Mohon tunggu...
Ani Rahmanti
Ani Rahmanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - @anirahmanti

Msc in Poverty, Inequality and Development

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Agama terhadap Kemajuan Pembangunan

26 Februari 2023   22:10 Diperbarui: 26 Februari 2023   22:24 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama beberapa dekade ke belakang, peran agama telah diabaikan dalam proses pembangunan global. Hal ini disebabkan oleh pemahaman modernisme yang menyatakan bahwa semakin modern suatu masyarakat, maka nilai-nilai agama akan dengan sendirinya hilang di tengah masyarakat tersebut. Dengan kata lain, modernisme dan sekulerisme adalah 2 hal yang berjalan seiringan. 

Hal ini didasari oleh teori pembangunan modernisme di tahun 50-60an yang telah mendikte arah pembangunan global agar sejalan dengan proses pembangunan yang telah dilalui oleh Dunia Barat. Teori ini mengasumsikan bahwa hanya ada satu cara bagi sebuah negara agar bisa maju, yaitu dengan menjadi masyarakat modern yang rasional. Rasionalitas ini pada akhirnya menghilangkan ikatan masyarakat terhadap tradisi, termasuk di dalamnya adalah agama. Singkatnya, pengaruh agama akan melemah seiring dunia yang terus maju.

Namun, di akhir abad 20, sanggahan atas asumsi ini mulai bermunculan. Prediksi bahwa agama pada akhirnya akan lenyap seiring masyarakat yang menjadi modern dianggap terlalu menyederhanakan realitas yang ada. Peter L Berger, seorang sosiolog yang salah satu studinya mempelajari sosiologi agama, menyatakan bahwa bukti empiris yang ada tidak mendukung teori tersebut. Ia menemukan bahwa sebagian besar dunia ini masih memegang nilai-nilai religius yang sama seperti dulu.

Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir, agama-agama mayoritas dunia terus mengalami kebangkitan. Berger menjadikan Amerika sebagai contoh sebuah negara superpower dengan religiusitas masyarakat yang tinggi, bahkan pengaruh kelompok agama masih sangat kental dalam pertarungan politik negara tersebut. Religiusitas yang masih terlihat di Amerika ini pun juga terlihat di bagian dunia lainnya, dengan pengecualian dunia Eropa. Hal ini terjadi karena agama, menurut Berger, merespon modernitas dengan setidaknya 2 cara, yaitu penolakan (rejection) dan penyesuaian (adaptation).

Berger menamai fenomena ini sebagai counter-secularization, sehingga, ia menolak anggapan bahwa modernitas dan sekulerisme adalah 2 fenomena yang memiliki akar yang sama. Berger menekankan bahwa sekulerisme adalah fenomena unik yang terjadi di dunia Eropa. Lalu, bagaimana hal ini mempengaruhi agenda pembangunan? 

Teori modernisme yang menganggap agama sebagai sebuah lawan dari kemajuan telah memunculkan skeptisme global atas peran agama dalam pembangunan suatu negara. Selain itu, munculnya pendekatan pembangunan berbasis "human rights" memainkan peran dalam membentuk persepsi bahwa agama adalah penghalang proses pembangunan. Pendekatan "human rights" ini berpusat pada beberapa prinsip diantaranya kesetaraan (equality), keadilan (equity) dan pemberdayaan (empowerment), dan segala pelanggaran atas hak asasi manusia dinilai bertentangan dengan pembangunan.

Pertanyaannya, siapakah yang menentukan poin-poin yang tercakup di dalam hak asasi manusia? Pemahaman bahwa pembangunan dan human rights adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan telah diformalkan oleh UN di tahun 1986 yang rumusannya telah dikemas di dalam Universal Declaration of Human Rights (UHDR).

Akan tetapi, pendekatan berbasis hak asasi manusia ini pun menuai kritik. Dengan ditemukannya fakta bahwa mayoritas masyarakat dunia masih memegang nilai-nilai religius, prinsip-prinsip yang tercakup dalam UDHR tersebut dianggap bias terhadap sekulerisme barat. Hal ini menjadikan interaksi antar agama dengan pembangunan menjadi cukup rumit.

Pada akhirnya, segala proses pembangunan dinilai akan berhasil jika selaras dengan basis moral masyarakat dimana pembangunan itu terjadi. Basis moral masyarakat barat yang tidak lagi diwarisi dari nilai-nilai religius, tentu tidak relevan untuk diterapkan di dalam konteks masyarakat yang masih menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan moralnya. Disinilah perdebatan tentang memasukan peran agama ke dalam proses pembangunan mulai muncul. Fenomena ini disebut juga sebagai 'turn to religion'. 

Aktor-aktor pembangunan (e.g. development scholar, NGOs, Donor Agencies) yang menyambut gagasan ini mulai membuka diri untuk bekerja sama dengan organisasi berbasis agama, termasuk meningkatkan pendanaan kepada organisasi-organisasi tersebut. Salah satu contohnya adalah Department for International Development (DFID), sebuah department khusus penyaluran foreign aid di UK, yang memutuskan untuk meningkatkan pendanaan sebanyak dua kali lipat kepada organisasi-organisasi berbasis keagamaan. 

Selain itu, pemimpin-pemimpin keagamaan pun mulai dilibatkan dalam diskursus pembangunan, seperti Millenium Development Goals (MDGs). Keterlibatan peran agama ini dianggap efektif dalam membawa proses pembangunan hingga ke akar rumput. Akan tetapi, tentu saja pendeketan 'turn to religion' ini menuai resistensi dari pihak-pihak lainnya. Salah satu kritik utama yang muncul yaitu keterlibatan aktor-aktor agama di dalam agenda pembangunan dianggap memiliki konsekuensi gender sebab agama dinilai sebagai faktor pendorong sistem patriarki di masyarakat.

Anggapan bahwa agama mempengaruhi perempuan secara tidak menguntungkan, memberikan resistensi untuk mengikutesertakan agama di dalam proses pembangunan. Sebuah studi menemukan bahwa religiusitas berkorelasi positif terhadap ketidaksetaraan gender di suatu negara, bahkan setelah memperhitungkan GDP dan tingkat pembangunan masyarakat. Tomalin, seorang profesor studi agama dari University of Leeds, menggambarkan bagaimana komunitas Buddhist di Thailand mempengaruhi suburnya industri prostitusi karena anggapan bahwa perempuan memiliki status yang lebih rendah dari laki-laki. 

Hal ini menyebabkan para perempuan menjadi pekerja seks untuk membantu keluarganya dan memberikan donasi kepada biksu, dengan harapan bahwa tindakan mereka menjadi amal baik yang membantu memperbaiki takdir mereka saat mereka dilahirkan kembali. Selain itu, banyak juga studi yang menganalisis hak-hak perempuan dalam konteks masyarakat muslim. Di Nigeria, contohnya, penerapan hukum syariah dinilai merugikan perempuan. Pandangan bahwa nilai-nilai religius menciptakan keadaan yang buruk kepada perempuan telah menjadi justifikasi atas intervensi militer Barat terhadap negara-negara muslim.

Taliban Afghanistan menjadi salah satu contoh yang paling sering digunakan, dan masih sangat relevan, untuk mem-framing persepsi global akan ketimpangan gender dalam konteks masyarakat muslim. Setelah kembali berkuasa, Taliban dianggap  belum memenuhi janjinya untuk memberikan hak yang setara kepada perempuan dalam akses hak-hak dasar, seperti pendidikan dan lapangan pekerjaan. Lalu, dengan banyaknya studi terkait ketidaksetaraan gender dalam konteks agama, apakah agama menjadi tidak relevan dalam visi pembangunan gender? 

Nyatanya, meskipun banyak studi memperlihatkan pengaruh agama yang merugikan perempuan, nilai-nilai agama masih dianggap penting dalam kehidupan banyak perempuan. Hal ini membuat pendekatan pembangunan sekuler menjadi tidak relevan bagi mereka. Maka, jalan tengah yang perlu dilakukan adalah bagaimana agenda pembangunan gender tetap bisa diperjuangkan tanpa menghilangkan nilai-nilai inti agama. Peach dalam studinya menyatakan bahwa tradisi agama yang dipandang sebagai sumber penindasan perempuan dapat juga digunakan sebagai sumber pemberdayaan perempuan. 

Jika kita kembali ke kasus perempuan Buddhist di Thailand, Tomalin menyatakan bahwa persepsi yang menilai fenomena prostitusi sebagai isu kemiskinan semata telah mengabaikan akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu kurangnya kepemimpinan perempuan di dalam komunitas Buddhism itu sendiri. Dengan mempertimbangkan akar permasalahan ini, gerakan wanita Buddhist mulai muncul untuk mengatasi stereotype negative terhadap perempuan dalam tradisi Buddhism. 

Peach menyatakan bahwa dalam kasus ini, pendekatan melalui teks-teks suci Budha akan jauh lebih efektif untuk menanggulangi permasalahan yang ada dibandingkan bersandar pada prinsip-prinsip internasional HAM semata. Sebab bagaimanapun, nilai-nilai keagamaan masih menjadi basis moral penting di tengah-tengah perempuan Buddhist, sehingga mengandalkan intervensi nilai-nilai HAM yang condong kepada nilai sekuler Barat akan memberikan resistensi terhadap pembangunan yang terjadi. Disinilah peran agama masih sangat relevan untuk diikutsertakan dalam proses pembangunan.

Selain itu, mari ambil contoh Indonesia, Negara terbesar ke 4 yang juga termasuk ke dalam 20 Negara ekonomi terbesar dunia. Sejak tahun 1917, Indonesia telah memiliki organisasi perempuan pertama bernama Aisyiyah, sebuah organisasi perempuan Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan dengan tujuan untuk menigkatkan kesadaran perempuan terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat melalui pendidikan. Organisasi ini meyakini bahwa perempuan bisa mengambil peran di dalam masyarakat dengan tetap membaktikan dirinya kepada Tuhan.

Kini, Aisyiyah sudah berusia lebih dari 1 abad dan perannya tetap konsisten dalam pembangunan perempuan berbasis nilai-nilai islam. Ia menjadi salah satu partner dalam program bilateral Australia dan Indonesia terkait Gender Equality and Women's Empowerment. Di tahun 2016, Devpolicy.org merilis wawancara dengan perwakilan Aisyiyah yang menjelaskan organisasinya sebagai gerakan sosial Islam progresif, yang berarti merangkul prinsip dan praktik modern bersama dengan nilai-nilai islam di masyarakat. 

Fenomena ini menunjukan bahwa setiap masyarakat memiliki mekanisme sendiri dalam mendukung pembangunan dan kemajuan, atau disebut oleh Tomalin sebagai "indigeneous mechanism". Proses pembangunan yang lahir dari dalam masyarakat lokal ini sangat patut untuk diikutsertakan dalam agenda pembangunan utama, yang salah satunya lahir dari dorongan nilai-nilai agama.

Maka, kembali ke judul dari tulisan ini, agama memiliki peran yang sangat relevan terhadap proses pembangunan global. Mengutip kembali apa yang dikatakan Peach, nilai-nilai agama yang dianggap menjadi hambatan atas pembangunan sangat bisa digunakan sebagai bahan bakar yang mendorong pembangunan. 

Agar hal ini bisa tercapai, harus ada jembatan yang dibangun antara aktor-aktor agama dengan para pelaku pembangunan global. Hal ini bukan untuk menyamakan apa yang berbeda, sebab perbedaan sendiri adalah sebuah keniscayaan. Tetapi, ini tentang bagaimana setiap perspektif dilibatkan di dalam diskursus pembangunan yang sedang berjalan. Sebab, pada akhirnya pembangunan harus memiliki prinsip Leave No One Behind.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun