Ini bukan soal sok berilmu atau mencoba menjadi guru. Menulis adalah identitas, cara meluapkan emosi dan menyampaikan ide yang tak sempat terlisani. Menulis tak harus bagus, tak mesti luar-biasa, dan tak wajib menarik. Karena menulis bukanlah seperti menjadi model majalah yang harus menarik, bukan juga seperti menjual ikan di pasar yang harus selalu segar, dan bukan ajang mencari pujian.
Menulis adalah dzikir alternative yang belum terlalu popular. Jika yang di kenal selama ini adalah dzikir lisan dan dzikir hati, dzikir tulisan tak kalah pentingnya. Karena tulisan bisa membuat orang membaca dan merenungi, bisa membuat orang berdzikir lisan dan hati.
Pramoedya ananta toer pernah berkata: menulis itu bekerja untuk keabadian. Dengan terus menulis, maka seseorang akan terus ada sekalipun jasadnya sudah di pendam tanah. Seseorang yang rajin menulis maka hidupnya akan abadi.Dan lihatlah, Pramoedya sudah tiada, tapi namanya masih di sebut di mana-mana. Dia abadi.
Menulis adalah alat senjata perang tak tertandingi. Karena perang saat ini adalah perang ide, perang pemikiran. Dan anda bisa saja menyebarkan ide anda kepada sejuta atau seratus juta orang dengan pidato. Tapi anda bisa menyebarkan ide anda pada seluruh dunia dengan menulis.
Imam Nawawi tak pernah memikirkan kejombloannya karena asik menulis. Menulis adalah istri pertamanya. Imam al-ghazali di anggap pahlawan oleh banyak kalangan meskipun tak ikut berperang. Beliau adalah pahlawan dalam pemikiran lewat tulisan-tulisan. Ibn taimiyah tak merasa kesepian meski di penjara, karena tulisan-tulisannya adalah lentera. Untuk dirinya dan tentu untuk manusia.
Menulis adalah ‘sembahyang’ orang-orang berpendidikan, karena pengetahuan ada dengan mendengar, dan membaca. Dan bacaan adalah anak kandung dari tulisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H