Rintik hujan mulai mengisi kesunyian senja itu. Ara merapatkan duduknya di teras rumah mungil mereka. Matanya terpaku pada jalanan kecil di depan rumah yang mulai dialiri aliran air hujan. Sesekali ia melirik pada tangan kecilnya yang menggenggam cangkir panas berisi teh melati buatan ibunya. Aroma harum semerbak menyapa indra penciumannya, membuatnya tersenyum simpul. Tetapi senyum itu tak dapat menyembunyikan segaris kerinduan yang merayap di sudut hatinya.
Ayahnya belum juga pulang dari mengayuh becak di pusat kota sejak pagi tadi. Biasanya di sore hari begini, ayahnya sudah ada di sampingnya, merangkulnya, lalu bertukar cerita tentang aktivitas mereka seharian.
"Ara sayang, jangan duduk di sini, nanti kena hujan," tegur ibunya dari dalam rumah, membuyarkan lamunan Ara.
"Ibu, kalau ayah belum pulang juga bagaimana? Aku takut beliau kehujanan di luar sana," cemas Ara. Dia tak membayangkan ayahnya kebasahan diterpa hujan lebat seperti ini.Â
Ibunya keluar dengan membawa secangkir teh lagi, lalu duduk di samping Ara. Diusapnya lembut kepala anak semata wayangnya itu.
"Ayah pasti sedang mencari tempat berteduh dulu. Beliau akan pulang nanti kalau hujan sudah reda. Berdoalah yang baik saja untuk ayah, nak," hibur ibunya.
Ara mengangguk, lalu menyeruput tehnya perlahan. Semoga ayahnya baik-baik saja di luar sana, batinnya mengiba.
Tetesan hujan mulai menyambut mentari yang tenggelam di peraduan sore. Ara dan ibunya masih menanti dengan hati yang gelisah.Hingga derap langkah seseorang terdengar mendekat, disambut senyuman lega dari keduanya. Ayah mereka pulang, membawa ransel basah dan senyuman khas hangat untuk keluarga kecilnya.
Ayah pulang, anak-anak ayah!"
Dan ara pun sangat senang ketika mendengar suara ayahnya yg kembali bekerja
Dan hujan teduh itu kini terasa begitu menyejukkan.