Sejarah, apa boleh buat, telah lama menjadi ladang perebutan ideologi dan kepentingan. Dan Hatta adalah seorang pecundang, yang kalah dalam perebutan itu.
1956, Bung Hatta resmi menyandang status rakyat biasa; menanggalkan kekuasaanya dan menjadi oposisi setia pemerintah. Baginya, kekuasaan hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuannya jelas dan tidak pernah berubah; menyejahterkan rakyat kecil. Jika alat yang ia miliki sudah usang dan tidak efektif dalam mewujudkan tujuannya, maka sudah saatnya untuk ditinggalkan.Â
Bung Hatta adalah sosok penuh idealisme dan cita. Bersama pena dan buku, ia berjuang melepaskan belenggu penjajahan dari tanah air. Ia setia pada buku-bukunya yang ia bawa dari Belanda hingga ke tanah buangan; Digul dan Banda Neira. Di tanah buangan pun, ia masih menjadikan tulisan sebagai alat perlawanan. Dengan menjadikan 16 peti buku sebagai amunisinya, ia konsisten mengirimkan tulisan-tulisannya ke koran-koran di Batavia maupun Den Haag. Badannya memang terpenjara, tapi pikirannya tetap merdeka. Dan Bung Hatta menolak untuk bungkam.
Ketajaman pena dan kekuatan pikirannya adalah sumbangan terbesar Bung Hatta, yang ia ukir dan abadikan sepanjang hidupnya. Ia tidak memilih jalan pemberontakan ataupun pergerakan massa, ia telah mencontohkan bagaimana berdemokrasi dengan santun. Baginya, persoalan perbedaan pendapat dalam urusan pemerintahan tidak bisa diselesaikan lewat jalan pemberontakan. Dan, ia konsisten dengan apa yang ia ucapkan, ia membuktikannya sepanjang riwayat kehidupannya. Ia teguh menjadikan tulisan sebagai medium untuk memperjuangkan cita-citanya sekaligus melawan kediktatoran penguasa. Meski pada akhirnya, sejarah harus mencatatnya hanya sebagai angin lalu bagi penguasa.
Ya, mungkin Bung Hatta hanyalah angin lalu. Sejak tak lagi menjadi wakil presiden, Bung Hatta kerap mengirimkan surat kepada Sukarno dan tulisan ke berbagai majalah. Hingga pada akhirnya, Bung Karno melarang penerbitan majalah Pandji Masyarakat yang memuat tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita - sebuah kritik tajam Bung Hatta terhadap sistem Demokrasi Terpimpin - di tahun 1960. Semenjak itu, Bung Hatta memilih untuk tidak lagi mengirimkan tulisannya ke majalah karena khawatir majalah tersebut akan mengalami nasib yang sama. Tetapi, Bung Hatta tetap konsisten mengirim surat kepada Bung Karno. Ia tak punya hati untuk membiarkan tanah airnya berjalan ke arah yang salah.Â
Tak hanya pembredelan majalah, semenjak tulisan itu terbit, Bung Hatta resmi menjadi tahanan kota. Ia dijaga oleh mata-mata pemerintah, dilarang mengajar di UGM dan tidak diizinkan untuk menghadiri konferensi di luar negeri, dimana Bung Hatta bisa menjadi pembicaranya. Ia mungkin kesal, tapi ia tidak memberontak, meski ada begitu banyak massa di belakangnya yang siap mendukungnya. Seperti di tahun 1957-1958, saat pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi pecah dengan menamakan gerakannya sebagai PRRI-Permesta, massa mengajak Bung Hatta bergabung dan berharap ia bersedia memimpin pemberontakan. Tapi, Bung Hatta menolak. Ia orang yang patuh pada konstitusi; begitulah ia menjaga marwah demokrasi yang begitu keras ia perjuangkan.
Pada masa Orde Baru, Bung Hatta sempat berusaha mendirikan partai baru, Partai Demokrasi Islam Indonesia, yang menyatukan kaum nasionalis dan islam. Tetapi, partai itu tidak diizinkan berdiri oleh Soeharto dan Bung Hatta menerimanya. Kemudian, sebagaimana yang ia lakukan selama masa pemerintahan Bung Karno, Bung Hatta juga kerap mengirimkan surat kepada Seoharto, penguasa di masa yang baru. Bung Hatta tidak pernah berhenti, ia hanya memilih jalan perjuangan yang sunyi. Ia bukan seorang pecundang, ia adalah pejuang hingga akhir hayatnya.Â
Pemikiran-pemikiran Bung Hatta memang tidak disambut dengan baik oleh zaman yang terus berubah, tetapi itu semua sangat jelas untuk memperlihatkan keberpihakan Bung Hatta. Dan, niat yang lurus itulah yang tidak pernah berubah darinya, pun setelah ia merasakan kekuasaan. Ia orang yang lurus hingga akhir kehidupannya, membaktikan pemikiran dan perjuangannya murni untuk Negara, bukan untuk harta, kekuasaan apalagi wanita.Â
Boleh saja sejarah mencatat Bung Hatta sebagai orang yang kalah. Mungkin, ia memang kalah di dalam kekuasaan. Tapi, ia berhasil dalam kehidupannya. Ia berhasil menjadi teladan, bukan hanya sebagai seorang pejabat, tetapi juga sebagai seorang individu. Ia berhasil menjadi contoh dari ketinggian moralitas dan intelektualitas. Ia berhasil menjaga kesederhanaannya dengan tetap menjadi pria yang terhormat. He didn't seek for it, he earned it.
Sejarah mencatat kekalahan bung hatta dalam perang kekuasaan, tetapi sejarah juga telah menjadikan Bung Hatta sebagai sosok yang berhasil menjadi contoh sempurna untuk diteladani. Jujur, adil, dan bijaksana; begitu lantunan lagu Iwan Fals.
Ia memang tidak berhasil, karena akhirnya di zaman Soekarno ia tidak didengar lagi dan di zaman Soeharto ia tidak dipedulikan. Praktis ia dianggap angin lalu. Tetapi, dialah sebenarnya yang patut dan perlu dicontoh oleh siapapun di Indonesia ini, baik ia sebagai pribadi maupun pejabat. Ia memang jujur, ikhlas, dan santun. Ia memegang amanah.Â
-Deliar Noer, Antara Ide Agama dan Kebangsaan.
Referensi:
Tempo. 2017. Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. Jakarta: KPG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H