Mohon tunggu...
Anis Hidayati
Anis Hidayati Mohon Tunggu... Pengajar -

Bocah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Model-Model Pengujian Kebenaran: Dogmatis, Spekulatif, Verifikatif, dan Falsifikatif

21 April 2013   12:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:51 3816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

A. Dogmatis

Secara bahasa Dogma adalah pokok ajaran (ajaran yang tidak boleh di bantah), kepercayaan.[1] Dogma berasal dari bahasa Yunani 'dogmata', yang artinya keyakinan, kepercayaan, dan suatu asas. Sedangkan Dogmatis adalah sesuatu yang bersifat otoritatif yang diharapkan dapat mengikat kalangan tertentu tanpa adanya kritik dan penyelidikan atas dasar-dasarnya. Suatu dogma di dasarkan atas suatu anggapan yang tidak dapat diselidiki. Contoh dari Dogma adalah kebenaran yang diwahyukan langsung oleh Tuhan yang termuat dalam Kitab Suci dan harus di yakini oleh seluruh umat beragama sebagai perkara agama. Dogmatisme merupakan salah satu aliran filsafat yang tidak terbatas kepercayaannya kepada akal manusia. Menurut aliran ini, manusia dapat mengetahui segala sesuatu dengan akalnya (melalui rasio).[2]

Paham dogmatisme berkembang pada zaman abad pertengahan. Semboyan yang dipakai pada masa ini adalah ‘ancilla theologia’ (abdi agama), sehingga semua aktifitas ilmiah selalu berkaitan dengan aktifitas agama.[3] Paham ini menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar Ilmu Pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggung jawabkannya secara kritis.[4] Sifatdogmatis dalam agama menimbulkan jika, pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan tertentu, sehingga menganggap bahwa pernyataan (ayat) yang ada di dalam kitab suci mengandung nilai kebenaran yang sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Kandungan dari ayat kitab suci ini tidak dapat di ubah dan sifatnya absolut. Namun implikasi dari makna kitab suci tersebut dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan waktu.[5]

Pemikiran dogma memiliki kepercayaan yang besar mengenai keagamaan, seperti contoh dogma menurut agama kristen bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Aliran seperti ini bertolak dengan filsafat Yunani Kuno, namun filsafat Yunani Kuno juga memperkuat pendapat tersebut. Menurut filsafat Yunani Kuno yang bertolak dari pendapat tersebut adalah, bahwa kebenaran dapat di capai oleh kemampuan akal (rasional). Sebaliknya, pendapat filsafat Yunani Kuno yang memperkuat pendapat dari paham dogma tersebutadalah, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, kebijaksanaan manusia berarti kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan pula. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran sejati, oleh karenanya kal dapat di bantu oleh wahyu.[6] Bagi aliran dogmatisme, wahyu merupakan sebagai salah satu sumber pengetahuan. Keyakinan terhadap wahyu adalah berupa peraturan-peraturan atas agama.[7]

B. Spekulatif

Secara bahasa Spekulasi adalah renungan, terpekur. Secara istilah ialah Suatu pendapat atau dugaan yang tidak (belum) berdasarkan atas suatu kenyataan.[8] Spekulasi merupakan suatu hal yang berguna untuk mengembangkan dan mencoba berbagai hipotesa. Spekulasi berangkat dari keinginan untuk mengembangkan dan mencoba memecahkan suatu masalah yang di tandai dengan beberapa usaha mencari solusinya. Misalnya seperti mengusulkan satu hipotesa atau lebih. Spekulasi merupakan karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah.[9] Hasil pemikiran spekulasi di jadikan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru.[10] Hal ini tidak dapat di hindari, karena bagaimanapun juga jika kita ingin menyusur sebuah lingkaran (menjelajah sebuah masalah), maka kita harus memulainya terlebih dahulu dari sebuah titik (langkah awal) spekulasinya.[11]

Menurut Descrates dalam bukunya ‘Perenungan tentang Filsafat Pertama’ (1641), Spekulasi merupakan sesuatu yang mendasari keragu-raguan tentang segala sesuatu, khususnya tentang hal-hal yang bersifat material. Sifat keragu-raguan ini dapat membebaskan kita dari berbagai macamprasangka, dimana prasangka ini dapat melepaskan akal dari pengaruh panca indra. Sehingga dapat memberikan jalan sederhana atau komponen-komponen (kesimpulan) yang membentuk keseluruhan.[12]

Di dalam proses Spekulasi, baik di dalam analisis maupun pembuktiannya, kita harus dapat memisahkan Spekulasi mana yang dapat di andalkan, dan mana yang tidak dapat di andlkan. Karena tugas utama dari spekulasi adalah menetpkan suatu dasar yang dpat di andalkan secara logis ataupun kebenarannya, sebagai langkah awal dari penelusuran suatu pengetahuan. Jika seandainya tidak menetapkan kriteria apa yang di sebut benar, maka tidak akan mungkin suatu pengetahuan dapat berkembang di atas dasar kebenaran. Misalnya, tanpa adany suatu wawasan mengenai apa yang di sebut indah atau jelek, maka tidklah mungkin kita berbicara tentang kesenian.[13]

C. Verifikatif

Verifikasi berasal dari bahasa Inggris, yakni Verification, yang artinya pemeriksaan tentang suatu kebenaran atas laporan, pernyataan, dan lain-lain.[14] Verifikasi merupakan salah satu cara pengujian hipotesis yang tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori, prinsip-prinsip, generalisasi, dan hukum-hukum.[15] Verifikasi adalah pandangan yang dikembangkan oleh Neo-Positivisme atau yang di kenal Positivisme Logis.[16] Pandangan ini dipengaruhi oleh Auguste Comte (1798-1857) tentang pengetahuan yang berlandaskan pada pendekatan logis dan pasti ( positif).[17] Aliran ini berpendapat bahwa :


  • Sumber pengetahuan terletak pada pengalaman yang berasal dari panca indra (empiris).
  • Dengan adanya logika dan matematika, dapat digunakan sebagai pengolah suatu data empiris.
  • Adanya demarkasi ( garis batas) antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak bermakna.
  • Menolak metafisika yang menggunakan ungkapan atau pernyataan bahasa yang tidak bermakna.
  • Filsafat Ilmu Pengetahuan dipandang sebagai logika Ilmu yang di susun berdasarkan analogi logika formal (diarahkan pada forma atau bentuk) dan pernyataan-pernyataan yang logis.[18]

Menurut Moritz Sclick, Verifikasi merupakan pengamatan empiris secara langsung, artinya pernyataan yang di ambil langsung dari objek yng di amati itulah yang benar-benar mengandung makna. Oleh karenanya, pengetahuan di mulai dari suatu pengamatan peristiwa. Dalam hal ini Alfred Jules Ayer menegaskan bahwa Verifikasi merupakan suatu cara untuk merumuskan suatu proposisi (pernyataan) jika pernyataan yang diungkapkan itu dapat di analisis atau dapat di verifikasi secara empiris.[19]

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Verifikasi di gunakan untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Artinya, jika suatu pernyataan dapat di verifikasi, maka pernyataan tersebut adalah bermakna, sebaliknya jika suatu pernyataan tidak dapat diverifikasi, maka pernyataan tersebut tidak bermakana. Dalam hal ini, prinsip dasar verifikasi ialah terletak pada proposisinya (suatu pernyataan). Suatu proposisi dinyatakan bermakna jika dapat diuji dengan pengalaman (empiris) dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi).

Pandangan Verifikasi menolak atas metafisika. Karena metafisika di anggap tidak bermakna sebab metafisika mengandung proposisi yang tidak dapat di verifikasi. Menurut Rudolf Carnap (1891-1970), metafisika merupakan proposisi yang “Pseudo-Statements”, yakni suatu proposisi (pernyataan) yang melanggar aturan-aturan sintaksis logika dari pembuktian empiris.[20] Oleh karenanya, pernyataan metafisis harus ditolak, karena metafisis bertentangan dengan kriteria empiris.

D. Falsifikatif

Falsifikasi berasal dari kata falsafah, yang secara bahasa berarti anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling mendasar. Sedangkan secara istilah berarti penelitian berdasarkan akal budi menurut sebab, asas, hukum dan sebagainya atas segala sesuatu mengenai kebenaran dan tentang arti dari 'adanya' sesuatu.[21]

Salah satu tokok falsifikatif adalah Karl Raimund Popper (1902). MenurutPopper, falsifikasi atau falsifiabilitas adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat antara sesuatu yang dapat disebut ilmu dengan yang bukan ilmu.[22]Falsifikasi adalah salah satu teori yang berguna untuk menilai, menguji, dan membuktikan suatu kebenaran. Pada dasarnya, aliran Falsifikatif adalah suatu aliran yang tidak puas bahkan menentang atas prinsip verifikatif, yakni prinsip pembedaan antara ungkapan yang bermakna (prinsip Ilmu Pengetahuan empiris) dan yang tidak bermakna (metafisika) yang diyakini oleh kelompok Wina.[23] Menurut aliran ini, suatu teori tidak dapat hanya dengan diverifikasi (tidak bersifat ilmiah, hanya karena dapat dibuktikan) melainkan ialah karena teori itu dapat diuji dengan percobaan-percobaan yang sistematis untuk menyangkal kebenarannya. Apabila suatu hipotesa (teori) dapat bertahan atas penyangkalan-penyangkalan dari kebenarannya (falsifikasi), maka kebenaran hipotesa (teori) tersebut akan semakin diperkokoh. Artinya, jika suatu toeri itu semakin besar kemungkinannya untuk disangkal dan teori tersebut tetap bertahan, maka semakin kokoh pula kebenarannya.[24]

Menurut aliran ini, pada dasarnya tujuan dari suatu penelitian ilmiah adalah untuk membuktikan kesalahan dari suatu teori hipotesa, dan bukan untuk membuktikan kebenaran dari suatu hipotesa. Atas dasar demikian falsifikasi dijalankan sebagai ciri utama teori ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan suatu Ilmu Pengetahuan terjadi karena akibat dari eliminasi terhadap suatu kemungkinan-kemingkinan yang salah atas kebenarannya.[25] Dengan cara melakukan pengujian kebenaran menggunakan metode mencari kesalahan (falsifikasi) pada suatu hipotesis, maka hipotesis yang salah akan ditinggalkan dan digantikan oleh hipotesis yang baru.[26] Jadi dapat disimpulkan bahwa kriteria keilmiahan sebuah teori harus dapat di salahkan (falsifiability), dapat di sangkal (refutability), dan dapat di uji (testabilyty). Pemikiran Popper ini dikenal sebagai Epistemolog Rasionalisme-Kritis dan Empirisis Modern.[27]

[1]Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Surabaya :Amelia, 2003), hlm 126.

[2]R. Soegarda Poerbakawatja, H. A. H. Harahap,Ensiklopesi Pendidikan, (Jakarta : PT. Gunung Agung, 1982), hlm 82.

[3]Surajiyo,Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia(Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008), hlm 85.

[4]Muhammad Muslih,. Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Belukar, 2004), hlm 85.

[5]Surajiyo, 2008, hlm 104.

[6]Ibid, hlm 85.

[7]Ibid, hlm 30.

[8]R. Soegarda Poerbakawatja, dan H. A. H. Harahap, 1982, hlm 450.

[9]Muhammad Muslih, 2004, hlm 47-48.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun