فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ وَإِنَّا إِذَا أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً فَرِحَ بِهَا ۖ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ كَفُورٌ
Artinya : “Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).” (QS. Asy-Syura : 48)
Firman Allah tersebut mendasari bahwa manusia memiliki kekurangan yaitu rentan akan ingkar kepada Sang Pemberi. Jika manusia diberi rahmat dengan berbagai macam bentuknya, maka ia akan bersukacita untuk menerimanya. Ada juga manusia yang terbutakan oleh rahmat yang Allah berikan dan berpikiran bahwa apa yang dimilikinya tersebut akan kekal. Manusia tersebut akan berbuat maksiat dan mengingkari Allah. Pada saat itu, Allah akan memberikannya musibah dan cobaan karena ulahnya sendiri yang mengingkari Allah. Manusia akan selalu meminta dan meminta, namun kadangkala terlupa atas siapa yang memberinya.
- Al-Naas
Secara bahasa, kata Al-Naas bersifat umum yang merujuk pada manusia sebagai makhluk sosial. Menurut Al-Isfahany yang dikutip Ramayulis mengacu pada keberadaan manusia yang secara keseluruhan merupakan makhluk sosial, tanpa melihat keimanannya. Sebagian besar kata Al-Naas mengacu pada perbuatan dari kelompok manusia tertentu yang berbuat kerusakan. Pada umumnya dijelaskan bahwa manusia yang berbuat seperti itu merupakan penghuni neraka bersama iblis. Oleh karena itu, kata Al-Naas juga merupakan ancaman neraka oleh Allah jika manusia bersifat tamak dan sombong terhadap nikmat Allah, seperti pada firman Allah berikut ini.
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ وَلَن تَفْعَلُوا۟ فَٱتَّقُوا۟ ٱلنَّارَ ٱلَّتِى وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ لِلْكَٰفِرِينَ
Artinya : “Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 24)
- Bani Adam
Secara bahasa, Bani Adam mengacu pada keturunan nabi Adam AS. Menurut Al-Thabathaba’I, kata Bani Adam adalah kata untuk manusia secara umum. Ada tiga aspek dalam pengertiannya, yaitu anjuran berbudaya sesuai ketentuan Allah, mengingatkan kepada manusia lain agar terhindar dari bisikan iblis, dan memanfaatkan semua yang ada di alam semesta ini sebagai bentuk ibadah dan mengimani Allah. Hal-hal tersebut hendaknya dilakukan karena itu merupakan anjuran Allah serta peringatan-Nya sebagai manifestasi cinta Allah pada manusia.
Kata Bani Adam ini lebih berfokus pada pengerjaan ibadah kepada Allah dan aktifitas-aktifitas lain yang bermanfaat. Pada hakikatnya, manusia diberi kebebasan dalam mengisi kehidupannya dan memanfaatkan alam semesta ini untuk eksplorasinya. Namun Allah juga memberi batas yang bisa dilalui oleh manusia supaya tidak masuk dalam ajaran yang sesat. Hal tersebut juga berarti Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa saja yang dilakukan manusia di kehidupannya sebagai hukum kausalitas atas kebebasan yang Allah berikan.
TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA
- Manusia Sebagai Hamba Allah (Abdullah)
Sebagai seorang hamba, manusia memiliki kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada Allah. Makna dari hamba adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang menyeluruh hanya diberikan manusia kepada Allah. Ketaatan kepada Sang Pencipta merupakan sifat kodrati manusia yang harus selalu ada dalam diri manusia. Manusia pun tidak bisa lepas dari kekuasaan-Nya karena mereka mempunyai potensi untuk beragama. Memang pada dasar penciptaannya, manusia mempunyai kebutuhan dasar untuk meyakini akan sesuatu hal yang lebih besar daripadanya atas segala kejadian di luar penalaran manusia.
Manusia sebagai hamba Allah tidak lepas dari ketergantungan mereka atas kebutuhan dasar akan Tuhan. Dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar, manusia akan selalu bergantung pada Tuhan dan kepercayaannya terhadap sesuatu yang lebih besar darinya. Hal tersebut direalisasikan melalui peribadatan-peribadatan ritual sebagai makhluk pengabdi Tuhannya.[3] Allah telah mengingatkan umat manusia akan perjanjian yang dibuat sebelum mereka diciptakan melalui firman Allah pada surat Al-A’raf ayat 172.