Mohon tunggu...
Ani Rahmanti
Ani Rahmanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - @anirahmanti

Msc in Poverty, Inequality and Development

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pekerjaan Domestik dan Ketimpangan Gender

29 November 2022   08:30 Diperbarui: 29 November 2022   09:09 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang pembangunan ternyata tak bisa lepas dari bahasan mengenai gender. Sebab faktanya, perjuangan pembangunan berbasis gender sudah menjadi bagian integral dari perjalanan pembangunan global, setidaknya sejak dimulainya women’s liberation movement pada tahun 1970s. Diskursus ini terus berkembang, hingga kita sampai pada sebuah frasa ‘Gender Equality’ sebagai salah satu catchphrase di dalam agenda pembangunan di masa sekarang. 

Gender Equality atau Kesetaraan gender menempati poin ke 5 dari 17 visi pembangunan global hingga tahun 2030, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs). Ada begitu banyak target dan indicator yang ditetapkan untuk mengukur keberhasilan pembangunan gender di dalam SDGs, salah satu target yang menarik perhatian saya adalah ‘Recognize and value unpaid care and domestic work’. 

Menurut saya, kapitalisme berpengaruh besar dalam bagaimana kita menilai dan memandang sesuatu. Ia adalah system yang membuka gerbang pembangunan ke era modern dan menjadi sebuah system yang hingga saat ini bertahan paling lama dalam mengarahkan pembangunan global (segala gagasan tentang alternatif pembangunan selalu berpusat pada how to improve or replace capitalism, yet, yes, capitalism still exist). 

Kapitalisme berawal dari sebuah system perekonomian yang kemudian menjelma sebagai struktur sosial-budaya dan politik yang mengkokohkan keberadaannya. Tanpa disadari, ia membuat kita menilai segala sesuatu dengan ukuran materi yang pada akhirnya membentuk cara pandang kita dalam menentukan sesuatu yang bernilai dan tidak bernilai. Hal-hal yang tidak menghasilkan pendapatan atau kekayaan dianggap tidak berkontribusi pada ekonomi, oleh karenanya diremehkan, bahkan dianggap sebagai ‘beban’ yang harus ditanggung.

Pekerjaan domestic sebagai contohnya. Entah kenapa pekerjaan mengurus rumah dan segala isinya, termasuk mengurus setiap manusia di dalamnya ini dipandang sebagai suatu hal yang remeh dan tidak setara nilainya dengan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah. Mungkin karena mereka yang bekerja di luar rumah dianggap berkontribusi pada ekonomi dan menanggung ‘beban’ dari mereka yang ‘hanya’ bekerja di rumah tanpa menghasilkan pendapatan. 

Pada tahun 2020, Oxfam mengeluarkan analisa jika pekerjaan domestic atau ‘unpaid work’ ini dihitung menggunakan currency unit dengan minimum wage sebagai basisnya, dalam 1 tahun pekerjaan ini menghasilkan 10,9 Triliun US Dollar secara global. Tetapi angka ini tidak masuk dalam perhitungan GDP dan diabaikan dari indicator pertumbuhan ekonomi manapun, oleh karenanya ia tetap tidak bernilai.

Cara pandang sosial yang memberikan penghargaan lebih rendah terhadap pekerjaan rumah tangga, menurut saya, telah menciptakan sebuah kesenjangan sejak dalam pikiran. Sebab bagaimanapun, hingga sekarang, urusan domestik dianggap sebagai pekerjaan berbasis gender yang secara tradisional disematkan kepada perempuan. Sikap menilai rendah pekerjaan domestik yang secara tradisional dikerjakan oleh perempuan dan menilai pekerjaan produktif (dalam hal ini diartikan sebagai pekerjaan yang menghasilkan pendapatan) lebih bergengsi, dimana utamanya dikerjakan oleh laki-laki, memberikan ketidaksetaraan dalam hubungan laki-laki dan perempuan.

Menurut saya, cara pandang kita yang meremehkan pekerjaan domestik pada akhirnya menimbulkan berbagai macam permasalahan, khususnya ketimpangan gender, karena bagaimanapun domestic work is a woman’s work, they say. Sangat umum kita menemukan pandangan yang menyatakan bahwa perempuan, yang pada akhirnya ‘hanya’ akan mengurus rumah, tak perlu bersusah payah mengejar karir atau pendidikan yang tinggi (yes, I do have a friend that once was told by a male that she shouldn’t be worry too much about her career because eventually she will end up in a kitchen!). 

Dalam masyarakat yang berada dalam kemiskinan, akses akan pendidikan adalah sebuah ‘privilege’ yang diberikan kepada anak laki-laki karena ia dianggap akan menjadi pemberi nafkah dimasa depan. Sedangkan, anak perempuan membantu pekerjaan domestik dan dianggap sebagai ‘pelatihan’ untuk menjadi istri dan ibu yang ‘baik’. Disisi lain, banyak pandangan yang menyayangkan, bahkan mencibir, perempuan dengan pendidikan tinggi yang berakhir hanya sebagai ibu rumah tangga.

Menurut saya, berbagai pandangan dan fenomena sosial tersebut mendegradasi nilai dari Pendidikan dan pekerjaan domestik itu sendiri. Makna Pendidikan dipersempit menjadi sebuah alat untuk mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan kekayaan, mengabaiakan potensi yang lebih besar dari sebuah Pendidikan yaitu untuk membangun manusia, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara pikiran dan moral yang akhirnya berujung pada perubahan sosial kearah yang lebih maju. 

Terdengar idealis memang, tapi penyempitan makna Pendidikan menjadi suatu hal yang pragmatis, menurut saya, berpengaruh besar dalam hasil dari Pendidikan itu sendiri. Anggapan bahwa Pendidikan dan peran dalam pekerjaan domestik adalah dua hal yang tidak sejalan memberi batasan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan, yang pada akhirnya menghalangi perempuan untuk menjadi manusia maju dan berdaya.

Di sisi lain, anggapan yang menyudutkan perempuan berpendidikan tinggi yang ‘hanya’ mengurus rumah tangga mengisyaratkan bahwa kita memandang pekerjaan domestik terlalu remeh untuk dikerjakan oleh orang yang berpendidikan.

Menurut saya, sudah sepantasnya pekerjaan rumah tangga ini mendapatkan penghargaan yang lebih karena rumah adalah fondasi utama dan membangun fondasi bukanlah hal yang mudah. Jika seorang pengusaha mencari karyawan dengan Pendidikan yang baik untuk membesarkan perusahaannya, kenapa hal ini tidak diaplikasikan dalam membangun rumah dan segala isinya? Mungkin memang karena kita mengamini bahwa pekerjaan domestik adalah urusan yang kecil.

Jika kita mau mengubah paradigma berpikir tentang pekerjaan ‘mengurus rumah dan segala isinya’ ini dengan memberikan penghargaan yang setara dengan pekerjaan lainnya di luar rumah, menurut saya hal itu akan cukup membantu dalam memeperbaiki cara pandang dan perlakuan kepada perempuan, yang kemudian akan memberikan kesetaraan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. 

Saya percaya bahwa pendidikan dalam makna yang lebih luas (bukan  pragmatis) berpengaruh besar dalam berbagai hal, termasuk urusan domestik. Sebab, rumah adalah fase awal dalam terbentuknya generasi baru dan itu bukan pekerjaan yang mudah. 

Jika kita benar-benar memberikan penghargaan yang lebih pada pekerjaan domestik, sudah sepantasnya kita mendudukung perempuan untuk maju, berdaya dan mandiri, sehingga pada akhirnya kita dapat mengurangi ketimpangan gender yang ada dengan menjadikan peran laki-laki dan perempuan bukan sebagai susunan hierarchy, dimana peran laki-laki dianggap lebih tinggi, tetapi sebagai sebuah peran yang setara.

Di dalam tulisan ini, saya tidak bertujuan untuk menyatakan bahwa pekerjaan domestik hanya dan harus dilakukan oleh perempuan. Tetapi, saya coba memahami bagaimana ketimpangan gender hadir dari cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, yang secara tradisional dipandang sebagai pekerjaan perempuan. 

Saya percaya bahwa peran perempuan di ranah publik sangat dibutuhkan, sebab perempuan memiliki sudut pandang dan pengalaman hidup yang unik yang sangat perlu untuk dipertimbangkan dan diakomodasi oleh wacana publik, dan hal itu hanya bisa disampaikan secara tepat oleh perempuan. 

Tetapi, saya juga percaya bahwa perempuan berhak memilih peran dan kontribusinya sendiri, baik itu di dalam ataupun di luar rumah, tanpa harus merasa terintimidasi karena pilihannya. Dan, terlepas dimanapun ranah kontribusi yang dipilih oleh perempuan, perempuan berhak untuk maju dan berdaya, baik secara ekonomi, pendidikan dan aspek sosial lainnya.

Jika kita kembali kepada salah satu target kesteraan gender dalam SDGs yaitu ‘Recognize and value unpaid care and domestic work’, indicator keberhasilannya adalah proporsi waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan domestik berdasarkan jenis kelamin, usia dan lokasi. Dimana, semakin kecil perbedaan proporsi waktu perempuan dan laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan domestik, maka dinilai semakin baik. Oleh karenanya, perempuan dan laki-laki sudah seharusnya memiliki peran yang setara dalam pekerjaan rumah tangga.

Last, If we really think that doing housework and rising child are important, should we disregard these works and disempower women?

Source:

Rao, N. & Sweetman, C. (2014). Introduction to Gender and Education. Gender & Development, 22:1.

UN SDGs

Wezerek, G. & Ghodsee, K. (2020). Women Unpaid Labor is Worth $10,900,000,000,000. The New York Times.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun