal dan lebih normal daripada kita. 

Kita merasa bahwa kekurangan kita adalah aib, sehingga kita harus menutupinya. Dan respon ini pula muncul ketika kita merasa gagal dalam mencapai suatu hal yang dianggap 'ideal' dalam kehidupan ataupun ketika kita 'dihakimi' masyarakat karena tidak dapat memenuhi ekspektasi orang lain.

Tapi tahukah? Bahwa hal-hal diatas tak seharusnya membuat kita malu. Justru kekurangan adalah hal yang normal, karena itu bukanlah perilaku yang buruk. Mestinya, perasaan "malu" muncul jika kita melakukan suatu tindakan yang buruk apalagi sampai merugikan orang lain.

Stigma sosial membuat kita seringkali berpikir bahwa 'hidup ideal' adalah jika kita bahagia tanpa kekurangan apapun baik dari segi keluarga, keuangan, fisik, pekerjaan, dan lainnya. 

Cibiran dari masyarakat sekitar menyebabkan mindset kita menjadi tidak sehat dan muncullah perasaan malu tersebut. Inilah yang seringkali membuat kita tertekan karena tidak bisa memenuhi standar ideal. 

Yang lebih parahnya lagi, jika kita malah berubah menjadi 'manusia palsu' yang pura-pura bahagia seakan memiliki hidup sempurna, hanya untuk menghindari gunjingan orang lain. Padahal sejatinya, kebahagiaan tidak bisa dimiliki setiap waktu. Pun kebahagiaan dapat digapai ketika kita bisa melewati masalah maupun kesedihan yang menimpa kita.

Memang naturalnya, manusia memiliki sifat yaitu ingin terlihat hebat dan tanpa celah dimata orang lain. Namun faktanya, tidak ada satupun manusia di dunia ini yang SEMPURNA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun